Tegang, Kalangan Ayodya Diwarnai Aksi Ngunying dan Kerauhan
Gita Bandana Praja Denpasar Padukan Drama Gong dengan Penyalonarangan
Selain bersifat sebagai hiburan, pementasan ini juga bermakna untuk mendoakan alam semesta dengan menggelar ritual pecaruan atau pemahayu jagat.
DENPASAR, NusaBali
Tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV (44) Tahun 2022 saat Hari Raya Kuningan, Sabtu (18/6) malam, Sanggar Gita Bandana Praja, Duta Kota Denpasar menghebohkan Kalangan Ayodya, Taman Budaya Bali (Art Center) Denpasar. Pasalnya, sanggar ini tak sekadar menampilkan drama gong biasa, melainkan drama gong tradisi dipadukan dengan penyalonarangan. Tak pelak, Kalangan Ayodya diwarnai aksi pengundangan, watangan, ngunying, dan juga kerauhan.
Lebih dari empat jam pementasan drama gong tradisi penyalonarangan tersebut berlangsung. Masyarakat masih setia menonton hingga akhir sekitar pukul 23.15 Wita. Pada awalnya, pertunjukan layaknya drama gong seperti umumnya. Koordinator yang juga Ketua Sanggar Gita Bandana Praja, I Nyoman Gede Jasa, mengungkapkan sebagai wakil dari Kota Denpasar pihaknya mengemas suatu sajian yang unik sebagai bentuk kreativitas, yakni sajian drama gong dengan memasukkan unsur penyalonarangan.
Adapun sajian apik yang ditampilkan mengangkat cerita 'Baruna Murti' yang mengambil penokohan di kawasan Batur dan Toh Langkir. Dikisahkan, masyarakat di tepian Danau Batur yang sebagian besar masyarakatnya sangat senang dan bangga atas keberhasilan mereka dalam bercocok tanam. Semuanya hidup dan tumbuh dengan subur, mulai dari berbagai macam tanaman bunga, sayur-sayuran, buah-buahan serta tanaman lainnya. Masyarakat di sana sangat menjunjung tinggi kebesaran Hyang Dewi Danu. Tak jauh berbeda dengan kondisi di daerah Toh Langkir.
Jika di tepian Danau Batur adalah kisah masyarakat dengan berbagai macam tumbuh-tumbuhan, sedangkan di Toh Langkir dikisahkan masyarakat dengan segala macam binatang yang dipelihara dengan sangat baik, bahkan sangat jarang ada yang cepat mati ataupun sakit, dan semuanya tumbuh besar dengan cepat dan sehat. Ini pun tidak terlepas dari rahmat atau waranugraha Hyang Putranjaya.
Tetapi ada salah satu juragan yang bernama juragan Bretong bersama anaknya yang sangat angkuh dengan keberhasilannya di bidang memelihara segala macam binatang. Hingga diperintahkanlah anak buahnya untuk menggembalakan peliharaannya sampai ke tepian Danau Batur. Akhirnya, hal yang tak diinginkan terjadi. Semua tanaman di sana hancur lebur dirusak oleh binatang peliharaan juragan Bretong.
Masyarakat di sana pun menjadi sangat marah. Men Bekung, Pan Bekung, bersama masyarakat lainnya di tepian Danau Batur akhirnya membunuh semua binatang tersebut dan dibuang begitu saja ke danau dan ke kali terdekat yang ada di sana. Pada akhirnya semua sampah bangkai dan kotoran tersebut bermuara ke laut, sehingga membuat Hyang Baruna sangat marah. Hyang Baruna mengutuk sampah dan semua bangkai tersebut menjadi sasab merana.
Akhirnya terjadilah wabah yang disebut dengan gering agung, terutama di tepian Danau Batur dan di Toh Langkir. Sehingga masyarakat Toh Langkir dan masyarakat di tepian Danau Batur menjadi bersengketa dan saling tuduh masalah sasab merana. Karena mereka terus menerus saling tuduh dan bertengkar, maka turunlah Hyang Pasupati untuk melerainya serta menyarankan agar Hyang Putranjaya dan Dewi Danu untuk mengajak masyarakatnya menghadap kepada Hyang Baruna. Dengan tujuan untuk memohon maaf dan meminta tuntunan.
