MUTIARA WEDA: Teori Kambing Mengejar Rumput
Āsannān purato bhogān darssayittvā punah punah, Chāgo haritamustyeva duram nito’smi trsnayā. (Sarasamucchaya, 455)
Seperti seekor kambing dibohongi dengan menggantungkan seikat rumput di depannya, seseorang sungguh tergoda jauh oleh kemelekatan (trsna).
RUMPUT adalah makanan kambing. Jika kita mengikat pada tubuhnya tongkat dan tali yang berisi rumput tepat di depannya, maka kambing akan berupaya meraihnya. Ke mana pun kambing berjalan, rumput itu akan tetap berada di depannya. Jika kambing itu diam, rumput ikut diam. Jika kambing bergerak cepat rumput juga berlalu dengan cepat dan tetap berada di depannya. Rumput itu akan selalu berada di depan kambing sepanjang tali yang mengikatnya tidak dilepas. Dalam konteks keberadaan trsna (keterikatan) pada diri manusia, seperti itulah pengandaiannya. Dan ini sepertinya sangat tepat. Kesedihan dan kesenangan yang dirasakan sebagai akibat trsna itu yang menumpangi pikiran.
Kontak antara indriya dan objek-objeknya sebenarnya bukanlah penyebab dari penderitaan seseorang, sebab kontak itu memang demikian adanya. By nature indriya itu selalu mengarah keluar dan menyentuh objeknya dan itu tidak bisa dijadikan sebagai victim atas sumber derita manusia. Kontak indriya dengan objek dan kemudian ditumpangi oleh trsna inilah sumber penderitaan manusia. Trsna inilah yang membuat keinginan orang tidak pernah berakhir. Objek-objek indriya dan kontaknya hanyalah media dari kerja trsna itu sehingga keinginan seseorang menjadi tanpa batas. Saat miskin, orang ingin kaya. Setelah kaya dia ingin kekuasaan. Setelah berkuasa, dia ingin hidup abadi, demikian seterusnya. Tidak ada satu pun yang membuatnya bahagia. Sepanjang trsna itu masih ada pada diri, kebahagiaan sejati tidak akan pernah hadir, sebab pikiran masih mengidentifikasi bahwa kebahagiaan itu selalu ada di depan, ada pada objek yang diinginkan di depan.
Bagaimana agar kebahagiaan sejati bisa diperoleh? Satu-satunya cara adalah dengan melepaskan trsna tersebut. Kemelekatan harus dihilangkan, tidak ada yang lain. Seperti halnya rumput tadi, agar kambing tidak ke sana kemari berupaya meraih rumput, melepaskan talinya adalah satu-satunya cara. Bagaimana cara melepaskan itu? Tentu tidak mudah dan sepertinya mustahil untuk dihilangkan. Mengapa mustahil? Karena cara pandang kita tentang bagaimana meraih kebahagiaan sejati itu masih keliru. Maksudnya? Kita tidak menyadari bahwa mengejar kebahagiaan dari hasil keinginan atau trsna itu sebenarnya sia-sia. Ketika keinginan kita berhasil dipenuhi, rasa puas yang hadir kita anggap sebagai kebahagiaan. Tetapi sesaat setelah itu, segera trsna pindah ke objek lain. Trsna selalu berpindah-pindah tidak pernah tetap pada satu objek.
Bukankah menyadari tentang hal ini gampang, sebab hampir sebagian besar kitab suci menyatakannya demikian, dan juga banyak yang mewacanakan tentang ini secara terus-menerus? Tidakkah ini dirasa cukup untuk memahami kondisi itu? Mungkin hafal dan mendiskusikannya setelah itu mudah, dan pemahaman kognitif tidak berkontribusi banyak atas pemahaman yang benar mengenai trsna ini. Bahkan kita yang setiap saat mewacanakan tentang buruknya trsna ini pun sepenuhnya masih terikat dengannya. Sepanjang di dalam diri tidak hadir kesadaran atas itu, maka semua ajaran teks akan sia-sia. Makanya, teks menyajikan banyak metode yang bisa dijadikan sebagai pegangan agar mampu terlepas dari trsna tersebut.
Lalu, apakah mereka yang telah melaksanakan metode tersebut langsung bisa melepaskan trsna tersebut dari ikatannya di dalam tubuh? Belum tentu. Dari seribu orang yang melaksanakannya, satu saja yang lulus sudah sangat banyak. Itulah mengapa, banyak orang yang sedang berupaya untuk itu menyatakan seumur hidupnya dalam persiapan dan tidak pernah merasa dirinya telah mencapai. Hanya kita yang tidak mau belajar dan tidak mau berupayalah yang menganggap telah mencapai. Hanya dengan membaca sepenggal kitab suci, kita sudah merasa diri sebagai orang suci dan seterusnya. Dan trsna memang seperti itu tugasnya. ‘Menjadi orang suci’ pun adalah salah satu objek dari trsna itu, sehingga banyak orang yang menginginkan dan kemudian terikat di dalamnya. Orang yang benar-benar telah mampu melepaskan trsna tersebut tidak lagi mengindektifikasi diri sebagai apapun. Maksudnya, identitasnya tidak pada jenis dari kemelekatan tersebut. Dia betul-betul terbebas sepenuhnya. *
I Gede Suwantana
Komentar