Warisi Beras Catur, Areal Sawah Dilarang Dibangun Tempat Komersial
Kearifan Lokal di Desa Bukian, Kecamatan Payangan, Gianyar dalam Mempertahankan Lahan Pertanian
Meski melestarikan pertanian, Desa Bukian mengambil celah memasukkan pariwisata melalui pembangunan jogging track atau jalan setapak di sepanjang sawah.
GIANYAR, NusaBali
Desa Bukian di Kecamatan Payangan, Gianyar merupakan sebuah desa dengan bentangan sawah yang luas. Desa Bukian juga memiliki warisan Beras Catur. Guna mempertahankan pertanian, Desa Bukian mempunyai aturan yang tergolong ketat.
Perbekel Bukian, I Made Junarta mengatakan Desa Bukian memiliki potensi desa berupa pertanian. Petani juga diminta mempertahankan pertanian dengan komoditas unggulan berupa padi beras catur yang biasa digunakan sarana upacara. Luas pertanian di Desa Bukian 339 hektare, 251 hektare di antaranya merupakan sawah produktif. “Kami selalu surplus beras,” ujar Junarta, Selasa (12/7).
Pihak desa tidak membangun di lahan sawah untuk komersial. “Dalam bentuk hotel, restoran, vila tidak boleh. Biar pun penduduk lokal, kalau dikomersilkan tidak boleh,” tegasnya. Namun, apabila ada warga yang mendirikan bangunan untuk tempat tinggal boleh. “Misalnya di rumahnya penuh, lalu ada warisan keluarga, dia bangun rumah ditinggali boleh, kami tidak bisa larang,” jelasnya.
Perbekel Bukian, I Made Junarta mengatakan Desa Bukian memiliki potensi desa berupa pertanian. Petani juga diminta mempertahankan pertanian dengan komoditas unggulan berupa padi beras catur yang biasa digunakan sarana upacara. Luas pertanian di Desa Bukian 339 hektare, 251 hektare di antaranya merupakan sawah produktif. “Kami selalu surplus beras,” ujar Junarta, Selasa (12/7).
Pihak desa tidak membangun di lahan sawah untuk komersial. “Dalam bentuk hotel, restoran, vila tidak boleh. Biar pun penduduk lokal, kalau dikomersilkan tidak boleh,” tegasnya. Namun, apabila ada warga yang mendirikan bangunan untuk tempat tinggal boleh. “Misalnya di rumahnya penuh, lalu ada warisan keluarga, dia bangun rumah ditinggali boleh, kami tidak bisa larang,” jelasnya.
Dikatakan, ketentuan itu hasil sinergi seluruh subak di Bukian terdiri dari 8 subak. “Desa kami mempunyai sejarah tua mengenai pertanian yang diakui,” ujarnya. Dalam sejarahnya, di Desa Bukian terdapat komoditas unggulan berupa beras catur. “Beras itu semacam jatu Yadnya. Kalau ada membuat upacara besar di seluruh Bali. Sekarang keberadaan tempat beras itu di Puri Payangan. Namun lahan semuanya ada di Bukian,” ujarnya. Beras Catur, terdiri dari empat beras. Pertama, beras Telaga Waja, kedua beras Jaring Sutra, ketiga beras Kasur Sari dan beras Bianglala. “Itu kekuatan pertanian di Bukian. Kami lestarikan, kami berdosa jika lahan dialihfungsikan,” ujar Junarta.
Dengan pelestarian itu, Bukian menjadi desa miskin dalam hal pendapatan dari investor. Namun dari Pendapatan Asli Desa (PADes) cukup lumayan. “PADes itu dari pengelolaan air, sampah kami ada TPS3R,” ujarnya. Sementara itu, sejarah lebih jauh menyatakan jika cikal bakal Payangan ada di Bukian. Karena dikenal dengan hulu sebelum ada kerajaan Payangan ada Padukuhan.
Sejak dulu, lahan dan jenis beras catur sudah dibuat. “Menurut penelitian arkeolog, tulisan di batu, zaman penataan air sudah ada. Penataan subak sudah dibahas sejak lama,” ujarnya. Lebih lanjut dikatakan, beras catur maksudnya adalah posisi beras ditanam sesuai kelompok. “Berasnya sama saja. Tapi tempatnya disakralkan. Ada petak Telaga Waja, ada puranya. Dalam upacara, beras ini jadi komando. Kalau kena hama mohon di sana, nunas ica. Dalam penelitian arkeolog memang dianggap lengkap. Ada peninggalan arca,” ujarnya.
Tantangan kepala desa adalah mengedukasi masyarakat untuk menyadari pelestarian itu. “Kalau dijual, bagaimana kehidupan ke depan. Selama ini kami bertumpu pada pertanian,” ujarnya. Meski melestarikan alam pertanian, pihaknya mengambil celah memasukkan pariwisata melalui pembangunan jogging track atau jalan setapak sepanjang sawah. “Jalan itu lewat pertanian. Kami pernah buat jogging berkuda, tapi terbentur pandemi Covid-19. Lalu menata Taman Megenda. Konsepnya adalah alam,” jelasnya.
Mengenai peran desa adat sangat mendukung untuk pelestarian. “Hampir semua adat punya benda bersejarah. Misalnya pura. Dan sejarah tiap Banjar nyambung sejarahnya. Ada batu per wilayah,” ungkapnya.
Saat ini juga sudah ada aturan terbaru terkait pelestarian pertanian. “Mudah-mudahan perbekel berikutnya, generasi berikutnya untuk melihat struktur sejarah Bukian, kekuatan ada di sana, beliau menuntun. Mohon restu dari beliau. Makanya mari melestarikan,” ungkapnya.
Harapan kepada masyarakat, dengan posisi alam seperti itu, agar bisa mengembangkan potensi alam. “Kami ada Taman Megenda malah dikunjungi masyarakat luar dari Denpasar. Kami akan tata itu. Dengan kekuatan alam, akan memberikan vibrasi,” ujarnya. Bahkan di Bukian ada air panas alam. Namun akses dan fasilitas masih perlu ditata. *nvi
1
Komentar