MUTIARA WEDA: Mengapa Disebut Mati?
Mrto daridrah puruso mrtam rājyaraksakam, Mrtamasrotriyam srāddham mrto yajñastvadaksinah. (Sarasamucchaya, 286)
Orang miskin sama artinya dengan mati, kerajaan tanpa raja sama dengan mati, sraddha tanpa srotriya sama dengan mati, yadnya tanpa daksina sama dengan mati.
MENURUT teks, ada empat jenis kematian yang dapat disaksikan dalam aktivitas keseharian kita, yakni kemiskinan, wilayah tanpa pemimpin, upacara sraddha (persembahan kepada leluhur) tanpa ahli Weda, dan upacara yadnya tanpa daksina. Apa maksudnya ‘mati’ di sini? Dikatakan bahwa segala ciptaan pasti memiliki kegunaan. Jika kemudian sesuatu diadakan tetapi keberadaannya tidak memiliki nilai guna, maka ini disebut dengan ‘kematian’. Teks di atas menyatakan bahwa sesuatu itu ada atau diadakan, tetapi jika keberadaannya tidak memiliki nilai guna, maka itu dikatakan mati. Mungkin ini terkesan sarkas, tetapi jika dipikirkan berulang-ulang, kebenarannya tidak bisa disembunyikan.
Orang miskin dikatakan mati oleh karena dia tidak mampu berkontribusi apapun. Apa maksudnya ‘orang miskin’? Dia yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki harta, tidak memiliki pengetahuan, tidak memiliki skill, tidak memiliki tenaga, tidak memiliki energi spiritual, tidak memiliki kebaikan, dan sejenisnya. Dia ada, tetapi keberadaannya tidak berkontribusi apa-apa. Orang yang tidak memiliki apa-apa seperti itu dikatakan sebagai orang miskin, dan dia dikatakan telah mati. Bandingkan dengan pohon, keberadaannya bisa memberi oksigen, daunnya bisa dimakan oleh hewan lain dan sebagainya, sementara orang miskin seperti itu, apa yang bisa dikontribusikan? Tidak ada nilai guna apapun.
Wilayah atau kerajaan tanpa raja mengapa disebut mati? Karena orang-orang yang tinggal di sana tidak memiliki arah yang jelas, rentan terhadap gangguan, dan sangat mudah tercerai-berai. Tidak ada kenyamanan di mana tempat itu tidak memiliki pemimpin, karena tidak ada yang bisa dijadikan panutan, tidak ada yang dimintai keadilan ketika kejahatan terjadi, tidak ada yang memberikan pengayoman ketika serangan dari pihak luar terjadi. Wilayah tanpa pemimpin itu sangat rentan, tidak akan bisa maju, energinya buyar. Pembangunan tidaklah mungkin diselenggarakan jika pemimpin tidak hadir.
Sraddha tanpa srotriya sama dengan mati. Upacara sraddha adalah kegiatan berupa pemuliaan kepada leluhur. Di Bali upacara seperti ngaben tergolong sraddha. Mengapa yadnya tanpa kehadiran seorang srotriya (ahli Weda) dikatakan mati? Bukankah setiap orang boleh melakukan pemujaan kepada leluhur? Mengapa dikatakan sraddha tanpa kehadiran seorang ahli Weda dikatakan tidak memiliki nilai guna? Karena orang yang telah meninggal adalah orang yang tidak lagi mampu memperbaiki karma vasana-nya. Jika orang tersebut memiliki keterikatan yang kuat terhadap duniawi, maka dia tidak mudah untuk lepas dan mendapatkan tubuh fisik yang baru untuk lahir. Sehingga, hanya mereka yang mampu memutus tali ikatan dengan dunia itulah yang dibutuhkan, yakni dia yang dikatakan ahli Weda. Ahli Weda yang dimaksudkan tidak hanya sekadar hafal Weda, tetapi juga dia yang telah merealisasikan apa yang diajarkan Weda (brahmanistha). Kehadiran orang ini akan membantu orang yang telah meninggal memutus keterikatan dengan dunia sehingga semuanya selamat.
Demikian juga, upacara yadnya tanpa daksina dikatakan mati? Mengapa? Karena upacara yadnya tanpa daksina itu adalah utang. Saat melakukan yadnya, sang yajamana memohon orang suci untuk mengantarkan kegiatan tersebut. Orang suci ini bisa dikatakan sebagai perantara sehingga kegiatan tersebut berhasil. Tujuan dari upacara tersebut bisa berupa permohonan seperti keselamatan, kesehatan, dan yang sejenisnya. Semua permohonan itu bisa terwujud oleh karena peran dari orang suci yang mengantarkan. Jadi, daksina di sini adalah sentral agar anugerah yang terkandung dalam upacara yadnya tersebut jatuh kepada orang yang melakukan yadnya. Jika daksina tidak diberikan kepada orang suci, maka seluruh manfaat dari upacara yadnya itu ada pada sang pengantar. Inilah mengapa yadnya tanpa daksina dikatakan tidak memiliki nilai guna. Sehingga dengan demikian, menghaturkan daksina kepada sang pengantar upacara sangat penting. Seberapa besar? Tidak ada ukuran pasti mengenai besar kecilnya, tetapi yang terpenting adalah keikhlasan hati dan ketentuan logis terhadap kehidupan dari Sang Suci yang mengantarkan yadnya tersebut. Artinya, besarannya disesuaikan dengan kondisi. Jika beliau memiliki banyak harta, mungkin jumlah tidak menjadi ketentuan, tetapi jika beliau membutuhkan, besaran jumlah sangat logis dipertimbangkan. *
I Gede Suwantana
1
Komentar