Eksistensi Tradisi Bali
Kata eksistensi memiliki makna lugas keberadaan. Lengkapnya, eksistensi memi-liki empat pengertian, yaitu: (1) apa yang ada, (2) apa yang memiliki aktualitas, (3) segala sesuatu yang dialami, dan (4) pencapaian yang diinginkan. Bali sungguh sarat dengan tradisi yang idiosinkratik. Hampir setiap desa dan banjar memiliki warisan budaya yang unik.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
-------------------------------------------------
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Namun, tidak semua tradisi di Bali berakar dari filosofi Hindu. Misalnya, tradisi ngejot tidak termaktub dalam sastra agama Hindu. Rasa kebersamaan mendorong krama Bali untuk ngejot kepada tetangga atau kenalan. Apa yang dibuat dan dise-diakan diharapkan dirasakan dan dinikmati juga oleh sesama!
Ngaben, kremasi merupakan simbiosis antara agama dan budaya. Tattwa menye-butkan, ngaben adalah pitra yadnya. Fungsinya adalah pengembalian kepada 5 (li-ma) unsur utama, yaitu Panca Maha Bhuta. Namun, pelaksanaannya bervariasi dari satu status sosial, banjar atau desa lainnya. Sumber daya yang dihabiskan menjadi relatif.
Mungkin karena berangkat dari makna ngaben sebagai beya (biaya) dan ngabu (perabuan), maka melahirkan kreasi budaya yang unik. Misalnya, penggunaan ba-de metumpang, bogem, lembu, mina, kompor mayat atau krematorium yang mungkin tidak jelas sastranya, akan mendapat reaksi sosial bervariasi.
Penguburan mayat di Trunyan tergolong unik. Prosesi penguburan mayat di Tru-nyan hanya dibungkus kain kafan dan tanpa dikubur. Apabila jelas sastranya, kra-ma Hindu di Bali biasanya manut-manut saja, tidak ada konflik! Tetapi, kalau ti-dak jelas sastranya, maka rentan mendapat opini negatif.
Tradisi unik lainnya di desa ujung timur Bali adalah perang pandan atau mekare-kare. Tradisi persembahan dan penghormatan kepada leluhur disimbolkan melalui perang pandan tersebut. Sesungguhnya, perang pandan menyimbolkan perang an-tara Dewa Indra dengan Maya Denawa, kebaikan melawan kebathilan. Bila ditelusur sastranya, mungkin tidak eksplisit. Tradisi demikian masih dilestarikan sampai saat ini. Dan, ini mendatangkan manfaat yang besar bagi krama Hindu di Desa Tenganan Pagringsingan.
Tradisi lain, misalnya, omed-omedan atau med-medan. Ke permukaan, tradisi ini terkesan ciuman massal, yang tidak umum dilakukan secara publik. Prosesi omed-omedan merupakan penerusan permainan tarik-menarik antara pemuda dan pemudi di wilayah Denpasar Selatan pada masa silam. Awalnya, kegaduhan yang ditimbulkan, tetapi akhirnya keceriaan yang mengganti. Atas titah raja saat itu, prosesi omed-omedan diteruskan sampai saat ini. Tradisi ini menuai pro dan kontra. Tapi, akhirnya omed-omedan menjadi sebuah peristiwa budaya yang tetap dan diminati masyarakat.
Tradisi ritual lainnya adalah upacara melasti. Ritual melasti ini merupakan upa-cara penyucian manusia agar menjadi bersih dan suci secara sekala maupun niskala. Unsur-unsur jahat dan buruk diniatkan dibuang dan dilarung ke lautan. Makna terdalam (deep structure) adalah suatu penyician atau pembersihan. Prosesi upacara melasti dilakukan dengan sangat beragam, tergantung desa kala patra masing-masing. Tradisi pembersihan sekala dan niskala bila ditelusur, sastranya amat jelas.
Apabila tradisi yang tattwanya tertelusur dan dianalisis berdasarkan atas keberadaan, aktualitas, pengalaman, dan pencapaiannya, maka hasil kajian akan sangat bervariasi. Misalnya, ngaben yang terlalu menekankan pada kebiasaan akan memperkeruh ruang, waktu, dan patrum krama Hindu Bali. Ruang, waktu, dan patrum menjadi sangat relatif.
Apabila berkesesuaian dengan karsa, karya dan karma seorang umat, maka pelak-sanaannya akan mendatangkan kebahagian lahir bathin. Tapi, apabila tidak berke-sesuaian, maka yang lahir adalah kekeruhan. Tradisi yang bersumber pada sastra agama Hindu merupakan suatu fixed entity, wajib dilakukan dan kalau tidak dila-kukan akan ada sanksi. Tradisi yang titik berangkatnya bukan tattw, merupakan variable entity, bisa dilakukan atau kalau tidak dilakukan tak apa-apa.
