Perempuan Bali Merangkai Nilai
MEMEROLEH akses dan kesetaraan serta mewujudkan keadilan menjadi mimpi perempuan Bali.
Mimpi demikian diklisekan sebagai pengarusutamaan gender. Kenapa dikatakan sebuah mimpi? Kenyataannya, belum semua perempuan Bali menikmatinya dalam sejumlah aspek kehidupan. Menurut Rachmawati, peneliti kultural perempuan Bali dalam pergulatan gender, menyimpulkan bahwa perempuan Bali merasakan beban kerja berlebih dari pesaing maupun pendampingnya. Beban kerja yang lebih berat ditengara terkait dengan ketimpangan peran yang diusung. Kesetaraan dan keadilan yang diperoleh perempuan Bali kontradiktif dengan kemuliaannya dalam susastra. Bila ditelusur lebih luas, perempuan Bali belum memeroleh kesetaraan dan keadilan dalam perpolitikan, pendidikan, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Siapa yang bisa dijadikan kambing hitam?
Salah satu kambing hitam adalah tradisi. Tradisi menyegmentasi perempuan dan laki-laki. Perempuan cenderung memeroleh stereotipe yang cenderung merendahkan. Misalnya, perempuan adalah sosok lemah, emosional, cengeng, tidak tahan banting. Konsep ‘purusa’ cenderung menganggap laki-laki memiliki superioritas atas kaum perempuan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun bernegara. Untuk memeroleh kesetaraan dan keadilan, perempuan harus melewati jalan berkelok, upaya ekstra maupun proses panjang. Contoh ketidakadilan gender terlihat pada akses perempuan pada pendidikan tinggi. Laki-laki akan mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Alasannya logis, yaitu, laki-laki akan menjadi kepala keluarga dan sebagai pencari nafkah.
Sikap kritis bermunculan terhadap ketidak-setaraan dan ketidak-adilan pada perempuan. Budaya kritis mendorong pemahaman dan pengalaman hidup perempuan yang getir. Pendekatan kritis berupaya mengungkap struktur ‘bayu-sabdha-idep’ perempuan yang seringkali tersembunyi. Secara sadar, pendekatan kritis berupaya menggabungkan teori dan tindakan. Berbeda dengan tradisi klasik, peran perempuan disubordinasi dari laki-laki. Pendekatan tradisi klasik sering menciptakan ketidakseimbangan peran. Menurut Miller (2009), ketidakseimbangan peran dapat memicu keterasingan, penindasan atau pembedaan peran. Kadang, perempuan Bali enggan berseteru dan bersaing. Tradisi mendiktenya untuk tidak bersikap melawan, menerima dengan sopan? Adakah pendekatan seni budaya yang menarik dan persuasif untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan Bali?
Mungkin pendekatan ikebana bisa dicoba. Ikebana adalah seni merangkai bunga yang memanfaatkan berbagai jenis bunga, rumput-rumputan, dan tanaman. Tujuannya, untuk memeroleh keindahan. Ikebana merupakan seni merangkai bunga dari Negeri Sakura. Ikebana didasarkan pada tiga titik yang mewakili langit, bumi, dan manusia. Perempuan eloknya merekonstruksi langit yang terdiri dari banyak gas dan udara, berbeda komposisi di tiap lapisan. Demikian hendaknya perempuan Bali memiliki pengetahuan, seni, dan keterampilan dalam kehidupan.
Bumi adalah planet ketiga dari matahari, planet terpadat dan terbesar kelima dari delapan planet dalam tata surya, kaya dengan berbagai kandungan oksigen dan tumbuhan, memiliki air, pohon, dan makhluk hidup lainnya. Dalam keluarga, perempuan merupakan sosok kunci bagi pendidikan karakter anak. Perempuan selayaknya memiliki berbagai kiat dalam menumbuhkan dan mengembangkan pendidikan agama Hindu dan budi pekerti. Kesabaran dan ketekunan perempuan yang belum tentu dimiliki pesaing ataupun pendampingnya merupakan peluang untuk aktualisasi diri.
Menurut konsep Hindu, manusia adalah kesatuan antara badan jasmani dan ‘atman’ dan secara psikofisik terus berkembang, ‘utpti, stiti, pralina’. Dengan ‘bayu-sabda-idep’, manusia dapat melakukan perbuatan baik dan buruk atau ‘subha asubha karma’. Perempuan Bali seharusnya memberi makna pada ‘tri kona’ menjadi suatu kelahiran yang mulia, sehingga dapat melakukan perbuatan baik secara berulang. Demikian hendaknya perempuan Bali dapat meraih langit, menjejak bumi, dan berperilaku sebagai manusia berbudi, seperti seni merangkai bunga ala Jepang, yang berpusat pada tiga titik filosofi bumi, langit, dan manusia. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
1
Komentar