Tradisi Ngunying ‘Barong Swari’ Desa Abuan Bangli Tampil Menegangkan
DENPASAR, NusaBali
Meski disajikan bukan yang aslinya, karena untuk hiburan, Rekasadana (Pergelaran) Seni Tradisi Ngunying ‘Barong Swari’ dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV, tampil menegangkan pada Selasa (14/6) malam di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Bali di Denpasar.
Gerak tari barong dengan gaya Desa Abuan yang khas sangat memukau, sehingga penonton memberikan tepuk tangan meriah. Biasanya, ‘Ngunying’ dilaksanakan saat upacara besar setahun sekali menggunakan dupa dan ayam mentah. Namun dalam pementasan kali ini diganti oleh keris dengan bahan yang lunak. Meski demikian tetap menegangkan. Sementara Barong yang asli masih tersimpan di pura setempat, sedangkan yang ditampilkan di PKB hanya duplikat.
Ngunying ‘Barong Swari’ itu disajikan oleh Sanggar Seni Kunti Sraya Banjar Abuan, Desa Abuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli mengangkat tentang pangruwatan.
Pementasannya diawali dengan Tabuh Bebarongan ‘Bayu Tirta’, garapan karawitan yang mengangkat kekuatan tirta. Bayu itu berarti kekuatan dan tirta adalah air yang telah disucikan. Karya tabuh petegak bebarongan yang ditata Jro Ngurah Wiratama Putra SSn, ini mengimplementasikan karakteristik air yang terkadang tenang, terkadang deras dan menghanyutkan.
Walau tergolong baru, tetapi garapan seni yang didukung sekitar 45 seniman ini tetap memaksimalkan patet-patet barungan Semara Pegulingan, sesuai karakteristik air yang dapat berubah-ubah sesuai tempat air itu berada. “Garapan ini menjadi lebih indah karena diramu dengan metimbangan. Konsep estetis karya seni karawitan secara proposional dalam keutuhan melodi, tempo, dan dinamika serta tetap mengacu pada aturan,” kata Jro Ngurah Wiratama Putra.
Setelah menyajikan Tari Barong dengan gaya khas Desa Abuan, sanggar yang didukung puluhan seniman remaja dan dewasa ini kemudian menyajikan Ngunying Barong Swari yang berdurasi sekitar 1 jam.
Ngunying Barong Swari mengisahkan pertemuan antara Dewa Siwa dengan Dewi Uma, sehingga melahirkan seorang putra bernama Sang Rare Kumara. Saat Rare Kumara besar, dia lebih dekat dengan ayah Dewa Siwa. Sementara bercengkerama bersama ibunya Dewi Uma sangat jarang dilakukan.
Di saat Dewi Uma menyusui putra Sang Rare Kumara, kelakuan Sang Rare Kumara sering membuat ibunya jengkel. Kelakuannya itu membuat Dewi Uma menjadi marah sampai memukul-mukul anaknya. Akibat marah itu terlalu besar sampai membuat Dewi Uma berubah menjadi sosok yang menyeramkan.
Kejadian itu dilihat Dewa Siwa, membuatnya marah. Dewi Uma lalu dihukum dan dikutuk menjadi Dewi Durga turun ke dunia mendiami setra agung. Tak sampai di situ, terjadilah wabah yang diciptakan Dewi Durga bersama makhluk pengiringnya. Manusia sebagai penghuni dunia merasa sedih bercampur ketakutan. Setiap hari, ada saja manusia yang meninggal dunia. Pagi hari terkena penyakit, sore harinya meninggal, sorenya sakit keesokan harinya meninggal, demikian seterusnya.
Karena musibah di dunia itu, tiga Dewa yakni Dewa Brahma, Wisnu, dan Dewa Iswara kemudian menyelamatkan dunia dari kegeringan (wabah) itu. Ketiga Dewa itu secara bersama-sama menyelamatkan manusia di dunia dengan menciptakan Barong Swari. Dewa Brahma menjadi Topeng Bang (merah), Dewa Wisnu menjadi Telek, dan Dewa Iswara menjadi Barong. Dari sinilah asal mula Barong Swari yang kemudian menari di perempatan desa dan pertigaan untuk menyelamatkan dunia dari wabah. Ketiga Dewa itu menari untuk menciptakan kesejahteraan di dunia serta bisa mengembalikan Dewi Durga menjadi Dewi Uma lalu ke Kahyangan.
Jro Ngurah Wiratama Putra mengaku senang dan bangga sanggar yang dikelolanya bisa tampil di PKB. Setelah 2 tahun lebih vakum karena pandemi Covid-19, ajang seni yang digelar Pemprov Bali ini memberikan ruang untuk menyalurkan ekspresi yang terpendam selama hampir 2 tahun lamanya. “Kami berharap pemerintah bisa memanfaatkan sanggar lokal untuk memberikan kesempatan pentas dalam even-even milik pemerintah dan lainnya,” harapnya. *cr78
Komentar