Mereka yang Paling Rentan Terinfeksi Justru Tak Terlindungi
Yang Tertinggal dari Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 di Kabupaten Buleleng
Dokter Putu Arya Nugraha menyarankan masyarakat tidak perlu takut berlebihan, sebab yang menentukan masyarakat boleh divaksinasi atau tidak adalah petugas medis.
SINGARAJA, NusaBali
Perempuan berinisial NL,72, tergopoh-gopoh menggapai gagang pintu dapur yang terlihat usang. Di sebuah meja dia meraih gelas dan menyendok serbuk dalam bungkusan berlabel ‘Jahe Merah’. Tidak lama berselang lansia yang tinggal di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, ini pun menuang air panas dari termos, lalu mengaduknya perlahan.
Cucunya yang bekerja di ibukota kabupaten selalu membawakan nenek NL serbuk jahe merah ketika pulang kampung. Lansia renta ini pun telah dicekoki bahwa ramuan jahe merah mampu menjadi tameng serangan virus Covid-19. Selama minum jamu jahe merah itu nenek NL tersugesti. Tubuhnya terasa sehat dan bugar.
Sejak Presiden Joko Widodo mengamanatkan vaksinasi Covid-19 dimulai 13 Januari 2021 lalu, hingga kini nenek NL belum divaksinasi. Dia adalah salah satu dari ribuan masyarakat di Kabupaten Buleleng yang belum terlindungi vaksin. Padahal capaian vaksinasi di Bali tertinggi di Indonesia setelah DKI Jakarta. Data Kemenkes per 2 Juni lalu, dari target sasaran 3.405.130 jiwa, capaian vaksinasi dosis I sebesar 116,49 persen. Kemudian capaian vaksin dosis II 106,91 persen dan capaian vaksin dosis III (booster) 56,52 persen.
NL mengaku belum bersedia pergi ke tempat vaksinasi lantaran memiliki komorbid hipertensi. Selain itu anak lelaki satu-satunya yang tinggal bersama NL juga tidak mengizinkannya divaksin. Dia pun enggan menanyakan kepada petugas kesehatan yang ada di desanya atau sekedar mencari informasi ke tempat pelayanan vaksin. “Kata anak karena saya sudah tua dan sakit-sakitan tidak bisa divaksin. Saya juga takut divaksin, karena ada tetangga habis divaksin malah sakit. Tidak ke mana-mana juga di rumah saja,” ucap nenek empat cucu ini.
Ketakutan serupa juga dirasakan NW,65, seorang pensiunan PNS asal Kecamatan Sukasada. Dia mengaku tegas menolak petugas yang mendatangi rumahnya tatkala menyosialisasikan vaksinasi Covid-19. Penolakan itu pun dilakukannya bukan tanpa alasan. Sejak 10 tahun terakhir NW menderita diabetes. Bahkan setiap kali akan makan nasi, wajib menyuntikkan insulin agar penyakitnya tidak kambuh. “Saya bilang tegas sama bu dokter tidak mau divaksin, karena saya diabetes,” kata NW.
Praktisi kesehatan dr Putu Arya Nugraha SpPD, tidak menampik sejauh ini ada kekhawatiran yang dirasakan masyarakat, terutama lansia yang khawatir dampak ikutan vaksin. Meskipun hingga saat ini belum ada masyarakat yang dinyatakan meninggal dunia setelah divaksin karena mengalami Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
“Dari awal vaksin dilakukan tahun lalu sampai sekarang kami di RSUD Buleleng hanya menangani 8 orang pasien KIPI. Itu pun tidak parah, sudah boleh dipulangkan setelah dirawat 2-3 hari,” kata Arya Nugraha. Direktur Utama RSUD Buleleng ini juga mengatakan KIPI yang terjadi pada masyarakat setelah mendapatkan vaksinasi merupakan respon tubuh yang wajar. Gejala normal seperti nyeri, demam, mual, ngantuk, merupakan respon tubuh membentuk antibodi.
