Kriyaloka Seni Lukis Wayang Klasik di PKB XLIV Sasar Generasi Muda
DENPASAR, NusaBali
Puluhan anak muda mengikuti lokakarya (kriyaloka) Seni Lukis Wayang Klasik serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar, Selasa (14/6).
Mereka terlihat sangat antusias mengikuti arahan narasumber Cokorda Alit Artawan SSn, MSn, dalam membuat goresan wayang klasik gaya Kamasan.
Cokorda Alit Artawan mengatakan lokakarya digelar untuk menyamakan persepsi kepada calon peserta lomba melukis wayang klasik Kamasan serangkaian PKB XLIV. Namun demikian selain calon peserta lomba, sebagian peserta juga berasal dari kalangan umum termasuk anak-anak.
“Supaya mereka punya satu kesatuan persepsi karena wayang klasik banyak di Bali, ada gaya Kamasan, Ubud, Kerambitan, Julah, Singaraja, dan lain sebagainya,” ucap Cok Artawan.
Cok Artawan yang juga dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, menuturkan seni lukis wayang Kamasan adalah suatu karya yang sangat adiluhung berasal dari zaman keemasan kerajaan Bali di bawah pemerintahan Ida Dalem Waturenggong di Kerajaan Gelgel Klungkung pada abad ke-17, yang pada masa itu digunakan sebagai persembahan kepada Ida Bathara menghias pura.
Pada saat itu seniman yang dikenal memelopori seni lukis wayang Kamasan adalah Gede Marsadi bergelar Sangging Mudara, bersama sejumlah seniman lainnya asal Kamasan.
“Ada filosofi yang banyak karena berkaitan dengan Itihasa, bagaimana wayang Ramayana dan Mahabharata dibuat dalam bentuk visual dalam media kanvas maupun kertas,” ujar pria asal Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar.
Untuk melukis wayang klasik, Cok Artawan merinci terdiri dari tahap molokin (sketsa awal menggunakan kayu widuri), kemudian ngereka (menegaskan sketsa awal dengan warna hitam dan mangsi dengan menggunakan penelak).
Selanjutnya tahap ngewarna (memberi warna memakai kuas yang disebut penulian), tahap nyawi (membuat detail ornamen), neling (memberikan kontur hitam), dan terakhir tahap mbuluin (penyelesaian dengan garis-garis halus pada detail lukisan.
“Intinya dalam seni lukis wayang klasik ada uger-uger (aturan) yang tidak bisa dihilangkan, termasuk dari sisi bentuk mata dan alis yang harus disesuaikan dengan karakter yang dilukis,” tutur Cok Artawan.
Dia menjelaskan pada masa lampau media untuk melukis wayang Kamasan yakni menggunakan kain yang terbuat dari kapas yang berasal dari daerah Nusa Penida. Selain itu bahan pewarnaan yang digunakan juga menggunakan pewarna alami, seperti tanduk rusa/tulang babi yang dibakar (warna putih), jelaga (hitam), atal (kuning), daun tarum (biru), pere (cokelat), dan ancur sebagai perekat.
“Kalau sekarang masih ada yang menggunakan warna Bali (alami) tapi kebanyakan menggunakan warna akrilik,” imbuhnya.
Cok Artawan berharap generasi muda di Bali tidak meninggalkan seni lukis wayang klasik Bali, khususnya wayang klasik Kamasan yang sudah diakui keunggulannya sampai saat ini.
Meskipun tidak mudah mengikuti maestro-maestro seni lukis wayang klasik di masa lalu, namun saat ini sudah banyak dukungan dari dunia akademis yang memberi bimbingan bagaimana melukis wayang klasik Bali dengan benar sesuai dengan pakem yang dibangun di masa lalu.
Di ISI Denpasar, tempat Cok Artawan mengajar juga ditawarkan mata kuliah khusus wayang Kamasan pada Program Studi Seni Rupa Murni. Pun di luar program studi tersebut seperti Desain Komunikasi Visual juga banyak mata kuliah terkait seni lukis Wayang Kamasan seperti mata kuliah Ilustrasi Bali, nyastra (menggambarkan teks), dan lain sebagainya.
Berangkat dari seni lukis wayang klasik tersebut Cok Artawan mempersilakan generasi muda untuk mengembangkan seni lukis wayang. “Silakan dikembangkan menjadi acuan baru, tapi yang klasik ini benar-benar murni,” tandas Cok Artawan.
Salah seorang peserta lokakarya, Gede Eka,19, mengatakan melukis wayang klasik Kamasan selain merupakan sebuah hobi sekaligus untuk melestarikan warisan leluhur.
“Karena itu warisan dari panglingsir saya. Dari wayang tersebut banyak cerita-cerita yang nilai filosofisnya sangat tinggi. Menurut saya itu patut dilestarikan,” kata Gede Eka yang mengaku sudah 6 tahun belakangan belajar melukis wayang Kamasan.
Dia mengakui tidak mudah belajar melukis wayang klasik Kamasan. Pemuda asal Denpasar ini bahkan belajar melukis langsung di Sanggar Lukis Wasundari di Kamasan, Klungkung. Menurutnya belajar melukis wayang klasik Kamasan banyak tantangannya, namun dengan niat kuat dia percaya setiap kesulitan bisa dilewati.
“Ini sebagai hobi saja sebenarnya, karena prinsip saya melukis bukan untuk komersial, tapi supaya hatinya senang,” tandas mahasiswa Institut Desain dan Bisnis Bali, ini. *cr78
Komentar