Bali Sekali Magalung Habis Rp 1,5 Triliun
Biaya perayaan Rp 1,5 triliun ini belum termasuk untuk perayaan Hari Raya Kuningan, 10 hari setelah Galungan
GIANYAR, NusaBali
HARI Raya Galungan jatuh pada setiap Rabu/Buda Kliwon Dungulan atau setiap 210 hari.
Orang Bali menyebut hari suci Hindu berstatus hari raya ini merupakan piodalan jagat. Istilah ini mengacu pada praktik upacara Hindu Bali yang bersifat hari raya atau besar yang berlangsung secara serentak di seluruh Bali. Piodalan berarti perayaan suci secara Hindi Bali setiap 210 hari sekali, dan jagat berarti sewilayah di Bali.
Karena berstatus hari raya dan piodalan jagat, maka tak tanggung-tanggung, prosesi Hari Raya Galungan menelan biaya hingga triliunan rupiah. Angka triliunan rupiah tersebut merupakan akumulasi dari biaya -biaya setiap KK umat Hindu di seluruh Bali. Biaya ini dapat dihitung sejak persiapan hingga Hari Raya Galungan dan esoknya, hari Umanis Galungan. Hitungan biaya ini tak termasuk tenaga kerja karena landasan berupacara keagamaan adalah ngayah (kerja bhakti, tanpa upah/pamerih).
Dosen Fakultas Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata (FEBP) Universitas Hindu Indonesia Denpasar Dr Putu Yudy Wijaya SE MSi,40, menyatakan ketertarikannya untuk menganalisis multiplier effect (efek berganda) secara ekonomi terhadap perayaan Galungan ini. Meskipun belum meneliti secara khusus hal tersebut, akademisi yang lektor kepala asal Banjar Gelulung, Desa/Kecamatan Sukawati, Gianyar ini mencoba menganalisis berdasarkan data Dirjen Dukcapil Kemendagri. Dari data ini didapatkan pada Juni 2021, jumlah penduduk beragama Hindu di Bali 3,71 juta jiwa atau 86,8 persen dari total penduduk Bali. Jika satu kepala keluarga (KK) Hindu di Bali terdiri dari 5 - 10 anggota atau rata-rata 7 orang, maka jumlah KK Hindu bisa sekitar 500.000 KK.
‘’Secara garis besar pengeluaran selama rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan dapat dikategorikan atas pengeluaran ritual dan pengeluaran non ritual,’’ jelas akademisi salah satu pemenang Hibah Penelitian Dasar Kompetitif Nasional dan Pemenang Pengabdian Masyarakat dari Kemendikbud RI Tahun 2022 ini, Jumat (10/6).
Jelas dia, bidang pengeluaran ritual diantaranya kelengkapan banten, ulam (daging ayam, babi), penjor, dan keperluan di mrajan/sanggah. Sedangkan pengeluaran bidang non ritual adalah pengeluaran penunjang ritual, seperti biaya transportasi, pembelian baju atau pakaian baru untuk anggota keluarga, dan THR (tunjangan hari raya). Menurut Dekan FEBP UNHI Denpasar ini, pengeluaran di tiap daerah memang berbeda jenis dan jumlahnya, sesuai dengan desa, kala, patra yang berlaku. Pengeluaran per KK umat tentu juga berbeda karena sesuai kondisi ekonomi di masing-masing keluarga.
Secara umum, rata-rata pengeluaran ritual untuk rangkaian Hari Raya Galungan sebesar Rp 2,5 juta, dan pengeluaran non-ritual berkisar Rp 500.000, sehingga total mencapai Rp3 juta. Apabila jumlah tersebut diakumulasikan se-Bali, maka pengeluaran masyarakat atau nilai transaksi selama rangkaian Hari Raya Galungan di Bali tembus Rp1,5 triliun. Proses pembelanjaan uang sebanyak itu terjadi sejak Sugimanek Jawa atau enam hari jelang Galungan, atau Wraspati/Kamis Wage Sungsang hingga Umanis Galungan. Nilai transaksi serangkaian perayaan Galungan di Bali ini tentu memberikan multiplier effect pada sektor lain. Angka ini sekaligus berkah bagi masyarkat yang menggeluti usaha perdagangan daging, buah-buahan, bunga, bumbu-bumbu, peralatan upakara, bambu, dan lain-lain.
‘’Biaya perayaan Rp 1,5 triliun ini belum termasuk untuk perayaan Hari Raya Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Namun biaya untuk perayaan Kuningan, tentu lebih kecil dibandingkan Galungan. Mungkin bisa diasumsikan setengahnya atau sekitar Rp 1,5 juta per KK,’’ jelas suami Dr Ni Nyoman Reni Suasih SIP MSi ini.
Yudi Wijaya secara terang menyebutkan, apa yang disampaikan tersebut baru sebatas analitic asumtif (analisis bersifat asumsi) dan belum merupakan kebenaran final sebuah penelitian. Dia sependapat dari asumsi ini dapat menjadi titik berangkat untuk penelitian lebih lanjut tentang konsumsi masyarakat Hindu di Bali terkait perayaan Galungan secara akurat.
Dari analisis itu dia menemukan bahwa, akumulasi biaya perayaan Galungan yang tak kecil atau, Rp 1,5 triliun tersebut, tak sejurus dengan keadaan ekonomi masyarakat Bali yang ambruk karena dirajam pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Meski dalam kondisi ekonomi tertatih karena pandemi, masyarakat Hindu Bali tetap semangat untuk berupacara dan selalu berusaha untuk memenuhi kegiatan keagamaan. Hal ini menandakan, nilai keyakinan umat Hindu Bali melalui praktik ritual atau upacara masih sangat berpengaruh dalam memutar perekonomian Bali. Maka upacara Hindu Bali dapat menjadi stimulus atau motor penggerak ekonomi Bali, setidaknya secara periodik. Angka Rp 1,5 triliun itu pula merepresentasikan bahwa taraf hidup masyarakat Hindu Bali masih kategori layak.
Berangkat dari tingkat pengeluaran masyarakat untuk berupacara keagamaan, jelas Yudi Wijaya, maka ada potensi dan peluang secara ekonomi yang perlu dikelola untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Bali, bahkan luar Bali.
Lebih-lebih belakangan ini, krama Bali suka yang praktis – praktis, tak ingin ribet. Kebutuhan berupa sarana ritual lebih banyak dibeli ketimbang dibuat sendiri, seperti penjor, peralatan upakara, sesajen, dan lain-lain. Bahkan, jelang Galungan paket lawar pun ada yang menawarkan dan ada yang membeli. Dampaknya, ada peluang kerja baru muncul ketika jelang hari raya ini. ‘’Persoalannya, sekarang siapa berperan sebagai apa dan peluang apa yang dapat digarap oleh sameton Bali dalam perputaran ekonomi dari upacara Galungan ini,’’ jelasnya sembari bertanya.*Isa
Komentar