Hobi Bonsai Picu Tingkatkan Pelayanan
Kadek Sukarma, Perbekel Desa Punggul, Badung
‘’Pohon juga ingin hidup baik. Makin dirawat dan disayang, maka auranya makin kasih dengan kita. Semua itu saya nikmati’’.
MANGUPURA,NusaBali
Bonsai menjadi hobi yang sangat digandrungi oleh sejumlah kalangan di Indonesia, terutama Bali. Karena keindahan dan keunikannya, tak ayal Bonsai memberikan kepuasan estetis, bahkan ekonomis untuk para pecintanya. Tak jarang hobi ini menjadikan penyemangat dalam melakoni hari-hari.
Kadek Sukarma,49, misalnya, hobi Bonsai menjadikannya makin fokus melayani masyarakat desa. Pohon mungil nan cantik itu ‘memaksa’ Kepala Desa/Perbekel Desa Punggul, Kecamatan Abiansemal, Badung ini menjadi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Maka dia dengan gampang bisa ditemui warga, baik di kantor desa atau di rumahnya.
‘’Saya sangat bersyukur punya hobi Bonsai. Dulu saya hobi mancing ikan, jadi sering meninggalkan rumah dan kampung halaman sendiri. Tapi sejak jadi kepala desa, maka hobi itu sudah saya tinggalkan,’’ jelas suami dari Kadek Sunarti,46, saat ditemui NusaBali di rumahnya, Banjar Padang, Desa Punggul, Kecamatan Abiansemal, Badung, Selasa (3/5).
Karena menjadikan betah di rumah, keluarga pun mendukung penekunan hobinya ini. Kadek semakin intens menggeluti hobinya. Terlebih sejak
pandemi Covid-19 yang merajam Bali sejak Maret 2020. Bonsai pun makin menjadi sahabat setia mendampingi hari-harinya. ‘’Tapi, bagi saya, Bonsai adalah penyatuan antara hobi dan investasi yang bernilai ekonomi,’’ ujar perbekel yang juga ahli informatika ini.
Kadek Sukarma bukanlah orang baru di dunia Bonsai. Dia menyukai Bonsai sejak masih di bangku SMP. Sebelum mengenal pelbagai gaya Bonsai versi PPBI (Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia) yang amat lumrah dan
kekinian, dia awalnya berburu pohon yang unik, lanjut dipot, dirawat, meski belum layak disebut bonsai. Dia mulai mengolah pohon yang dipot itu menjadi Bonsai sejak duduk di bangku SMA. Kadek mulai belajar wiring (mengarahkan percabangan pohon dengan kawat) saat kelas 1 SMA.
Tujuannya, mengarahkan pertumbuhan cabang pohon agar mengarah seperti dia mau. Setahun kemudian, kelas 2 SMA, baru menghasilkan Bonsai seperti yang dibayangkan sebelumnya. Tamat SMA tahun 1991, Kadek terus mencoba memformat pohon yang sekiranya punya gerak dasar unik untuk dijadikan Bonsai. Saat kuliah di STIKOM pun dia terus menekuni Bonsai, tak jarang dia membeli bakalan pohon yang sekiranya akan jadi Bonsai bagus. Lanjut, Bonsai rumahan itu dirawat antara 4 – 5 tahun.
Pengetahuan tentang perbosaian, terutama pot dan gaya, terus didalami. Perkenalannya dengan pakar Bonsai Indonesia asal Jawa, Pak Rudi menjadikan Kadek Sukarma makin percaya diri untuk menyelami seluk-beluk perbonsaian. Pada sebuah kesempatan di Bali, Rudi mencurahkan ilmu bonsainya dalam bentuk video dan buku. Dari ilmu itu,
Kadek Sukarma memastikan mana pohon yang dipertahankan dan mana yang harus dilepas. Pohon yang harus dilepas karena pohon itu jika dirawat dalam tempo lama hanya bisa menua dan tidak punya gerak dasar yang bagus. ‘’Makanya, saya cari pohon berirama seperti yang ada dalam Bonsai-bonsai PPBI sekarang,’’ kenangnya.
Kadek menikmati Bonsai bentuk twin (batang kembar) baik gaya formal dan semi-formal yang cenderung naturalis. Dia kurang sreg dengan Bonsai jenis Cascade (air terjun rendah) karena proses kematangan pohon yang relatif lebih lama. Kecintaan pada Bonsai makin kental dan menyatu jadi hobi. Hobi ini makin diseriusi seiring dirinya menjabat Kepala Desa Punggul sejak tahun 2014. Tugas dan hobi ini menjadikan dia kian fokus di rumah, dan amat jarang ke luar desa. Dia pun makin mudah melayani masyarakat. Kini telah dia menjalani tugas sebagai perbekel periode 2021 – 2027 setelah 2014 - 2020.
