Pertahankan Disertasi tentang Disharmoni Sinergitas Pengelolaan DTW Pura Tirta Empul Tampaksiring, I Ketut Jaman Raih Gelar Doktor
DENPASAR, NusaBali
I Ketut Jaman, anggota Kelompok Ahli (Pokli) Pembangunan Bidang Pariwisata Provinsi Bali, kini menambah gelar akademisnya.
Hal tersebut setelah pria kelahiran 7 Juni 1964 di Banjar Pisangkaja, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar lulus dalam ujian terbuka promosi doktor yang berlangsung di Aula III Rektorat Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Jalan Sanggalangit, Tembau, Penatih, Denpasar, Kamis (14/7).
Suami dari Ni Luh Made Suardani SS, dan ayah dari Putu Agus Hendy Putra Jaman dan Kadek Devin Ardhana Jaman lulus dengan predikat Cumlaude. Kini gelar lengkap akademisnya Dr I Ketut Jaman SS Msi.
Ketut Jaman sendiri mengangkat problem mengenai disharmoni sinergitas pengelolaan Daya Tarik Wisata Tirta Empul yang berlokasi di Desa Adat Manukkaya Let, Desa/Kecamatan Tampaksiring. Persisnya disertasinya berjudul; Disharmoni Sinergitas Desa Adat, Pemerintah Daerah dan Usaha Jasa Perjalanan Wisata Dalam Pengelolaan Daya Tarik Wisata Tirta Empul di Desa Adat Manukkaya Let, Kecamatan Tampaksiring.
Disampaikan Ketut Jaman, dia mengambil DTW Tirta Empul sebagai bahan studi, karena melihat DTW tersebut merupakan asset yang nilainya luar biasa. “Sebagai tempat peribadatan umat Hindu, harus dijaga kelestariannya. Kalau bisa diperbaiki secara terus menerus,” ujar dia usai pelaksanaan sidang terbuka.
Namun kalau ingin melestarikan suatu aset, kata Jaman, membutuhkan modal ekonomi yang besar. Dalam konteks ini, menurut Jaman, pariwisata merupakan salah satu sumber ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan di wilayah Desa Adat Manukkaya Let dan sekaligus mendapatkan sumber-sumber ekonomi untuk perbaikan pura ke depan.
Selain itu, di Pura Tirta Empul ada benda cagar budaya yang perlu dilestarikan. Karena itu lanjut Jaman, membutuhkan suatu manajemen yang kuat. Namanya manajemen cagar budaya. Di satu sisi agar cagar budaya dan tempat suci bisa dilestarikan, di sisi lain harus dapat dikunjungi wisatawan. “Ini dua aspek yang perlu disambungkan,” ucap CEO PT Melali Bali MICE dan Melali Bali DMC.
Dalam pemaparannya, Jaman menyampaikan sejumlah faktor yang menjadi penyebab disharmonis sinergitas antara desa adat, pemerintah dan usaha jasa perjalanan wisata terkait DTW Tirta Empul. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor Filosofis dan Idealogis, Sosilogis dan Kultural, Ekonomi. Kemudian faktor yuridis dan politis. Faktor hospitalitas dan publisistas. Serta faktor teknologis dan ekologis.
Dia kemudian memaparkan satu per satu faktor- faktor penyebab disharmorni sinergitas tersebut. Diantaranya, faktor filosofis, menurut Jaman, terdapat kerangka berpikir yang berbeda- beda dari ketiga stakeholder, yakni Desa Adat Manukkaya Let, Pemda Gianyar dan Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Sedang dari sisi faktor idealogis, adanya ketidaksejalanan antara satu stakeholder dengan stakeholder dalam memaknai Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata.
Disharmoni sinergitas ini akhirnya membawa sejumlah implikasi. Diantaranya implikasi ekonomi, yakni ketimpangan pendapatan. “Terdapat kesan adanya perolehan pendapatan yang kurang adil antar pihak yang terlibat pengelolaan DTW Tirta Empul,” ucap pria yang dosen di Politeknik Pariwisata (STP) Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung.
Implikasi lain bidang sosial, yakni konflik sosial, komodifikasi budaya yang merupakan implikasi bidang budaya. Implikasi teologis di tengah globalisasi dan implikasi ekologis, penurunan kualitas lingkungan alam.
