Juri Menilai Belum Muncul Ide dan Gagasan Baru Serta Minim Regenerasi
Lomba Kerajinan Beruk pada Gelaran PKB XLIV
DENPASAR, NusaBali
Panitia PKB XLIV menyelenggarakan lomba membuat kerajinan beruk atau wadah dari batok kelapa, di Kalangan Ayodya Taman Budaya Bali di Denpasar, Senin (13/6).
Sebanyak sembilan peserta adu kemampuan menciptakan karya beruk yang indah. Menggunakan mesin foredom, setiap peserta tampak fokus mendesain batok kelapa sebagai material dasar pembuatan beruk. Lomba ini dinilai langsung oleh tiga juri yakni I Wayan Suardana, I Nyoman Labda, dan I Komang Abda Wirawan. Menurut salah seorang juri, I Wayan Suardana, ada empat kriteria yang dinilai dalam lomba kerajinan beruk, yakni, ide dan gagasan, bentuk dan hiasan, teknik pengerjaan, dan penampilan.
“Kreativitas, keterampilan, serta tampilan sangat penting di sini. Termasuk finishing-nya. Kadang ada yang bentuknya sudah bagus, tapi finishing-nya kurang. Bisa mempengaruhi penampilan beruk itu sendiri,” ungkap Suardana ditemui di sela-sela penilaian.
Dari pengamatan selama lomba, kata Suardana, sebagian besar peserta sudah terbiasa mengerjakan kerajinan beruk. Sehingga bisa dibilang, sebagian peserta yang ikut adalah perajin beruk. Akan tetapi dari sembilan peserta yang berlomba, menurutnya masih belum muncul ide dan gagasan baru. Para peserta membuat beruk sesuai dengan apa yang dikerjakannya sehari-hari.
“Yang saya harapkan ide dan gagasan baru bisa muncul. Tapi yang saya lihat, masih banyak yang menekankan ornamen dan orientasinya lebih banyak untuk kebutuhan sarana upacara. Mudah-mudahan nanti bisa muncul fungsi-fungsi lain, seperti beruk sebagai kap lampu, ikat pinggang, dan lain-lain,” jelasnya.
Dosen Kriya ISI Denpasar tersebut juga mengungkapkan, jika melihat saat ini memang animo masyarakat terhadap penggunaan beruk masih dominan untuk kegiatan keagamaan. Namun sejatinya, karya beruk ini tak hanya sebatas itu fungsinya. Jika mau menggali lebih jauh, kerajinan beruk bisa saja bernilai ekonomi lebih tinggi bahkan diekspor ke luar negeri.
“Perajin beruk selama ini melihat penggunaan beruk untuk kegiatan keagamaan sebagai sebuah peluang. Sehingga mereka menciptakan sarana-sarana upacara yang terbuat dari beruk. Tapi lebih dari itu, beruk bisa dijadikan berbagai jenis karya kerajinan yang mungkin bisa diekspor ke mancanegara,” ucapnya.
Suardana juga membeberkan, permasalahan secara umum pada seni kriya adalah soal minimnya desain-desain baru. Sehingga kerajinan yang dikerjakan terkesan monoton dengan model yang itu-itu saja. “Seandainya ada pengembangan-pengembangan desain baru, kemudian dikolaborasi dengan material yang lain, saya yakin akan memiliki nilai seni yang tinggi dan potensi ekonomi yang luar biasa,” kata Suardana.
Sedangkan I Nyoman Laba juga menyoroti minimnya minat generasi muda dalam mendalami kerajinan beruk. Tak hanya beruk. Menurutnya, hampir semua kerajinan minim regenerasi, bahkan ini jadi fenomena. “Anak-anak muda juga minatnya berkurang. Mungkin karena pengembangan kreativitasnya yang kurang. Modelnya hanya itu-itu saja. Sedangkan generasi muda saat ini kan perlu sesuatu yang baru,” tutur Laba.
“Kami mengharapkan sekali perajin beruk ini ada regenerasinya, walaupun sudah ada basisnya seperti di Tampaksiring dan Karangasem. Anak muda mau terjun melanjutkan pekerjaan ini, karena ini adalah salah satu jenis kerajinan yang potensial. Apalagi untuk materialnya, di Bali tidak ada kekurangan,” ucap dosen Kriya ISI Denpasar tersebut. *cr78
1
Komentar