Sanggar Seni Kokar Bali dan SMKN 3 Sukawati Pungkasi PKB XLIV
DENPASAR, NusaBali
Sanggar Seni Kokar Bali berkolaborasi dengan SMKN 3 Sukawati, Gianyar memungkasi ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022 dengan menampilkan Sendratari 'Tirtha Peleburan Mahottama' saat penutupan di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya (Art Centre), Denpasar, Minggu (10/7) malam.
Dikemas apik, sajian mereka pun tampil sempurna dan mendapat apresiasi dari belasan ribu penonton. Koordinator pementasan sekaligus Ketua Sanggar Seni Kokar Bali, Ketut Darya, mengungkapkan, Sendratari 'Tirtha Paleburan Mahottama' menceritakan masyarakat Batur yang merasa gembira karena memiliki danau yang sangat luas. Pengurus adat yaitu Jero Bendesa menyarankan kepada masyarakat selalu memelihara danau dengan baik, karena sumber air yang bernama danau adalah sumber kehidupan yang paling utama.
Sendratari kolosal ini mencakup empat babak. Pada babak pertama, menuturkan flash back Gunung Batur meletus yang menyebabkan Bumi Bali kekeringan, masyarakat susah mendapatkan air. Jero Bendesa kemudian menceritakan tentang meletusnya Gunung Batur yang menyebabkan masyarakat kekeringan, sumber-sumber air tidak ada, dan masyarakat mengungsi ke pinggir laut untuk mendapatkan air. Di situ, Sanghyang Tampurhyang bersemedi memuja Dewa, yang kemudian turun Dewa Wisnu dan Indra. “Dewa Indra memanah batu pegunungan yang ada di sana. Batu tersebut belah lalu memuntahkan air yang bernama Tirtha Manik Muncar,” jelas Darya.
Pengikut Sanghyang Tampurhyang sangat senang dan mereka kegirangan. Setelah minum air itu mereka menjadi sakti dan kuat, sehingga mereka disebut 'Bala Tandingan'. Air kemudian ditaruh pada dua kendi labu. Sanghyang Tampurhyang memanggil istri Ida I Ratu Ayu Mas dan putranya Ratu Gede yang diikuti oleh beberapa abdinya. “Mereka disuruh membawa air keliling Bali dengan berwujud wanita tua renta agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” sebut Darya.
Selanjutnya pada babak kedua, diceritakan Dewi Sri dikejar oleh dua orang Denawa dan Dewi Sri menghilang seketika. Denawa Gudug Basur dan Bawi Srenggi bersepakat untuk berpencar mencari Dewi Sri. Gudug Basur dapat menemui Dewi Sri dan langsung menyergap untuk diboyong dijadikan istri. Tepat pada waktu itu Dewa Rambut Sedana datang menolongnya. Gudug Basur mati diseret di buang ke laut. Gudug Basur akan menjelma menjadi Garam atau 'Be Uyah' agar selalu bisa bertemu dengan Dewi Sri dalam sebuah hidangan makanan.
Sedangkan pada babak ketiga, diceritakan Bawi Srenggi marah-marah di hutan karena perjalanannya dihalangi oleh tumbuhan Bambu Kuning, sehingga bambu tersebut dirabas. Tiba-tiba muncul suara dari tengah tengah rimbunan bambu, yang mengutuk Bawi Srenggi agar di kemudian hari terbunuh oleh Bambu Kuning, dan roh tersebut menyuruh mencari Dewi Sri ke arah timur laut. Bawi Srenggi kemudian berangkat menuju Medang Kemulan.
Pada babak akhir, diceritakan di Medang Kemulan, Raja atas persetujuan para Mentri dan pendeta kerajaan memerintahkan masyarakatnya agar membersihkan serta membenahi sumber-sumber mata air yang ada seperti sungai, danau dll. Kemudian Sang Raja juga menyuruh masyarakat bercocok tanam terutama menanam padi. Masyarakat sangat giat bekerja yang dipimpin oleh tetua masyarakat. Dari kejauhan terlihat pasukan Bawi Srenggi mengobrak-abrik kebun dan sawah ladang. Raja memerintahkan untuk menghadapi Bawi Srenggi, sehingga perang pun terjadi amat dahsyat.
Dewa Rambut Sedana datang menyuruh rakyat agar menggunakan senjata bambu runcing dari bambu kuning atau Bambu Runcing Pring Gading. Tak lama kemudian Bawi Srenggi terbunuh deng tragis. Tetapi bangkainya, dari darahnya, kulitnya, hidung, kakinya ekornya menjadi hama penyakit, perusak tanaman padi, seperti wereng, walang sangit, tikus, ulat, dan lain-lain. Setelah terbunuhnya Bawi Srenggi, Dewa Rambut Sedana pun menyarankan agar masyarakat selalu menjunjung tinggi kebesaran dan kesucian Dewi Sri dan Dewa Wisnu, karena Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran akan selalu tidak terpisahkan dengan Dewa Wisnu sebagai Dewa Air yang merupakan sumber kehidupan.
Air merupakan jembatan kehidupan amertha, harus terus dijaga kelestariannya melalui sumber-sumber mata air yang ada. Dengan kekuatan yadnya yang disebut 'Danu Kerthih' maka air akan dapat menjadi 'Tirtha Paleburan Mahottama'. Dewa Rambut Sedana pulang ke Gedong Artha, Dewi Sri berupa Pado disucikan di Krumpu/Jineng atau Glebeg.
Darya mengungkapkan, penggarapan dikerjakan selama dua bulan. Namun itu pun terbentur waktu persiapan pawai. Sebab mereka juga ikut berpartisipasi di pawai pembukaan PKB XLIV bulan lalu. “Nuasen untuk memulai buat garapannya bersamaan. Kita garap gending sendratarinya dulu. Kemudian kita pending dulu, karena fokus ke persiapan pawai. Setelah pawai dan pembukaan PKB, baru kita kebut sebulan untuk persiapan sendratari ini. Kurang lebih sebulan persiapan,” jelasnya.
Diakui, dalam persiapannya terdapat kendala terutama saat gladi. Pada saat bagian pementasan yang melibatkan permainan bambu runcing, ada anak yang terkena bagian kakinya. “Sudah bisa diatasi, tapi anak yang kena bambu ini tidak ikut menari. Bahkan mendadak kami latihan sampai pagi, menggantikan peran itu,” pungkasnya. *cr78
1
Komentar