Disharmoni sinergitas dalam pengelolaan DTW Tirta Empul yang disampaikan pihaknya, kata Jaman, bukan untuk mencari kejelekan dan kelemahan. Namun bertujuan agar dapat menyampaikan usulan-usulan atau rekomendasi perbaikan tata kelola DTW Tirta Empul ke depan. “Pihak – pihak yang merasa belum mendapatkan porsinya dengan baik, agar di masa depan mendapatkan porsi-porsi yang lebih adil,” ucap Jaman.
Dalam hal ini ada tiga pihak yang berperan serta. Pertama, Desa Adat Manukkaya Let, selaku pangempon DTW Pura Tirta Empul. Kedua, Pemda Gianyar dan ketiga UPJW. Menurut Jaman, desa adat membutuhkan suatu edukasi, tuntunan dari Pemerintah. “Karena itu kita berharap Pemda Gianyar dapat memberikan pelatihan-pelatihan bagaimana cara mengelola asset yang dimiliki agar menjadi DTW yang baik,” ujarnya. Dalam hubungan itu harus diketahui juga apa yang menjadi keinginan dari Usaha Jasa Perjalanan Wisata (UJPW) selaku pemasok wisatawan. Kata dia, UJPW selalu menginginkan DTW yang menarik, yang alami baik tempat suci maupun aktivitas budaya. Dalam hal ini Tirta Empul sebagai salah satu tempat pengelukatan yang terkenal. Bahkan banyak orang asing yang ikut melukat.”Ini merupakan sesuatu yang membanggakan,” ujarnya. Yang kedua, masalah hospitality. UJPW kemanapun mengajak wisatawan pergi , menginginkan agar masyarakat lokal memberi sambutan yang hangat dan ramah. Ini perlu dibantu Pemkab Gianyar agar masyarakat lebih teredukasi. Jika sudah lebih teredukasi, harapannya masyarakat dapat mengambil bagian yang lebih besar dalam pengembangan dan pemajuan DTW Tirta Empul.
Kalau DTW Tirta Empul bisa dikelola dengan baik, otomatis akan bisa menjadi percontohan untuk pengelolaan DTW yang lain. Sehingga ke depan tidak terjadi lagi ketidaksinkronan antara Desa Adat dengan Pemerintah Daerah. Tentu peran dari biro perjalanan wisata (UPJW) sangat diharapkan. “Karena mereka yang mengetahui persis apa yang dibutuhkan wisatawan,” ujarnya. Untuk itu, UPJW perlu dirangkul. “Saya anjurkan selalu terjadi sinergi yang baik, antara desa adat, Pemerintah Daerah (Pemkab) dan UPJW yang dalam hal ini tergabung dalam wadah asosiasi Asita,”terangnya.
Pimpinan Sidang yang juga Sekretaris Ujian Terbuka Promosi Doktor Prof Dr I Putu Gelgel SH MHum mengapreasi Jaman yang mampu mempertahankan desetasinya. “Kemampuan promovendus dalam menarik kesimpulan sangat bermakna. Selanjutnya mampu mempertahankan disertasi dengan integritas ilmiah dan kegunaan serta sumbangan yang berharga untuk ilmu pengetahuan,” ujar Prof Putu Gelgel yang juga promotor dan Kaprodi Fakultas Agama Seni dan Budaya. Dekan Fakultas Ilmu Agama, Seni dan Budaya Universitas Hindu Denpasar (UNHI) Prof Dr I Ketut Suda Msi, juga mengapreasi Jaman.
“Apalagi itu tanpa teks. Bukan membaca, bukan menghapal. Jadi apa yang disampaikan spontan. Maka ketika seorang akademisi mampu bercerita seperti itu, maka kita yakini atas dasar pemahaman. Bukan hapalan, bukan cara berpikir tekstual,” kata Prof Ketut Suda. Dia menyatakan tawaran- tawaran solusi yang ditawarkan dari Ketut Jaman melalui disertasinya dibaca para decision maker. “Peneliti hanya punya kewenangan mem-product ilmu pengetahuan. Sedangkan eksekusinya ada decision maker. Apakah Pak Gubernur, Bupati, Kepala Dinas, Camat ..,” ujar Prof Suda. Dikatakan, Ketut Jaman merupakan doktor yang ke-111 UNHI dari Fakultas Ilmu Agama Seni dan Budaya. Lulus program doktoral, Jaman kini menambah gelar akademis di depan namanya menjadi Dr I Ketut Jaman SS Msi. *k17
Komentar