Dari teknik analisis di atas menyiratkan Catur Marga, yakni empat cara mempero-leh sesuatu. Krama Hindu di Bali paling dekat dengan cara bhakti dan karma mar-ga, melakukan dengan keyakinan sederhana. Umumnya, krama Hindu Bali masih terlalu asing dengan jnana atau raja marga. Teks yang riil adalah perbuatan, bukan sastra agama. Teks adalah idealisme yang akan digapai, walau secara perlahan. Semoga. *
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Namun, tidak semua tradisi di Bali berakar dari filosofi Hindu. Misalnya, tradisi ngejot tidak termaktub dalam sastra agama Hindu. Rasa kebersamaan mendorong krama Bali untuk ngejot kepada tetangga atau kenalan. Apa yang dibuat dan dise-diakan diharapkan dirasakan dan dinikmati juga oleh sesama!
Ngaben, kremasi merupakan simbiosis antara agama dan budaya. Tattwa menye-butkan, ngaben adalah pitra yadnya. Fungsinya adalah pengembalian kepada 5 (li-ma) unsur utama, yaitu Panca Maha Bhuta. Namun, pelaksanaannya bervariasi dari satu status sosial, banjar atau desa lainnya. Sumber daya yang dihabiskan menjadi relatif.
Mungkin karena berangkat dari makna ngaben sebagai beya (biaya) dan ngabu (perabuan), maka melahirkan kreasi budaya yang unik. Misalnya, penggunaan ba-de metumpang, bogem, lembu, mina, kompor mayat atau krematorium yang mungkin tidak jelas sastranya, akan mendapat reaksi sosial bervariasi.
Penguburan mayat di Trunyan tergolong unik. Prosesi penguburan mayat di Tru-nyan hanya dibungkus kain kafan dan tanpa dikubur. Apabila jelas sastranya, kra-ma Hindu di Bali biasanya manut-manut saja, tidak ada konflik! Tetapi, kalau ti-dak jelas sastranya, maka rentan mendapat opini negatif.
Tradisi unik lainnya di desa ujung timur Bali adalah perang pandan atau mekare-kare. Tradisi persembahan dan penghormatan kepada leluhur disimbolkan melalui perang pandan tersebut. Sesungguhnya, perang pandan menyimbolkan perang an-tara Dewa Indra dengan Maya Denawa, kebaikan melawan kebathilan. Bila ditelusur sastranya, mungkin tidak eksplisit. Tradisi demikian masih dilestarikan sampai saat ini. Dan, ini mendatangkan manfaat yang besar bagi krama Hindu di Desa Tenganan Pagringsingan.
Tradisi lain, misalnya, omed-omedan atau med-medan. Ke permukaan, tradisi ini terkesan ciuman massal, yang tidak umum dilakukan secara publik. Prosesi omed-omedan merupakan penerusan permainan tarik-menarik antara pemuda dan pemudi di wilayah Denpasar Selatan pada masa silam. Awalnya, kegaduhan yang ditimbulkan, tetapi akhirnya keceriaan yang mengganti. Atas titah raja saat itu, prosesi omed-omedan diteruskan sampai saat ini. Tradisi ini menuai pro dan kontra. Tapi, akhirnya omed-omedan menjadi sebuah peristiwa budaya yang tetap dan diminati masyarakat.
Tradisi ritual lainnya adalah upacara melasti. Ritual melasti ini merupakan upa-cara penyucian manusia agar menjadi bersih dan suci secara sekala maupun niskala. Unsur-unsur jahat dan buruk diniatkan dibuang dan dilarung ke lautan. Makna terdalam (deep structure) adalah suatu penyician atau pembersihan. Prosesi upacara melasti dilakukan dengan sangat beragam, tergantung desa kala patra masing-masing. Tradisi pembersihan sekala dan niskala bila ditelusur, sastranya amat jelas.
Apabila tradisi yang tattwanya tertelusur dan dianalisis berdasarkan atas keberadaan, aktualitas, pengalaman, dan pencapaiannya, maka hasil kajian akan sangat bervariasi. Misalnya, ngaben yang terlalu menekankan pada kebiasaan akan memperkeruh ruang, waktu, dan patrum krama Hindu Bali. Ruang, waktu, dan patrum menjadi sangat relatif.
Apabila berkesesuaian dengan karsa, karya dan karma seorang umat, maka pelak-sanaannya akan mendatangkan kebahagian lahir bathin. Tapi, apabila tidak berke-sesuaian, maka yang lahir adalah kekeruhan. Tradisi yang bersumber pada sastra agama Hindu merupakan suatu fixed entity, wajib dilakukan dan kalau tidak dila-kukan akan ada sanksi. Tradisi yang titik berangkatnya bukan tattw, merupakan variable entity, bisa dilakukan atau kalau tidak dilakukan tak apa-apa.
Dari teknik analisis di atas menyiratkan Catur Marga, yakni empat cara mempero-leh sesuatu. Krama Hindu di Bali paling dekat dengan cara bhakti dan karma mar-ga, melakukan dengan keyakinan sederhana. Umumnya, krama Hindu Bali masih terlalu asing dengan jnana atau raja marga. Teks yang riil adalah perbuatan, bukan sastra agama. Teks adalah idealisme yang akan digapai, walau secara perlahan. Semoga. *
1
Komentar