Kadek punya filosofi sederhana dalam berbonsai, yakni pohon mesti disayangi seperti menyayangi diri dan sesama, apalagi langka seperti Pusubatu. ‘’Pohon juga ingin hidup baik. Makin dirawat dan disayang, maka auranya makin kasih dengan kita. Semua itu saya nikmati, apalagi saat baru pulang dari kerja, maka Bonsai sangat menghibur,’’ ujar ayah empat anak ini. *lsa
Bonsai menjadi hobi yang sangat digandrungi oleh sejumlah kalangan di Indonesia, terutama Bali. Karena keindahan dan keunikannya, tak ayal Bonsai memberikan kepuasan estetis, bahkan ekonomis untuk para pecintanya. Tak jarang hobi ini menjadikan penyemangat dalam melakoni hari-hari.
Kadek Sukarma,49, misalnya, hobi Bonsai menjadikannya makin fokus melayani masyarakat desa. Pohon mungil nan cantik itu ‘memaksa’ Kepala Desa/Perbekel Desa Punggul, Kecamatan Abiansemal, Badung ini menjadi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Maka dia dengan gampang bisa ditemui warga, baik di kantor desa atau di rumahnya.
‘’Saya sangat bersyukur punya hobi Bonsai. Dulu saya hobi mancing ikan, jadi sering meninggalkan rumah dan kampung halaman sendiri. Tapi sejak jadi kepala desa, maka hobi itu sudah saya tinggalkan,’’ jelas suami dari Kadek Sunarti,46, saat ditemui NusaBali di rumahnya, Banjar Padang, Desa Punggul, Kecamatan Abiansemal, Badung, Selasa (3/5).
Karena menjadikan betah di rumah, keluarga pun mendukung penekunan hobinya ini. Kadek semakin intens menggeluti hobinya. Terlebih sejak
pandemi Covid-19 yang merajam Bali sejak Maret 2020. Bonsai pun makin menjadi sahabat setia mendampingi hari-harinya. ‘’Tapi, bagi saya, Bonsai adalah penyatuan antara hobi dan investasi yang bernilai ekonomi,’’ ujar perbekel yang juga ahli informatika ini.
Kadek Sukarma bukanlah orang baru di dunia Bonsai. Dia menyukai Bonsai sejak masih di bangku SMP. Sebelum mengenal pelbagai gaya Bonsai versi PPBI (Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia) yang amat lumrah dan
kekinian, dia awalnya berburu pohon yang unik, lanjut dipot, dirawat, meski belum layak disebut bonsai. Dia mulai mengolah pohon yang dipot itu menjadi Bonsai sejak duduk di bangku SMA. Kadek mulai belajar wiring (mengarahkan percabangan pohon dengan kawat) saat kelas 1 SMA.
Tujuannya, mengarahkan pertumbuhan cabang pohon agar mengarah seperti dia mau. Setahun kemudian, kelas 2 SMA, baru menghasilkan Bonsai seperti yang dibayangkan sebelumnya. Tamat SMA tahun 1991, Kadek terus mencoba memformat pohon yang sekiranya punya gerak dasar unik untuk dijadikan Bonsai. Saat kuliah di STIKOM pun dia terus menekuni Bonsai, tak jarang dia membeli bakalan pohon yang sekiranya akan jadi Bonsai bagus. Lanjut, Bonsai rumahan itu dirawat antara 4 – 5 tahun.
Pengetahuan tentang perbosaian, terutama pot dan gaya, terus didalami. Perkenalannya dengan pakar Bonsai Indonesia asal Jawa, Pak Rudi menjadikan Kadek Sukarma makin percaya diri untuk menyelami seluk-beluk perbonsaian. Pada sebuah kesempatan di Bali, Rudi mencurahkan ilmu bonsainya dalam bentuk video dan buku. Dari ilmu itu,
Kadek Sukarma memastikan mana pohon yang dipertahankan dan mana yang harus dilepas. Pohon yang harus dilepas karena pohon itu jika dirawat dalam tempo lama hanya bisa menua dan tidak punya gerak dasar yang bagus. ‘’Makanya, saya cari pohon berirama seperti yang ada dalam Bonsai-bonsai PPBI sekarang,’’ kenangnya.
Kadek menikmati Bonsai bentuk twin (batang kembar) baik gaya formal dan semi-formal yang cenderung naturalis. Dia kurang sreg dengan Bonsai jenis Cascade (air terjun rendah) karena proses kematangan pohon yang relatif lebih lama. Kecintaan pada Bonsai makin kental dan menyatu jadi hobi. Hobi ini makin diseriusi seiring dirinya menjabat Kepala Desa Punggul sejak tahun 2014. Tugas dan hobi ini menjadikan dia kian fokus di rumah, dan amat jarang ke luar desa. Dia pun makin mudah melayani masyarakat. Kini telah dia menjalani tugas sebagai perbekel periode 2021 – 2027 setelah 2014 - 2020.
Kadek punya filosofi sederhana dalam berbonsai, yakni pohon mesti disayangi seperti menyayangi diri dan sesama, apalagi langka seperti Pusubatu. ‘’Pohon juga ingin hidup baik. Makin dirawat dan disayang, maka auranya makin kasih dengan kita. Semua itu saya nikmati, apalagi saat baru pulang dari kerja, maka Bonsai sangat menghibur,’’ ujar ayah empat anak ini. *lsa
1
Komentar