Arya Nugraha pun menyarankan kepada masyarakat tidak perlu takut yang berlebihan. Sebab yang menentukan masyarakat boleh divaksin atau tidak adalah petugas medis. Dia mencontohkan seorang pasiennya yang mengalami gagal ginjal dan cuci darah dua minggu sekali sudah mendapatkan vaksin. Hingga saat ini pasien yang bersangkutan kondisinya sangat stabil.
“Kenapa pemerintah memilih kebal vaksin daripada kebal karena infeksi alami, karena dapat dipastikan aman. Kebal dari infeksi alami memang bagus lebih kuat pembentukan antibodi, tetapi tingkat fatalitas tinggi. Jadi jangan takut untuk vaksin,” jelas Arya Nugraha. Kekhawatiran yang dirasakan NW dan sejumlah masyarakat lansia berkomorbid bukan tanpa alasan. Namun demikian, risiko yang mereka hadapi bisa lebih besar jika tidak divaksin. Data menunjukkan, korban yang meninggal akibat Covid-19 di Kabupaten Buleleng didominasi oleh lansia.
Mengacu laporan Satgas per 30 Mei 2022 lalu, dari 602 korban jiwa karena Covid-19, 80,39 persen atau 484 orang diantaranya adalah lansia. 18,10 persen atau 109 orang dewasa dan 1,51 persen atau 9 orang sisanya adalah anak-anak dan remaja. Dunia medis menurut Arya Nugraha akan menggunakan obat, vaksin, maupun tindakan pembedahan, apabila hasil studi menyatakan manfaat lebih besar dari kerugian. Terlebih vaksin Covid-19 sudah dinyatakan aman oleh World Health Organization (WHO) dan Kemenkes.
Terkait soal data kematian lansia akibat Covid-19 paling tinggi, lebih banyak terjadi pada lansia berkomorbid dan belum mendapatkan vaksin. Lansia pada masa pandemi Covid-19 ini masuk dalam kategori kelompok rentan, karena kondisi daya tahan tubuh diusia lanjut memang sudah menurun. Arya Nugraha pun menyarankan pemerintah lebih inovatif mencari cara-cara untuk mengejar capaian vaksinasi kelompok rentan. Misalnya dengan memberikan stimulan dengan pembagian beras, minyak goreng atau jenis hadiah lainnya.
Ketakutan divaksinasi Covid-19 juga diungkapkan oleh AW,23, seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di Buleleng. Pemuda ini juga kekeh tidak mau divaksin karena takut jarum suntik. “Tidak berani, saya takut jarum suntik. Sebenarnya ingin sih divaksin, tapi nanti saja setelah wisuda kalau perlu syarat harus vaksin untuk melamar kerja. Saya juga tidak ke mana-mana di rumah saja,” tuturnya polos mahasiswa semester 12 ini. Vaksin Covid-19 juga belum sampai ke WD, 31 tahun seorang disabilitas. Dia tidak mendapatkan vaksin karena tidak bisa menjangkau tempat vaksinasi. “Tidak ada yang mengantar, kondisi saya begini bergerak saja sulit, ibu juga tidak bisa dan tidak punya motor,” kata disabilitas berparas ayu asal Kecamatan Seririt ini.
Sementara itu NG, 43, seorang penggiat seni mengaku baru mendapatkan vaksin dosis 1. Vaksin itu pun dia dapatkan karena terpaksa. Tatkala akan pentas di salah satu event, panitia mewajibkan pengisi acara dan penontonnya sudah divaksin. “Mau tidak mau waktu itu. Kalau tidak mau batal saya manggung,” kata ayah dua anak yang terkenal ceplas ceplos ini.
