Eksis Sejak Abad 19, Dulu Janger Menyali Bisa Obati Orang Sakit
Para Jipak (penari pria) Janger Menyali kenakan pakaian ala tentara, lengkap dengan baret, kemeja lengan pendek berisi tanda pangkat layaknya pasukan perang, celana pendek, kaca mata hitam, jam tangan, kaos kaki panjang, sepatu
Rekontruksi Janger Menyali Diuji Pentaskan Saat Hari Raya Galungan di Alun-alun Desa Menyali
SINGARAJA, NusaBali
Setelah menjalani latihan secara marathon selama 2 bulan sejak Februari 2017 lalu, rekonstruksi Janger Menyali akhirnya dipentaskan perdana di Alun-alun Desa Menyali, Kecamatan Sawan, Buleleng pas Hari Raya Galungan pada Buda Kliwon Sinta, Rabu (5/4) malam. Janger Menyali yang direkonstruksi ini sebetulnya sudah ada sejak abad ke-19, dulunya dipentaskan sebagai sarana untuk mengobati orang sakit.
Para penari rekonstruksi Janger Menyali yang pentas perdana malam itu terdiri dari 24 orang atau 12 pasangan, masing-masing 12 lelaki dan 12 perempuan. Janger Menyali ini merupakan kesenian rekontruksi, yang disiapkan Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng untuk tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIX, Juni-Juli 2017 mendatang. Penarinya semua dari Desa Menyali. Sebagian dari mereka merupakan penari Ja-nger Menyali generasi III dan IV, yang sempat jaya sekitar era 1970-an.
Penampilan perdana---lebih pas disebut ujicoba pentas---rekonstruksi Janger Menyali, Rabu malam, mendapat aplaus hangat dari krama setempat. Selain karena pemainnya yang rata-rata sudah berumur dengan usia kisaran 40-70 tahun, busana yang mereka kenakan juga cukup unik, bahkan cenderuing nyentrik.
Penampilan nyentrik terlihat pada 12 Jipak (penari janger laki-laki) maupun Parik (penari perempuan). Para Jipak mengenakan pakaian ala tentara, lengkap dengan asesoris termasuk baret merah di kepala, sementara pakaian bawahan mereka berupa celana pendek dan kenakan sepatu. Inilah penampilan perdana rekonetruksi Janger Menyali, sejak mulai latihan intensif , Februari 2017 lalu. Selama ini, mereka latihan intensif 3 kali seminggu. Target pentas sesungguhnya adalah mewakili Buleleng di ajang PKB XXXIX 2017 nanti.
Rekontruksi Janger Menyali ini dilakukan pihak Dinas Kebudayaan Buleleng, bukan semata untuk ditamp;ilkan di PKB 2017. Lebih dari itu, rekonstruksi dilakukan menyusul ancaman kepunahan dan terkikisnya Janger Menyali oleh gaya janger modern yang berkembang di Bali belakangan.
Kepala Desa (Perbekel) Menyali, Made Jaya Harta, mengatakan Janger Menyali memiliki kekhasan tersendiri. Janger Menyali diyakini sudah ada sejak abad ke-19. Bahkan, dokumentasi berupa foto Janger Menyali ditemukan oleh Arsip Bali 1928, yang diperkirakan diambil fotografer Colin Mcphee dalam kurun 1931-1938.
“Dari cerita kakek kami, Janger Menyali memang sangat ngetop saat itu. Penari janger yang ada sekarang sebagian merupakan penari angkatan III dan IV, yang terakhir menarikannya sekitar tahun 1970-an,” ungkap Perbekel Jaya Harta kepada NusaBali, Rabu malam. Pasca 1970-an, kata dia, Janger Menyali malah menghilang dari arena pentas.
Menurut Jaya Harta, gaya tarian (gerak tubuh), lagu, dan busana yang dipakai Janger Menyali memiliki perbedaan mencolok dengan janger modern yang berkembang saat ini. Dari kostumnya, para Jipak dalam Janger Menyali mengenakan pakaian ala tentara, lengkap dengan baret, kemeja lengan pendek yang di kedua bahunya berisi tanda pangkat layaknya pasukan perang, celana pendek, kaca mata hitam, jam tangan, cincin mata satu, serta kaos kaki panjang lengkap dengan sepatunya. Jipak Janger Menyali juga menggunakan selempang dan dasi di dada.
