Saat Pangerupukan, Krama Gelar Tradisi Ngoncang
Namun tradisi ngoncang hanya dilangsungkan setiap Tahun Baru Saka berekor ganjil. Jika Tahun Baru Saka berekor genap, krama setempat hanya melakukan pacaruan Tawur Agung di depan Pura Bale Agung Desa Pakraman Lemukih.
Desa Pakraman Lemukih, Kecamatan Sawan, Buleleng, Tak Kenal Ogoh-ogoh Saat Nyepi
SINGARAJA, NusaBali
Tradisi pengarakan ogoh-ogoh di Hari Raya Nyepi di masing-masing desa pakraman tak ‘berlaku’ di Desa Pakraman Lemukih, Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Sebagai salah satu desa tua di Buleleng, Lemukih tidak mengenal pembuatan dan pengarakan ogoh-ogoh saat Pangerupukan.
Seperti yang terlihat, Sabtu (18/3) siang, aktivitas warga setempat tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Berbeda dengan daerah lain yang sudah disibukkan dengan pembuatan goh-ogoh di balai banjar maupun balai kelompok.
Menurut seorang tokoh masyarakat setempat, Jro Mangku I Gede Ginarsa, 64, Desa Lemukih memang sejak dahulu tidak menganut tradisi pembuatan hingga pengarakan ogoh-ogoh dalam rangkaian upacara Tawur Kasanga, khususnya saat dilangsungkan Pangerupukan Nyepi. Pihaknya pun tidak mengetahui secara pasti sebab dan alasan ketiadaan ogoh-ogoh saat Nyepi di desanya. Yang dia tahu tradisi tersebut sudah dilaksanakan secara turun menurun dari leluhurnya terdahulu.
Meski tidak ada pengarakan ogoh-ogoh, namun Desa Pakraman Lemukih memiliki tradisi unik saat Pangerupukan Nyepi. Saat Pangerupukan, krama setempat menggelar tradisi ngoncang (menumbuk lesung dengan irama tertentu, Red) yang berlangsung dari sore hingga malam hari. Namun tradisi ini pun hanya dilangsungkan dua tahun sekali, setiap datang Tahun Baru Saka berekor ganjil.
Jika Tahun Baru Saka berekor genap, masyarakat setempat hanya melakukan pacaruan Tawur Agung di depan Pura Bale Agung Desa Pakraman Lemukih.
Terkait tradisi ngoncang, rata-rata kepala keluarga (KK) di Desa Lemukih masih memiliki lesung yang dahulu digunakan untuk menumbuk padi.
“Alasan dan sebab pastinya kami juga tidak terlalu tahu, karena tidak ada sastra atau prasasti yang menyebutkan hal itu. Memang sejak zaman dulu tidak ada. Kalau dresta desa kami, hanya menggelar ngoncang pada saat Pangerupukan Nyepi. Serentak dilakukan oleh masyarakat di rumahnya masing-masing,” ujar Ginarsa yang ditemui di rumahnya.
Alunan irama dari pukulan kayu ke lesung itulah yang disebut sebagai sara nyomia Bhuta Kala, sama halnya dengan tujuan pengarakan ogoh-ogoh. Irama ngoncang secara bersamaan itu dipercaya dapat mengusir bhuta kala.
Selain itu, saat ritual Tawur Agung Kasanga juga menggunakan binatang caru berbeda setiap tahunnya. Hari Raya Nyepi pada tahun Saka ganjil, ritual pacaruan harus memakai sapi yang dikebiri (sampi cula) dan pada tahun Saka genap memakai pacaruan godel (anak sapi).
Ginarsa, mantan Sekretaris Desa (Sekdes) Lemukih yang pernah menjabat selama 33 tahun itu juga menerangkan bahwa upacara Tawur Agung Kasanga memakai hewan persembahan itu merupakan sebuah keharusan. Lantaran ritual upacara tersebut merupakan simbol dari penyucian diri yang dilaksanakan satu hari sebelum Catur Bhrata Penyepian atau Hari Raya Nyepi.
“Asal usul kami kurang tahu, karena sudah tradisi turun temurun, tidak ada yang berani mengubahnya. Ritual hewan persembahan dalam acara Tawur Agung Kesanga diyakini oleh masyarakat sebagai kebenaran yang bersifat mutlak,” jelasnya.
Selain itu, ritual Tawur Agung Kasanga juga bermakna sebagai wujud keselarasan antara umat manusia dengan alam. Keselarasan yang dimaksud tertera dalam ajaran agama Hindu disebut Sad Kertih. Penjabaran masing-masing Sad Kertih terdiri dari, Wana Kertih, Danu Kertih, Segara Kertih, Buana Kertih, Manusa Kertih, dan Pitra Kertih.
Pacaruan dengan hewan persembahan dan pengarakan ogoh-ogoh yang sangat asing itu memang tidak tertulis dalam awig-awig Desa Pakraman Lemukih.
Hal senada juga disampaikan oleh Kelian Desa Pakraman Lemukih Gede Widiarta ketika ditemui di rumahnya, Sabtu kemarin. Soal ogoh-ogoh dirinya menerangkan bahwa memang sejak dahulu Desa Pakraman Lemukih tidak memiliki tradisi pembuatan ogoh-ogoh. Namun, seingatnya pada Maret 2013 lalu, tepat saat Pangerupukan pernah para pemuda menarikan Barong Bangkung. Karena bukan dresta desa, Barong Bangkung yang ditarikan puluhan pemuda desa setempat itu pun hilang secara tiba-tiba dan misterius usai ditarikan.
