Hanura Dukung Kebijakan Gubernur Koster Demi 'Keadilan' Siswa Miskin
DENPASAR, NusaBali.com - Menjelang bergulirnya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kabar mengejutkan harus diterima oleh SMA/SMK Bali Mandara. Sekolah unggulan yang menampung siswa miskin dari seluruh Bali dengan menerapkan sistem boarding school (asrama), terpaksa dicabut ‘keistimewaannya’ dan mempersamakan dengan seluruh SMA/SMK Negeri lainnya di bawah naungan Pemerintah Provinsi Bali.
Dengan demikian, SMA/SMK Bali Mandara akan mengalami perubahan pola layanan, agar sama seperti SMAN/SMKN Umum lainnya (reguler), yaitu tidak khusus mengelola siswa miskin dari berbagai wilayah kota/kabupaten di Bali dan tidak berasrama. Kebijakan dari Pemprov ini pun menuai polemik pro kontra di masyarakat.
Menyikapi pro kontra dalam beberapa minggu terakhir, DPD Partai Hanura Provinsi Bali pun angkat bicara. “Kami memahami terjadinya polemik. Karena sebagaimana kita ketahui, SMA/SMK Bali Mandara sudah menjadi ikon di Bali. Tapi jika dikaji lebih dalam, kami memahami langkah yang ditempuh oleh Gubernur Wayan Koster,” kata Ketua DPD Partai Hanura Bali I Kadek Arimbawa.
Dalam ‘Diskusi Nurani Pendidikan’ bersama awak media, Jumat (10/6/2022), Arimbawa menyebut bahwa sejatinya tak ingin masuk dalam kontroversi ini. Namun karena menjadi polemik berkepanjangan, maka ia pun ikut urun rembug.
“Saya tidak ingin masuk dalam nuansa politik. Apalagi semua yang bicara selalu dikaitkan politik. Ini murni menyikapi masalah pendidikan yang selalu menjadi isu hangat menjelang tahun ajaran baru,” terang Arimbawa.
Ketua parpol yang juga seorang seniman ini menyatakan bahwa anggaran untuk SMA/SMK Bali Mandara tidak dihapus, melainkan dilakukan pengurangan, sehingga sekolah unggulan di Bali ini tetap ada.
“Hanya dilakukan pengurangan anggaran, karena Pemprov Bali juga harus membangun sekolah-sekolah baru karena masyarakat Bali, khususnya masyarakat miskin, juga perlu mendapatkan keadilan sosial di bidang pendidikan, dan tidak terfokus pada SMA/SMK Bali Mandara saja. Ingat, ada 18.000 siswa miskin di Bali yang juga harus dipenuhi rasa keadilannya,” ujarnya.
Dasar pemikiran Gubernur Koster itulah yang disebut Arimbawa bisa dipahaminya karena pergeseran anggaran juga bisa dimanfaatkan membangun lebih banyak SMA/SMK. “Saya kira paling tidak diperlukan dua kali mata anggaran. Setelah itu ya anggarannya kan bisa dikembalikan lagi, sekaligus menerapkan atau menularkan sistem Bali Mandara ke sekolah-sekolah lain, sehingga akan lahir lebih banyak mutiara-mutiara Bali,” kata Arimbawa.
Sementara itu terkait dengan keberatan para alumni, Arimbawa mengaku sangat memahami. Karena diakui SMA/SMK Bali Mandara juga kerap meraih penghargaan dan melahirkan alumni-alumni berkualifikasi bagus.
“Saya akui itu. Hanya saja kondisi saat ini anggaran diperluas untuk membangun sekolah di seluruh Bali. Sistem Bali Mandara inilah yang nantinya bisa diterapkan,” kata Arimbawa.
Sebaliknya Arimbawa tak ingin polemik soal SMA/SMK Bali Mandara dijadikan komoditas politik.
“Harus jernih melihat persoalan dunia pendidikan. Keinginan Gubernur itu kan karena menindaklanjuti usulan-usulan dari daerah. Bagaimana pendidikan di Karangasem, Jembrana atau Bangli agar lebih baik lagi, karena banyak siswa miskin yang merasa belum mendapat keadilan untuk mendapatkan sekolah. Makanya Gubernur ingin menyetarakan siswa di seluruh Bali untuk mendapatkan sekolah yang layak,” ujarnya.
Arimbawa pun menegaskan dukungan terhadap kebijakan Pemprov Bali di dunia pendidikan bukan semata-mata karena histori pada Pilkada Bali membawa Hanura sebagai partai nasionalis pertama yang mengusung pasangan Wayan Koster-Tjok Artha Ardhana Sukawati.