“Jadi dalam lakon Baruna Murti ini sarat dengan pesan agar masyarakat jangan abai terhadap lingkungan. Terutama membuang sampah sembarangan. Kalau sampah dibuang di kali itu muaranya kan tetap ke laut. Sehingga laut marah dan akhirnya terciptalah wabah penyakit dan gering agung,” jelasnya.
Cerita ditampilkan kurang lebih selama tiga jam oleh para pemain. Namun menginjak pukul 22.00 Wita, dua watangan tiba-tiba dihadirkan di area pementasan. Dua watangan diiringi dengan tetabuhan ini awalnya diarak dari pintu masuk Taman Budaya Denpasar, berjalan mengitari kawasan Taman Budaya tersebut hingga sampai di Kalangan Ayodya. Suasana penonton pun menjadi tegang karena ada aksi nguying dan kerauhan. Namun demikian, tak sedikit pula penonton yang justru antusias dalam menyimak.
Nyoman Jasa mengakui, memadukan kesenian drama gong dengan penyalonarangan memang memiliki kesulitan tersendiri. “Terutama di bagian tabuh. Bagaimana pengemasan tabuh antara drama gong dengan penyalonarangan ini agar bisa nyambung. Secara tingkat kesulitan, mungkin para pembina garapan yang lebih paham,” ungkapnya sembari menyebut pementasan Sabtu malam kemarin melibatkan lebih dari 100 seniman dan puluhan pamangku.
Selain bersifat sebagai hiburan, kata Nyoman Jasa, pementasan ini juga bermakna untuk mendoakan alam semesta. Dalam pertunjukan tersebut digelar pula ritual pecaruan atau pemahayu jagat yang dipuput langsung oleh seorang sulinggih didampingi puluhan Pamangku Kahyangan Tiga seluruh Denpasar.
“Sehingga dapat dikatakan, kemarin kami pentas juga sekaligus mendoakan Kota Denpasar yang dalam hal ini kita pusatkan di Art Center ini agar alam rahayu dari bencana, gering, sasab merana, dan lainnya. Kami gelar pecaruan lengkap dengan bantennya yang dipuput oleh Ida Rsi,” pungkasnya. *cr78
Tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV (44) Tahun 2022 saat Hari Raya Kuningan, Sabtu (18/6) malam, Sanggar Gita Bandana Praja, Duta Kota Denpasar menghebohkan Kalangan Ayodya, Taman Budaya Bali (Art Center) Denpasar. Pasalnya, sanggar ini tak sekadar menampilkan drama gong biasa, melainkan drama gong tradisi dipadukan dengan penyalonarangan. Tak pelak, Kalangan Ayodya diwarnai aksi pengundangan, watangan, ngunying, dan juga kerauhan.
Lebih dari empat jam pementasan drama gong tradisi penyalonarangan tersebut berlangsung. Masyarakat masih setia menonton hingga akhir sekitar pukul 23.15 Wita. Pada awalnya, pertunjukan layaknya drama gong seperti umumnya. Koordinator yang juga Ketua Sanggar Gita Bandana Praja, I Nyoman Gede Jasa, mengungkapkan sebagai wakil dari Kota Denpasar pihaknya mengemas suatu sajian yang unik sebagai bentuk kreativitas, yakni sajian drama gong dengan memasukkan unsur penyalonarangan.
Adapun sajian apik yang ditampilkan mengangkat cerita 'Baruna Murti' yang mengambil penokohan di kawasan Batur dan Toh Langkir. Dikisahkan, masyarakat di tepian Danau Batur yang sebagian besar masyarakatnya sangat senang dan bangga atas keberhasilan mereka dalam bercocok tanam. Semuanya hidup dan tumbuh dengan subur, mulai dari berbagai macam tanaman bunga, sayur-sayuran, buah-buahan serta tanaman lainnya. Masyarakat di sana sangat menjunjung tinggi kebesaran Hyang Dewi Danu. Tak jauh berbeda dengan kondisi di daerah Toh Langkir.