Mereka mewakili masyarakat yang belum mendapatkan vaksinasi Covid-19 baik dari dosis 1, 2 dan 3 (boster) di Kabupaten Buleleng. Merujuk data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Buleleng, jumlah sasaran vaksinasi yang ditetapkan Komisi Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCP-PEN) sebanyak 615.179 jiwa. Jumlah itu setara dengan 70 persen jumlah penduduk Buleleng.
Capaian vaksinasi Covid-19 terakhir pada Kamis (19/5) lalu, pada dosis 1 sudah mencapai 83,46 persen. Lalu dosis 2 di angka 72,98 persen dan dosis 3 atau booster baru di angka 43,64 persen. Ketimpangan capaian vaksinasi di Buleleng cukup besar terutama jika dibandingkan capaian vaksin antara dosis 1 dengan dosis 3.
Koordinator Bidang Data dan Informasi Satgas Penanganan Covid-19 Buleleng Ketut Suwarmawan pun mengakui, capaian vaksinasi yang terus melemah. Bahkan jumlah capaian dosis 1 dibandingkan dengan dosis 2 dan 3, cukup signifikan. Capaian vaksinasi tinggi pada distribusi dosis 1, karena masyarakat saat itu sangat gencar melakukan antisipasi dengan memburu vaksin. Hal serupa juga terjadi saat dimulainya vaksinasi booster. Target sasaran yang ditetapkan pemerintah untuk booster di Buleleng kepada 537.957 orang sasaran.
Vaksinasi booster di Buleleng dimulai pada minggu kedua bulan Januari lalu. Capaian vaksin per minggunya berkisar 2.000-15.000 orang per minggunya. Puncak jumlah sasaran tertinggi pun terjadi pada bulan Maret berkisar 31.000-65.000 orang per minggu. Lonjakan capaian ini terjadi saat Buleleng melakukan skema gebyar vaksinasi di beberapa tempat. Lalu jumlah sasaran kembali menurun pada bulan April hingga Mei. Bahkan terakhir capaian vaksinasi booster per minggunya hanya 584 orang.
“Pergerakan booster melambat bukan karena masyarakat tidak percaya. Tetapi mereka menganggap belum perlu di tengah situasi yang sudah melandai,” kata mantan Kabag Protokol Setda Buleleng yang kini Kepala Dinas Kominfosanti Buleleng ini.
Bahkan menurutnya sebagian penduduk Buleleng yang merantau keluar daerah sudah kembali mencari penghidupan meninggalkan kampung halaman. “Memang hampir sebagian warga Buleleng bekerja dan merantau di luar daerah. Kemungkinan mereka sudah vaksin di daerah rantau. Buktinya ada kabupaten/kota di Bali yang capaian vaksinnya lebih dari 100 persen, diantaranya kami yakin ada warga kami dari Buleleng,” jelas Suwarmawan.
Penyebab lainnya diungkapkan Suwarmawan karena topografi wilayah Buleleng terluas di Bali dan memiliki banyak perbukitan. Hanya saja seluruh kendala itu sudah diupayakan jalan keluar. Proses vaksinasi pun sudah dilaksanakan dengan banyak skema. Tidak hanya di fasilitas kesehatan saja, tetapi juga melalui gebyar vaksin, penambahan waktu pelayanan vaksin saat hari libur, termasuk sistem jemput bola ke desa-desa untuk mendekatkan pelayanan vaksinasi.
“Ketika dicari lagi masyarakat yang belum divaksin yang difasilitasi desa atau kelurahan, memang sudah tidak ditemukan lagi masyarakat yang mau divaksin,” kata dia. Persoalan capaian lansia dan masyarakat kelompok rentan lainnya yang masih rendah disebut Suarmawan karena rata-rata memiliki komorbid. Mereka cenderung takut divaksin karena khawatir kondisi kesehatan semakin menurun setelah divaksin.
