Membeli Penjor
Jika Galungan datang, hampir semua orang Bali bikin penjor. Mereka benar-benar bikin penjor.
Aryantha Soethama
----------------------------
Pengarang
Yang dibuat adalah sungguh-sungguh penjor, bukan penjor sekadar, tidak pula penjor yang super meriah dengan hiasan yang kemudian dikenal sebagai penjor jor-joran.Ketika Galungan, dulu, penjor-penjor itu dikerjakan bersama-sama kerabat, oleh kakek-anak-cucu. Sampian penjor dikerjakan oleh nenek atau ibu bersama kakak-adik perempuan. Mereka membuat penjor sederhana, dengan bahan-bahan yang tak satu pun dibeli. Sebatang bambu melengkung mereka tebas di tegalan. Jika tak punya tegalan atau tebing dengan tanaman bambu, mereka memintanya ke kerabat. Janur atau bambu dari pohon enau, mereka potong sendiri, lelaki yang paling kuat akan memanjat enau, memotong janur itu.
Hiasan berupa padi, buah-buahan, kelapa, yang digelantungkan di batang penjor pertanda rasa syukur bumi telah melimpahkan pangan, adalah hasil dari sawah dan kebun. Semua dipetik langsung dan digali, menghiasi penjor sebelum ditancapkan di depan rumah.
Tentu tak semua anggota keluarga terlibat membuat penjor, selalu saja ada yang muda yang malas, lebih senang tidur mendengkur atau ngeluyur. Ada pula yang lebih suka membantu ibu di dapur menggoreng daging urutan (sosis) atau menggoreng kue kaliadrem. Wayan Ngenteg contohnya, sejak muda ia lebih senang bekerja di dapur saban Galungan dibanding turut membuat penjor. Dia suka diberi peran menggoreng-goreng. Jika ada kegiatan ngayah di banjar atau di pura ia memang selalu dekat perapian, bertugas menggoreng dan merebus daging. Kalau disuruh membantu bikin penjor ia pasti menghindar. “Lebih beruntung tugas di dapur, bisa nyicip-nyicipin,” alasannya. “Kalau bikin penjor kan gak mungkin kita gigit-gigit janur?”
Wayan Ngenteg kini sudah berkeluarga, tinggal di Denpasar bersama istri dan tiga anak, di sebuah tempat bersama tetangga-tetangga yang akrab dan saling memperhatikan. Mereka bahkan membentuk semacam banjar mini dengan 24 keluarga. Jika Galungan mereka bikin lawar bersama. Tentu juga menancapkan penjor di depan rumah mereka. Tapi Wayan Ngenteg tidak. Kebiasaannya sejak kanak-kanak malas membuat penjor terbawa-bawa terus hingga menjadi ayah.
Pernah istrinya yang membuat penjor, tapi hasilnya penjor kacau. Janur yang dililitkan di batang bambu melorot, buah-buah yang digantung rontok. “Ah, mungkin memang takdirku dilarang bikin penjor kalau Galungan,” bisik hati Wayan membenarkan. Maka ia pun akhirnya tak menancapkan penjor kalau Galungan. Di antara pemeluk Hindu di banjar mini itu, Wayan Ngenteg satu-satunya tidak bikin penjor. Tentu tetangga mempertanyakan, dan membujuk Wayan untuk membuat penjor. Beberapa warga ada yang berniat membuatkan Wayan Ngenteg penjor, tapi mereka khawatir Wayan tersinggung.
“Kalau Pak Wayan tidak bikin penjor, nanti dikira Pak Wayan tidak beragama Hindu, dan bukan pula orang Bali,” komentar seorang tetangga.
“Memangnya penjor yang menentukan kehinduan dan kebalian kita?” bela Wayan. Tapi diam-diam Wayan membenarkan pendapat tetangganya. Dia berhasrat bikin penjor, tapi selalu saja penyakit malasnya kambuh, sehingga penjor itu tak kunjung menancap.
“Kenapa kita tak beli saja?” saran istri Wayan. Iya ya ya, beli saja. Sempat Wayan ragu, karena penjor itu harus dibuat sendiri, dihaturkan sendiri, hasil jerih payah dan kreativitas sendiri. Jika membeli hilang pula filosofi membuat penjor.
“Ah, jangan banyak mikir, dari pada Galungan tanpa penjor, lebih baik beli, biar tidak digunjingkan tetangga,” usul istri Wayan. Sejak itulah Wayan Ngenteg membeli penjor saban Galungan. Dan para tetangga memuji tindakan Wayan itu. “Tak apa-apa membeli Pak Wayan, tak apa-apa,” komentar semua tetangganya.
