Kemandirian Pendidikan Formal vs Nonformal
Di sekolah-sekolah maju, kemandirian amat dipuja dan diwujudkan secara nyata.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Sampai-sampai ada ucapan ‘guru yang baik adalah guru yang tidak diperlukan lagi oleh anak didiknya’? Kedengarannya aneh, tetapi bila disimak seksama ucapan itu amat filosofis. Pembelajaran tidak selalu harus melibatkan guru secara penuh dalam pembelajaran. Peserta didik mempersepsikan dirinya sebagai objek bukan subjek. Sebagai objek, mereka menanti kehadiran guru. Ketika guru berhalangan, mereka bersorak-sorai ‘bebas’, tidak belajar karena guru tidak masuk. Mereka bukannya sedih, karena hari tersebut tidak diisi dengan pembelajaran. Mereka bahkan tidak merasa merugi telah membayar banyak, walau tidak memperoleh apa-apa. Beginilah situasi umum di sekolah-sekolah formal, baik pada pendidikan dasar, menengah atau tinggi. Ini barangkali ilustrasi sepintas antara ‘pembelajaran berorientasi pada siswa versus pembelajaran berorientasi pada guru’.
Umumnya, sekolah-sekolah formal ditata-kelola sebagai sebuah sistem. Berbagai unsur dibantu, dilengkapi, dan ditingkatkan. Misalnya, guru ditingkatkan kualifikasi maupun kompetensinya. Kurikulum dan fasilitas pembelajaran selalu disempurnakan. Sarana dan prasarana pendidikan diupayakan selalu mendukung. Proses pembelajaran yang terbaharukan selalu dilatihkan. Peserta didik dilibatkan secara aktif, kreatif, dan menyenangkan. Semua upaya tersebut menggunakan dana masyarakat. Tetapi saat mereka harus ujian, mereka menggunakan berbagai tipu daya agar lulus. Makna terhadap kelulusan menjadi hampa makna. Mereka hanya memperoleh selembar pengakuan formal. Mereka hampir tidak memaknai kelulusan dengan pemilikan pengetahuan semantik maupun episodik, menurut pakar ilmu pendidikan Dansserau (2013). Semua unsur bagai sebuah rantai, satu unsur dengan saling erat berkait saling bergantung. Ketika salah satu mata rantai itu putus, maka buyarlah sistem tersebut. Tidak ada kemandirian, yang ada hanya ketergantungan belaka.
Berlawanan sekali situasi demikian pada pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal lebih bernuansa dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pembelajaran urai dengan guyon, kapan pun dan dimana pun. Analognya, pembelajaran dapat berlangsung di mana saja. Kapan pun pebelajar dapat belajar, tidak harus diatur ketat dengan jadwal waktu. Mereka dapat belajar di alam terbuka, di garase mobil atau bahkan emper rumah yang reyot. Tidak ada masalah, ada atau tidaknya tutor yang juga guru. Tidak ada masalah, ada atau tidaknya instruktur yang juga guru. Mereka belajar dari seorang seniman yang memiliki kompetensi tentang berkesenian patung, lukis atau lainnya. Kualifikasi akademik bukan sebuah standar dengan harga mati. Kompetensi merupakan unsur penting pada pendidikan nonformal. Kemandirian tumbuh dan berkembang dengan kesadaran, bukan rekayasa formal. Pendidikan anak usia dini yang bersifat nonformal diformalin. Banyak bentuk baku yang diharuskan pada anak usia dini. Walau guru berprinsip ‘belajar melalui bermain’, namun pola bermain sudah ditentukan dan ditetapkan secara baku oleh guru. Tidak terejawantahkan suatu kreativitas, berpikir kritis dan konstruktivisme dalam konteks bermain pada anak usia dini.
Pada pendidikan nonformal, kemandirian sangat didorong, prinsipnya ‘dari, oleh, dan untuk’ mereka sendiri. Bukan selembar pengakuan formal yang dipentingkan, melainkan sebuah kompetensi yang terpastikan kualitasnya. Ujian yang ditempuh merupakan keharusan, tidak perlu ada upaya lain agar lulus. Kompetensi menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar. Pertanyaan ikutannya adalah: Apa perlu sistem diubah, kurikulum digonta-ganti dan seterusnya menurut siapa yang berkuasa? Atau, sistem tetap sama yaitu ‘mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbudaya dan berakhlak mulia’ tanpa harus menetapkan standar yang pada akhirnya dilanggar sendiri? Nama boleh berganti, prosedur harus berubah, sistem dapat dilenturkan, tetapi roh jangan sampai meninggalkan norma tujuan pendidikan itu sendiri. Semoga. *
1
Komentar