“Saya setuju bukan semata-mata karena sebagai pengusung. Alasan logisnya sudah saya katakan tadi kan. Sebaliknya jika kebijakan Gubernur tidak bagus atau berpihak pada rakyat, ya pasti akan saya kritisi seperti saat awal penanganan pandemi Covid-19 lalu,” ungkap Arimbawa.
Sementara itu Sekretaris DPD Hanura Bali Gde Wirajaya Wisna menambahkan bahwa kunci dari pendidikan adalah pemerataan, terutama agar siswa miskin bisa mendapatkan akses. Disebutkan bahwa prioritas dana untuk pemerataan pendidikan perlu dilakukan dengan jemput bola ke sekolah-sekolah di kabupaten/kota, bisa digunakan dengan menguatkan sekolah negeri, menerapkan zonasi guru, dan Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) berdasarkan kebutuhan guru.
“Kualitas sekolah di tiap kabupaten/kota harus ditingkatkan agar standarnya merata dengan membangun infrastruktur, laboratorium, ruang belajar yang kondusif, lapangan olahraga dan gelanggang olahraga, maupun sanggar seni yang dapat meningkatkan mutu sekolah negeri dibandingkan sekolah swasta,” kata Wirajaya.
Adapun sistem zona guru dinilai perlu diterapkan untuk mengurangi biaya transportasi. Hal ini dikatakan sejalan dengan arah kesejahteraan guru yang memungkinkan pendidikan optimal bagi muridnya.
“TPP juga akan mendukung kenyamanan guru sehingga tidak ada urbanisasi pekerja pendidikan demi mencari penghasilan yang lebih di kota. Tunjangan atau insentif bisa menghidupi guru dan membuat mereka lebih fokus untuk meningkatkan pendidikan dan memaksimalkan layanan,” urai Wirajaya.
Peningkatan mutu sekolah di tiap kota/kabupaten, zona guru, dan TPP ini dinilai akan memaksimalkan upaya pemerataan pendidikan, sehingga diperlukan tambahan anggaran.
“Saat ini prioritas kita adalah untuk meningkatkan mutu sekolah di kabupaten/kota. Di tiap daerah ada orang miskin dan tidak semua bisa ditanggung oleh sekolah Bali Mandara. Dalam bidang kesehatan, desentralisasi program telah dilakukan di daerah. Kita bisa melakukan hal serupa di bidang pendidikan,” kata Wirajaya.
Karena itulah Wirajaya menyebut untuk mencetak prestasi di dunia pendidikan tidak harus berpusat di SMA/SMK Bali Mandara, melainkan perlu diterapkan di seluruh sekolah kabupaten/kota. “Seperti yang saya sampaikan di atas, ini bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas SDM dan fasilitas/infrastruktur di sekolah negeri,” kata politisi yang pernah menempuh pendidikan di Jerman ini.
Ia pun tak sependapat jika fokus untuk meningkatkan prestasi dilakukan dengan menganggarkan asrama atau biaya hidup murid, melainkan dengan fokus meningkatkan kualitas pendidikan yang diberikan kepada mereka.
“Mutu pendidikan Bali Mandara bisa menjadi pilot project yang direplikasi ke daerah-daerah lain demi memastikan pemerataan pendidikan di seluruh wilayah,” tuntas Wirajaya.
Sebagai gambaran, dalam setahun rata-rata jumlah siswa SMAN Bali Mandara sebanyak 402 orang (kelas 1, 2, dan 3), sedangkan rata-rata jumlah siswa SMKN Bali Mandara sebanyak 471 orang (kelas 1, 2, dan 3).
Satuan biaya pendidikan per siswa di SMAN Bali Mandara sebesar Rp 20 juta dan SMKN Bali Mandara sebesar Rp 22 juta, sehingga diperlukan total anggaran sebesar Rp 18,3 miliar yang dianggarkan dalam APBD Pemerintah Provinsi Bali setiap tahun.
Anggaran ini adalah untuk biaya makan-minum, pakaian seragam lengkap, sepatu/tas/topi/perlengkapan lain, buku beserta alat tulis, dan operasional (biaya ulangan, ujian, tes), serta untuk SMKN ditambah biaya Uji Kompetensi Keahlian. Sementara SMAN Reguler hanya sebesar Rp 700.000 per siswa per tahun. Sedangkan SMKN Reguler hanya sebesar Rp 900.000 per siswa per tahun.
1
Komentar