Dengan ciri-ciri pakaian yang digunakan Janger Menyali, kata Jaya Harta, boleh dikata mengadopsi kultur penjajah Indonesia zaman itu. Sedangkan para Parik (penari perempuan) Janger Menyali memakai pakaian tidak jauh berbeda dengan pakaian janger modern. Hanya saja, dulunya pakaian para Parik Janger Menyali cuma menggunakan kain sederhana tanpa prada, dengan onggar yang terbuat dari bambu sebagai hiasan kepala.
Keunikan lainnya Janger Menyali tersirat dari lagu-lagu yang dibawakannya. Beberapa lagunya menggunakan bahasa Indonesia, hanya saja kata-kata yang dipakai tidak baku. Ada juga satu lagu Janger Menyali yang dinyanyikan seperti lagu Angin Mamiri.
Bukan hanya itu, Janger Menyali juga dipercaya memiliki nilai sakral. Dulu sekitar tahun 1938, Janger Menyali dianggap sangat sakral karena bisa menyembuhkan orang yang sedang sakit. Ketika itu, ksenian Janger Menyali hanya diundang dan ditampilkan ketika ada warga memiliki hajatan ataupun sedang sakit.
Menurut Jaya Harta, penamilan Janger Menyali saat itu bisa menyembuhkan, karena mampu memberikan sugesti kepada keluarga yang mengundang mereka tampil. Sebagai janger sakral, perekrutan penari saat itu pun tidak main-main. “Meski semua krama Desa Menyali dibolehkan ikut jadi sekaa Janger Menyali, namun yang benar-benar bertahan hanya mereka yang dinilai memiliki niatan tulus,” jelas Jaya Harta.
Di masa silam, sekaa Janger Menyali harus menjalani sebuah ritual khusus sebelum disahkan keberadaannya. Ritual khusus itu, antara lain, pangelukatan di Pura Beji Desa Pakraman Menyali, tangkil ke beberapa pura yang disempon krama desa seperti Pura Munduk dan Pura Paninjoan. Tujuannya, untuk mohon restu secara niskala.
Bahkan, setelah resmi secara niskala sebagai Sekaa Janger Menyali, mereka lebih dulu juga harus melakukan ritual pangebaktian dalam setiap menjalani latihan. Pangebaktian dilakukan di Palinggih Sang Hyang Janger, yang dilinggihkan di tempat latihan. Bahkan, satu lagu pembuka Janger Menyali juga disebut sebagai tembang pamendak (penjemput) Sang Hyang Janger.
“Menurut cerita tetua kami kami, Janger Menyali memang memiliki fungsi untuk menyembuhkan orang sakit,” papar Jaya Harta. Sebelum pentas, sekaa Janger Menyali juga diwajibkan matur piuning di Pura Munduk, Desa Pakraman Menyali. Pura Munduk ini konon didirikan sebagai tempat untuk memperoleh taksu bagi krama Menyali yang menggeluti kesenian.
Namun, seiring perkembangan zaman, pementasan Janger Menyali tidak hanya dilakukan saat mengobati orang sakit, tapi juga sempat diundang tampil ke luar desa. Hal ini diakukan Dadong (Nenek) Nengah Rani, 70, penati Janger Menyali generasi IV yang kini ikut main dalam rekonstruksi Janger Menyali.
Dadong Rani mengaku ikut jadi sekaa Janger Menyali saat usianya masih belasan tahun. Ketika itu, sekaa Janger Menyali sempat diundang pentas ke beberapa desa kawasan Buleleng, seperti Desa Pakisan (Kecamatan Kubutambahan), Desa Sudaji (Kecamatan Sawan), hinggga Desa Pancasari (Kecamatan Sukasada). “Saat itu, kami menuju tempat pentas ke desa lain dengan jalan kaki,” kenang Dadong Rani kepada NusaBali.
“Dulu motor masih langka, kami jalan kaki ramai-ramai menyeberang sungai. Pakaiannya sederhana, satu anggota sekaan janger masing-masing dapat satu stel pakaian dan harus bertanggung jawab atas pakaian yang diberikan,” lanjut perempuan berusia 70 tahun ini.
Dadong Rani mengaku terharu ketika diundang ikut serta dalam rekonstruksi Janger Menyali kali ini. Dadong Rani dan beberapa rekan seperjuangannya sangat bersemangat latihan hingga larut malam, demi memperlihatkan kembali kesenian Janger Menyali kepada generasi muda. * k23
Komentar