Jika di tepian Danau Batur adalah kisah masyarakat dengan berbagai macam tumbuh-tumbuhan, sedangkan di Toh Langkir dikisahkan masyarakat dengan segala macam binatang yang dipelihara dengan sangat baik, bahkan sangat jarang ada yang cepat mati ataupun sakit, dan semuanya tumbuh besar dengan cepat dan sehat. Ini pun tidak terlepas dari rahmat atau waranugraha Hyang Putranjaya.
Tetapi ada salah satu juragan yang bernama juragan Bretong bersama anaknya yang sangat angkuh dengan keberhasilannya di bidang memelihara segala macam binatang. Hingga diperintahkanlah anak buahnya untuk menggembalakan peliharaannya sampai ke tepian Danau Batur. Akhirnya, hal yang tak diinginkan terjadi. Semua tanaman di sana hancur lebur dirusak oleh binatang peliharaan juragan Bretong.
Masyarakat di sana pun menjadi sangat marah. Men Bekung, Pan Bekung, bersama masyarakat lainnya di tepian Danau Batur akhirnya membunuh semua binatang tersebut dan dibuang begitu saja ke danau dan ke kali terdekat yang ada di sana. Pada akhirnya semua sampah bangkai dan kotoran tersebut bermuara ke laut, sehingga membuat Hyang Baruna sangat marah. Hyang Baruna mengutuk sampah dan semua bangkai tersebut menjadi sasab merana.
Akhirnya terjadilah wabah yang disebut dengan gering agung, terutama di tepian Danau Batur dan di Toh Langkir. Sehingga masyarakat Toh Langkir dan masyarakat di tepian Danau Batur menjadi bersengketa dan saling tuduh masalah sasab merana. Karena mereka terus menerus saling tuduh dan bertengkar, maka turunlah Hyang Pasupati untuk melerainya serta menyarankan agar Hyang Putranjaya dan Dewi Danu untuk mengajak masyarakatnya menghadap kepada Hyang Baruna. Dengan tujuan untuk memohon maaf dan meminta tuntunan.
“Jadi dalam lakon Baruna Murti ini sarat dengan pesan agar masyarakat jangan abai terhadap lingkungan. Terutama membuang sampah sembarangan. Kalau sampah dibuang di kali itu muaranya kan tetap ke laut. Sehingga laut marah dan akhirnya terciptalah wabah penyakit dan gering agung,” jelasnya.
Cerita ditampilkan kurang lebih selama tiga jam oleh para pemain. Namun menginjak pukul 22.00 Wita, dua watangan tiba-tiba dihadirkan di area pementasan. Dua watangan diiringi dengan tetabuhan ini awalnya diarak dari pintu masuk Taman Budaya Denpasar, berjalan mengitari kawasan Taman Budaya tersebut hingga sampai di Kalangan Ayodya. Suasana penonton pun menjadi tegang karena ada aksi nguying dan kerauhan. Namun demikian, tak sedikit pula penonton yang justru antusias dalam menyimak.
Nyoman Jasa mengakui, memadukan kesenian drama gong dengan penyalonarangan memang memiliki kesulitan tersendiri. “Terutama di bagian tabuh. Bagaimana pengemasan tabuh antara drama gong dengan penyalonarangan ini agar bisa nyambung. Secara tingkat kesulitan, mungkin para pembina garapan yang lebih paham,” ungkapnya sembari menyebut pementasan Sabtu malam kemarin melibatkan lebih dari 100 seniman dan puluhan pamangku.
Selain bersifat sebagai hiburan, kata Nyoman Jasa, pementasan ini juga bermakna untuk mendoakan alam semesta. Dalam pertunjukan tersebut digelar pula ritual pecaruan atau pemahayu jagat yang dipuput langsung oleh seorang sulinggih didampingi puluhan Pamangku Kahyangan Tiga seluruh Denpasar.
“Sehingga dapat dikatakan, kemarin kami pentas juga sekaligus mendoakan Kota Denpasar yang dalam hal ini kita pusatkan di Art Center ini agar alam rahayu dari bencana, gering, sasab merana, dan lainnya. Kami gelar pecaruan lengkap dengan bantennya yang dipuput oleh Ida Rsi,” pungkasnya. *cr78
Komentar