Dengan pengalaman itu, hingga kini krama Desa Pakraman Lemukih tidak pernah melanggar dresta yangs udah ada. Krama hingga saat ini hanya tahu menjalankan tradisi yang telah diwarisinya secara turun-temurun. * k23
SINGARAJA, NusaBali
Tradisi pengarakan ogoh-ogoh di Hari Raya Nyepi di masing-masing desa pakraman tak ‘berlaku’ di Desa Pakraman Lemukih, Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Sebagai salah satu desa tua di Buleleng, Lemukih tidak mengenal pembuatan dan pengarakan ogoh-ogoh saat Pangerupukan.
Seperti yang terlihat, Sabtu (18/3) siang, aktivitas warga setempat tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Berbeda dengan daerah lain yang sudah disibukkan dengan pembuatan goh-ogoh di balai banjar maupun balai kelompok.
Menurut seorang tokoh masyarakat setempat, Jro Mangku I Gede Ginarsa, 64, Desa Lemukih memang sejak dahulu tidak menganut tradisi pembuatan hingga pengarakan ogoh-ogoh dalam rangkaian upacara Tawur Kasanga, khususnya saat dilangsungkan Pangerupukan Nyepi. Pihaknya pun tidak mengetahui secara pasti sebab dan alasan ketiadaan ogoh-ogoh saat Nyepi di desanya. Yang dia tahu tradisi tersebut sudah dilaksanakan secara turun menurun dari leluhurnya terdahulu.
Meski tidak ada pengarakan ogoh-ogoh, namun Desa Pakraman Lemukih memiliki tradisi unik saat Pangerupukan Nyepi. Saat Pangerupukan, krama setempat menggelar tradisi ngoncang (menumbuk lesung dengan irama tertentu, Red) yang berlangsung dari sore hingga malam hari. Namun tradisi ini pun hanya dilangsungkan dua tahun sekali, setiap datang Tahun Baru Saka berekor ganjil.
Jika Tahun Baru Saka berekor genap, masyarakat setempat hanya melakukan pacaruan Tawur Agung di depan Pura Bale Agung Desa Pakraman Lemukih.
Terkait tradisi ngoncang, rata-rata kepala keluarga (KK) di Desa Lemukih masih memiliki lesung yang dahulu digunakan untuk menumbuk padi.
“Alasan dan sebab pastinya kami juga tidak terlalu tahu, karena tidak ada sastra atau prasasti yang menyebutkan hal itu. Memang sejak zaman dulu tidak ada. Kalau dresta desa kami, hanya menggelar ngoncang pada saat Pangerupukan Nyepi. Serentak dilakukan oleh masyarakat di rumahnya masing-masing,” ujar Ginarsa yang ditemui di rumahnya.
Alunan irama dari pukulan kayu ke lesung itulah yang disebut sebagai sara nyomia Bhuta Kala, sama halnya dengan tujuan pengarakan ogoh-ogoh. Irama ngoncang secara bersamaan itu dipercaya dapat mengusir bhuta kala.
Selain itu, saat ritual Tawur Agung Kasanga juga menggunakan binatang caru berbeda setiap tahunnya. Hari Raya Nyepi pada tahun Saka ganjil, ritual pacaruan harus memakai sapi yang dikebiri (sampi cula) dan pada tahun Saka genap memakai pacaruan godel (anak sapi).
Ginarsa, mantan Sekretaris Desa (Sekdes) Lemukih yang pernah menjabat selama 33 tahun itu juga menerangkan bahwa upacara Tawur Agung Kasanga memakai hewan persembahan itu merupakan sebuah keharusan. Lantaran ritual upacara tersebut merupakan simbol dari penyucian diri yang dilaksanakan satu hari sebelum Catur Bhrata Penyepian atau Hari Raya Nyepi.
“Asal usul kami kurang tahu, karena sudah tradisi turun temurun, tidak ada yang berani mengubahnya. Ritual hewan persembahan dalam acara Tawur Agung Kesanga diyakini oleh masyarakat sebagai kebenaran yang bersifat mutlak,” jelasnya.
Selain itu, ritual Tawur Agung Kasanga juga bermakna sebagai wujud keselarasan antara umat manusia dengan alam. Keselarasan yang dimaksud tertera dalam ajaran agama Hindu disebut Sad Kertih. Penjabaran masing-masing Sad Kertih terdiri dari, Wana Kertih, Danu Kertih, Segara Kertih, Buana Kertih, Manusa Kertih, dan Pitra Kertih.
Pacaruan dengan hewan persembahan dan pengarakan ogoh-ogoh yang sangat asing itu memang tidak tertulis dalam awig-awig Desa Pakraman Lemukih.
Hal senada juga disampaikan oleh Kelian Desa Pakraman Lemukih Gede Widiarta ketika ditemui di rumahnya, Sabtu kemarin. Soal ogoh-ogoh dirinya menerangkan bahwa memang sejak dahulu Desa Pakraman Lemukih tidak memiliki tradisi pembuatan ogoh-ogoh. Namun, seingatnya pada Maret 2013 lalu, tepat saat Pangerupukan pernah para pemuda menarikan Barong Bangkung. Karena bukan dresta desa, Barong Bangkung yang ditarikan puluhan pemuda desa setempat itu pun hilang secara tiba-tiba dan misterius usai ditarikan.
Dengan pengalaman itu, hingga kini krama Desa Pakraman Lemukih tidak pernah melanggar dresta yangs udah ada. Krama hingga saat ini hanya tahu menjalankan tradisi yang telah diwarisinya secara turun-temurun. * k23
1
Komentar