Di tengah kendala itu, Suwarmawan menyakinkan Pemerintah tetap akan mengupayakan vaksinasi tetap berjalan. Terutama menyasar kelompok masyarakat yang capaiannya masih rendah. Upaya vaksinasi tidak berhenti dilakukan. Bahkan masih buka setiap harinya di fasilitas kesehatan. Satgas penanganan Covid-19 Buleleng juga menyelipkan acara vaksinasi di setiap kegiatan. Seperti pada acara peringatan Bulan Bung Karno, Jumat (3/6) lalu. *k23
Cucunya yang bekerja di ibukota kabupaten selalu membawakan nenek NL serbuk jahe merah ketika pulang kampung. Lansia renta ini pun telah dicekoki bahwa ramuan jahe merah mampu menjadi tameng serangan virus Covid-19. Selama minum jamu jahe merah itu nenek NL tersugesti. Tubuhnya terasa sehat dan bugar.
Sejak Presiden Joko Widodo mengamanatkan vaksinasi Covid-19 dimulai 13 Januari 2021 lalu, hingga kini nenek NL belum divaksinasi. Dia adalah salah satu dari ribuan masyarakat di Kabupaten Buleleng yang belum terlindungi vaksin. Padahal capaian vaksinasi di Bali tertinggi di Indonesia setelah DKI Jakarta. Data Kemenkes per 2 Juni lalu, dari target sasaran 3.405.130 jiwa, capaian vaksinasi dosis I sebesar 116,49 persen. Kemudian capaian vaksin dosis II 106,91 persen dan capaian vaksin dosis III (booster) 56,52 persen.
NL mengaku belum bersedia pergi ke tempat vaksinasi lantaran memiliki komorbid hipertensi. Selain itu anak lelaki satu-satunya yang tinggal bersama NL juga tidak mengizinkannya divaksin. Dia pun enggan menanyakan kepada petugas kesehatan yang ada di desanya atau sekedar mencari informasi ke tempat pelayanan vaksin. “Kata anak karena saya sudah tua dan sakit-sakitan tidak bisa divaksin. Saya juga takut divaksin, karena ada tetangga habis divaksin malah sakit. Tidak ke mana-mana juga di rumah saja,” ucap nenek empat cucu ini.
Ketakutan serupa juga dirasakan NW,65, seorang pensiunan PNS asal Kecamatan Sukasada. Dia mengaku tegas menolak petugas yang mendatangi rumahnya tatkala menyosialisasikan vaksinasi Covid-19. Penolakan itu pun dilakukannya bukan tanpa alasan. Sejak 10 tahun terakhir NW menderita diabetes. Bahkan setiap kali akan makan nasi, wajib menyuntikkan insulin agar penyakitnya tidak kambuh. “Saya bilang tegas sama bu dokter tidak mau divaksin, karena saya diabetes,” kata NW.
Praktisi kesehatan dr Putu Arya Nugraha SpPD, tidak menampik sejauh ini ada kekhawatiran yang dirasakan masyarakat, terutama lansia yang khawatir dampak ikutan vaksin. Meskipun hingga saat ini belum ada masyarakat yang dinyatakan meninggal dunia setelah divaksin karena mengalami Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
“Dari awal vaksin dilakukan tahun lalu sampai sekarang kami di RSUD Buleleng hanya menangani 8 orang pasien KIPI. Itu pun tidak parah, sudah boleh dipulangkan setelah dirawat 2-3 hari,” kata Arya Nugraha. Direktur Utama RSUD Buleleng ini juga mengatakan KIPI yang terjadi pada masyarakat setelah mendapatkan vaksinasi merupakan respon tubuh yang wajar. Gejala normal seperti nyeri, demam, mual, ngantuk, merupakan respon tubuh membentuk antibodi.
Arya Nugraha pun menyarankan kepada masyarakat tidak perlu takut yang berlebihan. Sebab yang menentukan masyarakat boleh divaksin atau tidak adalah petugas medis. Dia mencontohkan seorang pasiennya yang mengalami gagal ginjal dan cuci darah dua minggu sekali sudah mendapatkan vaksin. Hingga saat ini pasien yang bersangkutan kondisinya sangat stabil.
