MUTIARA WEDA: Tradisi Hidup Suci
Na prahrsyati sammāne nindito nānupyate, Na kruddhah parusānyāha tamāhuh sādhulaksanam. (Sarasamucchaya, 312)
Orang suci tidak gembira dengan sanjungan, tidak terikat oleh kesalahan dan pelecehan, tidak marah dan tidak mengucapkan kata-kata kasar.
MEMELIHARA dan mempertahankan tradisi adalah sesuatu yang luhur sebab keberadaan kita berakar dari sana. Tradisi ini bisa dijadikan sebagai cermin, guideline, dan bahkan sebagai penghubung pola laku zaman kuno dengan kita. Para tetua meneruskan garis kebijaksanaan ini buat kita agar mudah meniti kehidupan di masa depan. Dalam konteks keyakinan, orang menyatakan bahwa kebahagiaan hidup saat ini sangat ditentukan oleh anugerah para pendahulu. Sehingga, dengan tetap berada dalam tradisi, mereka tetap berada dalam perlindungan. Sebaliknya, dia yang menjauh dari tradisi dikatakan merusak dirinya sendiri.
Seperti apa tradisi yang diwariskan oleh tetua kita? Jika mengacu pada teks di atas, intinya adalah kehidupan yang suci. Leluhur mewariskan kebiasaan agar setiap orang menjaga kesucian hidupnya. Kebiasaan hidup suci ini akan melahirkan peradaban yang benar-benar mendukung kehidupan yang adil makmur, sejahtera, dan berbudaya. Bisa dikatakan bahwa ekspresi, adaptasi, dan kreasi para leluhur yang kaya itu muncul dan berpusat dari kesucian hidup. Sehingga, saat kita mengaku sebagai pewaris dan pelestari tradisi, kehidupan yang suci tentu telah menjadi keseharian. Jika belum menapaki kehidupan suci, kemudian kita merasa telah mewarisi dan menjaga tradisi, lalu bentuk tradisi apa yang telah kita warisi dan jaga?
Seperti apa ciri-ciri orang yang telah mewarisi tradisi kehidupan suci? Teks di atas menyebutkan paling tidak empat ciri, yakni tidak gila sanjungan, tidak menderita karena celaan, tidak marah, dan tidak mengucapkan kata-kata kasar. Ekspresi orang yang menjalani kehidupan suci, sebagaimana leluhur peragakan di masa lalu adalah selalu stabil, tidak pemarah, dan tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar. Seperti apa orang menjalani kehidupan suci mungkin sulit ditebak, sebab penampilan kadang-kadang tidak menunjukkan realitas. Tetapi, hal mudah yang menandai orang seperti itu adalah keempat ciri-ciri di atas.
Pertama, dia bekerja maksimal untuk kebermanfaatan dan kesejahteraan masyarakat, tapi tidak merasa bahwa semua itu bukan karena dirinya. Dia merasa dirinya sebagai alat Widhi dan tidak pernah menggembar-gemborkannya. Dia tidak gila sanjungan. Menjadi terkenal tidak menjadi orientasinya meskipun pada akhirnya dia dikenal. Orang yang menjalani kehidupan suci adalah dia yang selalu humble, tidak ‘nyapa kadi aku’, tidak menyebut dirinya ini dan itu (asmita tidak lagi menyelimutinya), dan tetap fokus pada kegiatan pelayanan. Kedua, tidak terguncang oleh celaan. Sebaik apapun kita, pasti ada saja yang tidak suka. Oleh karena itu, orang suci tidak terlalu menghiraukan celaan. Dia tetap tenang dan menyadari bahwa kehidupan memang seperti itu. Ini memang sulit, sebab pikiran kita biasanya suka terhadap hal yang baik-baik saja dan berupaya menolak hal yang tidak menyenangkan.
Ketiga, tidak marah. Sifat marah adalah hal umum yang dialami orang. Namun, dia yang menjalani kehidupan suci mampu menguasainya. Mengapa mampu? Karena dia memiliki persepsi yang positif terhadap apa dan siapapun. Orang suci mampu menjaga persepsinya dengan baik sehingga emosinya juga stabil. Ketika peristiwa yang tidak menyenangkan terjadi, persepsi dirinya terhadap kejadian tersebut tidak menjadi buruk. Terakhir, orang yang memelihara tradisi kesucian dengan baik akan berperilaku santun, tidak suka mengucapkan kata-kata yang kasar, suka menyalahkan orang dan bahkan memaki-maki orang seolah-olah hanya diri sendiri yang benar. Ketika menghadapi masalah dan kemudian tidak mampu mengontrol kata-kata yang keluar, itu menandakan diri kita belum dewasa. Kata-kata yang terlontar keluar mencerminkan kedewasaan dan wawasan diri.
Demikianlah keempat ciri-ciri ini dapat diamati oleh mereka yang menjalani kehidupan suci. Bagaimana jika ada orang yang mengaku menjalankan kehidupan suci dengan menggunakan atribut selayaknya orang suci? Mudah saja mengenali mereka. Jika keempat ciri di atas belum menjadi bagian hidupnya, dipastikan orang tersebut belum terhubung dengan pola laku leluhur dan kehidupannya hanya sekadar sensasi, belum menjadi ekspresi apalagi kreasi. *
I Gede Suwantana
Komentar