Tampilkan Duta Kabupaten Badung, Tabanan, dan Gianyar
Lomba Gender Anak-anak pada PKB XLIV
DENPASAR, NusaBali
Permainan gender wayang anak-anak, masih menjadi tontonan menarik bagi pengunjung Pesta Kesenian Bali (PKB) setiap tahunnya.
Pada PKB XLIV tahun 2022 ini, masyarakat terutama anak-anak dan remaja, baik pria maupun wanita sudah memadati Kalangan Ayodya, Taman Budaya Denpasar, tempat Wimbakara (lomba) Gender Wayang Anak-anak digelar, Senin (20/6).
Pada Wimbakara (Lomba) Gender Wayang Anak-anak kali ini menampilkan tiga duta seni, yakni, dari Sanggar Seni Tapak Dara, Banjar Umalas Kangin, Desa Adat Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung; Sanggar Suara Murti, Banjar Babakan, Desa/Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar; Sanggar Leklok, Banjar Pasekan Baleran, Desa Dajan Peken, Kecamatan/Kabupaten Tabanan.
Ketiga duta seni ini tampil dengan gaya dan teknik yang memikat. Mereka tak hanya lihai dalam memainkan bilah gamelan berlaras slendro, tetapi juga beraksi dengan gaya yang sangat pas dan indah. Masing-masing peserta menampilkan Tabuh Pamungkah, Sekar Sungsang, dan Angkat-angkatan.
“Walau nama gending yang dimainkan sama karena sudah menjadi warisan, namun dalam penampilannya memiliki kreasi dan gaya yang sangat khas,” kata Koordinator Dewan Juri Dr I Gusti Putu Sudarta.
Tiap-tiap peserta menyajikan karakter gending wayang dari daerahnya masing-masing dengan penuh ekspresi. Para seniman cilik tersebut memiliki teknik yang rata-rata tinggi. Dari segi gegedig, seluruh peserta memiliki teknik bermain yang canggih, sehingga dapat menghasilkan gending yang sangat indah.
“Sayangnya, dari sembilan kabupaten dan kota di Bali, hanya lima yang mengirimkan perwakilannya pada PKB ke-44 tahun ini. Masalah pembibitan atau regenerasi memang menjadi kendala saat ini,” ungkap Gusti Putu Sudarta.
Dosen ISI Denpasar ini mengatakan, dari tahun ke tahun hanya lima kabupaten yang tetap eksis dan berkembang. Pusat perkembangan ada di Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, Badung, Tabanan, dan Karangasem. Kelima daerah tersebut selalu mengirimkan wakilnya, jika ada lomba gender wayang anak-anak. “Sementara di daerah lain, sepertinya kewalahan untuk mendapatkan generasi penabuh gender wayang. Di Buleleng, misalnya, sangat susah mengajak anak-anak belajar gender wayang, padahal memiliki potensi yang cukup besar,” ujar Gusti Putu Sudarta.
Penabuh gender wayang, lebih banyak dilakukan oleh orang dewasa yang sebelumnya sudah melakoni gamelan gong kebyar. Hal itu sudah menjadi perhatian para seniman gender di Buleleng untuk berupaya melahirkan generasi yang lebih, sehingga Buleleng bisa eksis dengan seni pewayangannya. Anak-anak lebih mencintai gong kebyar. “Untuk daerah Jembrana, Bangli, serta Klungkung, kadang-kadang ada wakilnya, terkadang tidak mengirimkan dutanya. Klungkung, dulunya sering mengirimkan wakilnya, tetapi kali ini absen. Mungkin karena masalah regenerasi saja,” kata Gusti Putu Sudarta.
Dalang wayang kulit dan sendratari ini menegaskan, memainkan gamelan gender wayang itu menarik dari segi teknik karena dapat menggerakkan motorik kanan dan kiri. Hal itu sangat berkaitan dengan kesadaran pikiran, juga dapat meningkatkan dalam pendidikan. Apalagi, seni itu ada kaitannya dengan motorik main dengan pikiran. “Sama halnya dengan musik barat. Drum, itu menjadi riset karena berpengaruh kepada otak kanan dan kiri. Karena dalam memainkan musik itu dilakukan dengan berlainan tangan, berlainan pukulan atau dengan istilah multi rhythm. Itu akan sangat bagus pengaruhnya pada perkembangan otak,” paparnya.
Anak yang memainkan gamelan gender wayang, tanpa disadari semua itu untuk menciptakan kehalusan budi pekerti. Dengan main pikiran, itu berkaitan dengan motorik dan otak, dan ini sangat lengkap. Apalagi aguron-guron di sanggar akan mendapatkan sesuatu pelajaran di luar teknik, seperti bersikap, berperilaku yang sesungguhnya menjadi pondasi dalam menjalani kehidupan. “Kesenian gender ini sesungguhnya dapat meningkatkan kedisiplinan. Apalagi nantinya berkaitan dengan seni pewayangan,” tutur Gusti Putu Sudarta. *cr78
1
Komentar