“Kenapa pemerintah memilih kebal vaksin daripada kebal karena infeksi alami, karena dapat dipastikan aman. Kebal dari infeksi alami memang bagus lebih kuat pembentukan antibodi, tetapi tingkat fatalitas tinggi. Jadi jangan takut untuk vaksin,” jelas Arya Nugraha. Kekhawatiran yang dirasakan NW dan sejumlah masyarakat lansia berkomorbid bukan tanpa alasan. Namun demikian, risiko yang mereka hadapi bisa lebih besar jika tidak divaksin. Data menunjukkan, korban yang meninggal akibat Covid-19 di Kabupaten Buleleng didominasi oleh lansia.
Mengacu laporan Satgas per 30 Mei 2022 lalu, dari 602 korban jiwa karena Covid-19, 80,39 persen atau 484 orang diantaranya adalah lansia. 18,10 persen atau 109 orang dewasa dan 1,51 persen atau 9 orang sisanya adalah anak-anak dan remaja. Dunia medis menurut Arya Nugraha akan menggunakan obat, vaksin, maupun tindakan pembedahan, apabila hasil studi menyatakan manfaat lebih besar dari kerugian. Terlebih vaksin Covid-19 sudah dinyatakan aman oleh World Health Organization (WHO) dan Kemenkes.
Terkait soal data kematian lansia akibat Covid-19 paling tinggi, lebih banyak terjadi pada lansia berkomorbid dan belum mendapatkan vaksin. Lansia pada masa pandemi Covid-19 ini masuk dalam kategori kelompok rentan, karena kondisi daya tahan tubuh diusia lanjut memang sudah menurun. Arya Nugraha pun menyarankan pemerintah lebih inovatif mencari cara-cara untuk mengejar capaian vaksinasi kelompok rentan. Misalnya dengan memberikan stimulan dengan pembagian beras, minyak goreng atau jenis hadiah lainnya.
Ketakutan divaksinasi Covid-19 juga diungkapkan oleh AW,23, seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di Buleleng. Pemuda ini juga kekeh tidak mau divaksin karena takut jarum suntik. “Tidak berani, saya takut jarum suntik. Sebenarnya ingin sih divaksin, tapi nanti saja setelah wisuda kalau perlu syarat harus vaksin untuk melamar kerja. Saya juga tidak ke mana-mana di rumah saja,” tuturnya polos mahasiswa semester 12 ini. Vaksin Covid-19 juga belum sampai ke WD, 31 tahun seorang disabilitas. Dia tidak mendapatkan vaksin karena tidak bisa menjangkau tempat vaksinasi. “Tidak ada yang mengantar, kondisi saya begini bergerak saja sulit, ibu juga tidak bisa dan tidak punya motor,” kata disabilitas berparas ayu asal Kecamatan Seririt ini.
Sementara itu NG, 43, seorang penggiat seni mengaku baru mendapatkan vaksin dosis 1. Vaksin itu pun dia dapatkan karena terpaksa. Tatkala akan pentas di salah satu event, panitia mewajibkan pengisi acara dan penontonnya sudah divaksin. “Mau tidak mau waktu itu. Kalau tidak mau batal saya manggung,” kata ayah dua anak yang terkenal ceplas ceplos ini.
Mereka mewakili masyarakat yang belum mendapatkan vaksinasi Covid-19 baik dari dosis 1, 2 dan 3 (boster) di Kabupaten Buleleng. Merujuk data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Buleleng, jumlah sasaran vaksinasi yang ditetapkan Komisi Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCP-PEN) sebanyak 615.179 jiwa. Jumlah itu setara dengan 70 persen jumlah penduduk Buleleng.
