PT 20 Persen Jegal Calon Pemimpin Bangsa
DPD RI Teriak Setelah Judicial Review Ditolak di MK
DPD RI menilai tidak boleh dibiarkan negara ini dikuasai oleh oligarki
JAKARTA, NusaBali
Pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 nanti memiliki persyaratan ambang batas atau Presidential Threshold (PT) sebesar 20%. Itu pun harus dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sehingga menutup jalan bagi calon perseorangan atau yang tidak memiliki partai untuk maju mencalonkan diri. Hal ini dinilai menjegal anak bangsa yang punya peluang menjadi calon pemimpin bangsa kedepan.
Salah satu pimpinan Kelompok DPD RI di MPR RI Fahira Idris menilai, PT tersebut dapat mengamputasi calon pemimpin yang berpeluang maju di Pilpres.”Kami dari DPD RI memiliki keyakinan, Indonesia punya banyak stok pemimpin berkualitas. Namun, diamputasi oleh ambang batas 20%,” ujar Fahira saat Dialog Kebangsaan bertajuk Peran DPD RI dalam Percaturan Pemimpin Bangsa di Lobby Gedung DPD RI, Jakarta, Kamis (7/7).
Menurut Fahira, masalah PT 20 persen ini menjadi persoalan besar bangsa Indonesia khususnya dalam kehidupan berdemokrasi. Sebab, salah satu tujuan demokrasi di tanah air adalah kesetaraan hak warga negara dalam berpolitik.
“Tapi dihalang-halangi oleh aturan itu (PT 20 persen). Saya melihat ada kesenjangan sangat luar biasa antara keinginan para pembuat undang-undang pemilu dengan kehendak publik luas agar ambang batas ini dihapuskan,” terang perempuan yang duduk di Komite II DPD RI ini.
Fahira menganggap, makna PT sudah disalahpahami. Lantaran penerapan PT 20% dalam pemilu dimaknai publik hanya sebagai alat untuk menentukan parpol mana saja yang boleh atau berhak mengusung capres atau cawapresnya.
Menurut anak dari mantan Menteri Tenaga Kerja di Kabinet Reformasi Pembangunan Fahmi Idris ini, situasi seperti itu sangat tidak baik untuk perjalanan bangsa ke depan. DPD RI pun berupaya memadamkan kesalahpahaman PT tersebut.
“Karena kami menangkap dengan jelas keinginan masyarakat agar pilpres 2024 diselenggarakan lebih adil, bermartabat dan berkualitas,” papar Fahira. DPD RI pun telah melakukan judicial review mengenai PT 20% yang terdapat di Pasal 222 di Undang-undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022.
Namun ditolak, karena MK menilai DPD RI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut. Putusan dibacakan Ketua MK Anwar Usman pada Kamis (7/7) pukul 11.09 WIB. Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan, hal itu adalah kemenangan sementara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini.
“Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki,” tegas LaNyalla melalui keterangan tertulisnya, Kamis (7/7).
LaNyalla menegaskan, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam.
“Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik,” tegas LaNyalla.
Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, LaNyalla mengaku heran Ketika majelis hakim MK yang menyatakan, Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi.
“Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” papar LaNyalla. *k22
Salah satu pimpinan Kelompok DPD RI di MPR RI Fahira Idris menilai, PT tersebut dapat mengamputasi calon pemimpin yang berpeluang maju di Pilpres.”Kami dari DPD RI memiliki keyakinan, Indonesia punya banyak stok pemimpin berkualitas. Namun, diamputasi oleh ambang batas 20%,” ujar Fahira saat Dialog Kebangsaan bertajuk Peran DPD RI dalam Percaturan Pemimpin Bangsa di Lobby Gedung DPD RI, Jakarta, Kamis (7/7).
Menurut Fahira, masalah PT 20 persen ini menjadi persoalan besar bangsa Indonesia khususnya dalam kehidupan berdemokrasi. Sebab, salah satu tujuan demokrasi di tanah air adalah kesetaraan hak warga negara dalam berpolitik.
“Tapi dihalang-halangi oleh aturan itu (PT 20 persen). Saya melihat ada kesenjangan sangat luar biasa antara keinginan para pembuat undang-undang pemilu dengan kehendak publik luas agar ambang batas ini dihapuskan,” terang perempuan yang duduk di Komite II DPD RI ini.
Fahira menganggap, makna PT sudah disalahpahami. Lantaran penerapan PT 20% dalam pemilu dimaknai publik hanya sebagai alat untuk menentukan parpol mana saja yang boleh atau berhak mengusung capres atau cawapresnya.
Menurut anak dari mantan Menteri Tenaga Kerja di Kabinet Reformasi Pembangunan Fahmi Idris ini, situasi seperti itu sangat tidak baik untuk perjalanan bangsa ke depan. DPD RI pun berupaya memadamkan kesalahpahaman PT tersebut.
“Karena kami menangkap dengan jelas keinginan masyarakat agar pilpres 2024 diselenggarakan lebih adil, bermartabat dan berkualitas,” papar Fahira. DPD RI pun telah melakukan judicial review mengenai PT 20% yang terdapat di Pasal 222 di Undang-undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022.
Namun ditolak, karena MK menilai DPD RI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut. Putusan dibacakan Ketua MK Anwar Usman pada Kamis (7/7) pukul 11.09 WIB. Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan, hal itu adalah kemenangan sementara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini.
“Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki,” tegas LaNyalla melalui keterangan tertulisnya, Kamis (7/7).
LaNyalla menegaskan, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam.
“Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik,” tegas LaNyalla.
Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, LaNyalla mengaku heran Ketika majelis hakim MK yang menyatakan, Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi.
“Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” papar LaNyalla. *k22
1
Komentar