Telajakan Ditata Berbonus Pariwisata
Desa Adat Pinge, Tabanan Terus 'Bersolek'
Tahun 2003, mulai ada turis yang datang melihat dan menikmati suasana Pinge
TABANAN, NusaBali
Banjar / Desa Adat Pinge, Desa Baru, Kecamatan Marga, salah satu desa wisata di Kabupaten Tabanan. Di banjar ini telajakan pekarangan krama ditata dengan tanaman hias endemi Bali, antara lain kayu puring dan andong. Kemudian penomoran rumah di depan angkul-angkul atau pintu keluar masuk pekarangan dengan media yang seragam, yakni pada bidang cetakan berupa uang kepeng besar. Diameternya sekitar 25 centimeter. Dilengkapi kulkul (kentongan) dan lampu taman.
Hal itu menjadikan pemandangan sepanjang ruas jalan utama Pinge, tampak resik dan segar. Memang pemandangan pedesaan yang tertata, menjadi ikon Pinge sebagai desa wisata. “Itu bermula adanya lomba desa adat sekitar tahun 1980-an,” ungkap I Wayan Dibia, salah seorang pengurus (Humas ) Desa Wisata Pinge, Selasa (19/4). Ketika itu, kata Dibia, Pinge ditunjuk menjadi duta Kabupaten Tabanan ke tingkat Provinsi Bali. Pinge tampil sebagai juara II.
Predikat juara II itu memantik warga Pinge menata lingkungan agar asri. Dari awal hanya untuk persiapan lomba, kini menjadi laku keseharian. Karenanya jika di tempat lain, usai lomba kegiatan menata lingkungan, pekarangan rumah, telajakan dan sekitarnya, berangsur-angsur lekang usai lomba. Tidak demikian dengan di Pinge. Kegiatan mareresik lingkungan, tetap bertahan, ajeg. “ Karena memang selalu warga mareresik,” ujar Dibia.
Kata Dibia, akan terasa malu sendiri kalau lingkungan sekitar rumah kotor, sedangkan lingkungan rumah tetangga bersih dan resik. “Karena itu tak pernah sampai ada sampah berserakan di jalanan,” lanjut Dibia. Tidak saja kalangan yowana, orang dewasa, krama lingsir seperti tak mau kalah pun mareresik.
Boleh dikata laku bersih-bersih, menata pekarangan di lingkungan karang sikut satak dan sekitar serasa menjadi semacam kebutuhan. “Itulah awalnya mengapa lingkungan menjadi tertata dan bersih,” kata Dibia.
Tahun 2003, mulai ada turis yang datang melihat dan menikmati suasana Pinge. Sejak itu di Pinge kian dikenal wisatawan dan cocok untuk jadi destinasi wisata. Wisatawan yang datang, ada yang perseorangan, ada yang berombongan.Hal itu berdampak positif bagi warga Pinge. Selain semakin dikenal, juga berimbas pada perekonomian warga setempat.
Hal itu karena ada tambahan pendapatan dari warga, yang rumahnya disewa wisatawan yang mau menginap atau tinggal beberapa waktu. “Di sini tidak ada penginapan khusus, namun ada warga yang menyediakan kamar di rumahnya untuk wisatawan,” ungkapnya.
Walau demikian, tidak serta merta pariwisata menggeser laku warga, menomor wahidkan pariwisata. “Pariwisata adalah bonus, sedang kebersihan merupakan kebutuhan,” ucap Dibia. Kalau memang wisatawan datang syukur, seandainya tidak juga tidak rugi. “Yang penting rumah dan pekarangan tetap bersih dan resik.”kata Dibia.
Bendesa Adat Pinge I Made Indrayasa, mengiyakan hal itu. Untuk mempertahankan dan menguatkan penataan lingkungan, khususnya telajakan krama Pinge sepakat membebaskan telajakan dari bangunan. Artinya krama menghindari membangun di telajakan, apakah itu membangun warung, garase maupun bangunan fisik lainnya. “Kalau membangun jangan sampai melewati tembok panyengker,” ujarnya. Dengan demikian fungsi telajakan sebagai area tempat tanaman hias sekaligus perindang, tetap bertahan.
Tidak saja fokus pada telajakan, pola dan tata letak bangunan di dalam pekarangan diusahakan tidak keluar dari konsep asta kosala-kosali, ulu dan teben serta tri hita karana. Contohnya membangun toilet, wajib dibangun area teben pekarangan.
“Sehingga mana ulu, mana teben tetap jelas,” ujar Indrayasa. Kesepakatan – kesepakatan penataan tersebut sudah lebih dari 10 tahun, sampai saat ini masih diterapkan. Karena keasrian suasana pedesaan yang tertata apik itulah, wajar Pinge menjadi salah satu desa wisata di Kabupaten Tabanan. Banjar/Desa Adat Pinge terdiri dari 60 song (pekarangan) dengan 160 KK.
Asal muasal Pinge berawal dari bau harum taru pinge atau cempaka. Ceritanya pada suatu waktu di masa lalu, di jaman kerajaan, tercium bu harum semerbak . Demikian kuat aroma itu, sampai jauh hingga ke Marga. Ingin tahu darimana asal bau harum itu, Anak Agung Gede ring Puri Marga menitahkan prakangge (orang kepercayaan) puri menelusuri dari mana asal muasal bau harum semerbak itu.
Singkat kisah, setelah ditelusuri akhirnya ditemukan sumber bau harum berasal pohon pinge atau cempaka yang sedang berbunga. Tempat taru pinge di suatu tempat di Gunung Lingga, dekat Pura Jemeng. Diblokasi itu juga ditemukan pemukiman dalam bentuk pondok-pondokan. Berasal dari bau harum pohon bunga pohon pinge, tempat dan pemukiman tersebut dinamakan Pinge. Sekalian Anak Agung Gede di Puri Marga, memerintahkan agar pemukiman yang berupa pondok-pondokan itu ditata. “Kisah ini sebagaimana penuturan para pangelingsir,” kata Made Indrayasa.7k17
Komentar