Capaian vaksinasi Covid-19 terakhir pada Kamis (19/5) lalu, pada dosis 1 sudah mencapai 83,46 persen. Lalu dosis 2 di angka 72,98 persen dan dosis 3 atau booster baru di angka 43,64 persen. Ketimpangan capaian vaksinasi di Buleleng cukup besar terutama jika dibandingkan capaian vaksin antara dosis 1 dengan dosis 3.
Koordinator Bidang Data dan Informasi Satgas Penanganan Covid-19 Buleleng Ketut Suwarmawan pun mengakui, capaian vaksinasi yang terus melemah. Bahkan jumlah capaian dosis 1 dibandingkan dengan dosis 2 dan 3, cukup signifikan. Capaian vaksinasi tinggi pada distribusi dosis 1, karena masyarakat saat itu sangat gencar melakukan antisipasi dengan memburu vaksin. Hal serupa juga terjadi saat dimulainya vaksinasi booster. Target sasaran yang ditetapkan pemerintah untuk booster di Buleleng kepada 537.957 orang sasaran.
Vaksinasi booster di Buleleng dimulai pada minggu kedua bulan Januari lalu. Capaian vaksin per minggunya berkisar 2.000-15.000 orang per minggunya. Puncak jumlah sasaran tertinggi pun terjadi pada bulan Maret berkisar 31.000-65.000 orang per minggu. Lonjakan capaian ini terjadi saat Buleleng melakukan skema gebyar vaksinasi di beberapa tempat. Lalu jumlah sasaran kembali menurun pada bulan April hingga Mei. Bahkan terakhir capaian vaksinasi booster per minggunya hanya 584 orang.
“Pergerakan booster melambat bukan karena masyarakat tidak percaya. Tetapi mereka menganggap belum perlu di tengah situasi yang sudah melandai,” kata mantan Kabag Protokol Setda Buleleng yang kini Kepala Dinas Kominfosanti Buleleng ini.
Bahkan menurutnya sebagian penduduk Buleleng yang merantau keluar daerah sudah kembali mencari penghidupan meninggalkan kampung halaman. “Memang hampir sebagian warga Buleleng bekerja dan merantau di luar daerah. Kemungkinan mereka sudah vaksin di daerah rantau. Buktinya ada kabupaten/kota di Bali yang capaian vaksinnya lebih dari 100 persen, diantaranya kami yakin ada warga kami dari Buleleng,” jelas Suwarmawan.
Penyebab lainnya diungkapkan Suwarmawan karena topografi wilayah Buleleng terluas di Bali dan memiliki banyak perbukitan. Hanya saja seluruh kendala itu sudah diupayakan jalan keluar. Proses vaksinasi pun sudah dilaksanakan dengan banyak skema. Tidak hanya di fasilitas kesehatan saja, tetapi juga melalui gebyar vaksin, penambahan waktu pelayanan vaksin saat hari libur, termasuk sistem jemput bola ke desa-desa untuk mendekatkan pelayanan vaksinasi.
“Ketika dicari lagi masyarakat yang belum divaksin yang difasilitasi desa atau kelurahan, memang sudah tidak ditemukan lagi masyarakat yang mau divaksin,” kata dia. Persoalan capaian lansia dan masyarakat kelompok rentan lainnya yang masih rendah disebut Suarmawan karena rata-rata memiliki komorbid. Mereka cenderung takut divaksin karena khawatir kondisi kesehatan semakin menurun setelah divaksin.
Di tengah kendala itu, Suwarmawan menyakinkan Pemerintah tetap akan mengupayakan vaksinasi tetap berjalan. Terutama menyasar kelompok masyarakat yang capaiannya masih rendah. Upaya vaksinasi tidak berhenti dilakukan. Bahkan masih buka setiap harinya di fasilitas kesehatan. Satgas penanganan Covid-19 Buleleng juga menyelipkan acara vaksinasi di setiap kegiatan. Seperti pada acara peringatan Bulan Bung Karno, Jumat (3/6) lalu. *k23
1
Komentar