Orang Bali memasuki zaman modern dengan lebih sering membeli kelengkapan upacara dan hari raya. Karena mereka semakin banyak punya uang, kelengkapan itu semakin banyak dan ragamnya bertambah. Upacara ngaben, ngodalin, potong gigi, menikah, kini dengan sesaji semakin meriah. Canang sesaji untuk sehari-hari pun semakin banyak. Canang-canang itu disimpan di kulkas, berdesak-desak dengan sayur, tomat, kentang, daging, dan susu.
Banyak yang berkomentar membeli sesaji atau penjor lebih hemat dibanding membuat sendiri yang menyita tak sedikit waktu. Toh bahan-bahan juga mesti dibeli. Kini banyak orang Bali yang bahagia kalau membeli sesaji, tak usah bikin sendiri. Kini zaman praktis, banyak yang bisa dibeli. Banyak yang tidak peduli, membuat sesaji sendiri itu sebuah proses penghayatan dan ketakwaan. Tapi, begitulah, uang bisa menumbangkan segalanya, juga menumbangkan ketakwaan itu. *
Pengarang
Yang dibuat adalah sungguh-sungguh penjor, bukan penjor sekadar, tidak pula penjor yang super meriah dengan hiasan yang kemudian dikenal sebagai penjor jor-joran.Ketika Galungan, dulu, penjor-penjor itu dikerjakan bersama-sama kerabat, oleh kakek-anak-cucu. Sampian penjor dikerjakan oleh nenek atau ibu bersama kakak-adik perempuan. Mereka membuat penjor sederhana, dengan bahan-bahan yang tak satu pun dibeli. Sebatang bambu melengkung mereka tebas di tegalan. Jika tak punya tegalan atau tebing dengan tanaman bambu, mereka memintanya ke kerabat. Janur atau bambu dari pohon enau, mereka potong sendiri, lelaki yang paling kuat akan memanjat enau, memotong janur itu.
Hiasan berupa padi, buah-buahan, kelapa, yang digelantungkan di batang penjor pertanda rasa syukur bumi telah melimpahkan pangan, adalah hasil dari sawah dan kebun. Semua dipetik langsung dan digali, menghiasi penjor sebelum ditancapkan di depan rumah.
Tentu tak semua anggota keluarga terlibat membuat penjor, selalu saja ada yang muda yang malas, lebih senang tidur mendengkur atau ngeluyur. Ada pula yang lebih suka membantu ibu di dapur menggoreng daging urutan (sosis) atau menggoreng kue kaliadrem. Wayan Ngenteg contohnya, sejak muda ia lebih senang bekerja di dapur saban Galungan dibanding turut membuat penjor. Dia suka diberi peran menggoreng-goreng. Jika ada kegiatan ngayah di banjar atau di pura ia memang selalu dekat perapian, bertugas menggoreng dan merebus daging. Kalau disuruh membantu bikin penjor ia pasti menghindar. “Lebih beruntung tugas di dapur, bisa nyicip-nyicipin,” alasannya. “Kalau bikin penjor kan gak mungkin kita gigit-gigit janur?”
Wayan Ngenteg kini sudah berkeluarga, tinggal di Denpasar bersama istri dan tiga anak, di sebuah tempat bersama tetangga-tetangga yang akrab dan saling memperhatikan. Mereka bahkan membentuk semacam banjar mini dengan 24 keluarga. Jika Galungan mereka bikin lawar bersama. Tentu juga menancapkan penjor di depan rumah mereka. Tapi Wayan Ngenteg tidak. Kebiasaannya sejak kanak-kanak malas membuat penjor terbawa-bawa terus hingga menjadi ayah.
Pernah istrinya yang membuat penjor, tapi hasilnya penjor kacau. Janur yang dililitkan di batang bambu melorot, buah-buah yang digantung rontok. “Ah, mungkin memang takdirku dilarang bikin penjor kalau Galungan,” bisik hati Wayan membenarkan. Maka ia pun akhirnya tak menancapkan penjor kalau Galungan. Di antara pemeluk Hindu di banjar mini itu, Wayan Ngenteg satu-satunya tidak bikin penjor. Tentu tetangga mempertanyakan, dan membujuk Wayan untuk membuat penjor. Beberapa warga ada yang berniat membuatkan Wayan Ngenteg penjor, tapi mereka khawatir Wayan tersinggung.
“Kalau Pak Wayan tidak bikin penjor, nanti dikira Pak Wayan tidak beragama Hindu, dan bukan pula orang Bali,” komentar seorang tetangga.
“Memangnya penjor yang menentukan kehinduan dan kebalian kita?” bela Wayan. Tapi diam-diam Wayan membenarkan pendapat tetangganya. Dia berhasrat bikin penjor, tapi selalu saja penyakit malasnya kambuh, sehingga penjor itu tak kunjung menancap.
“Kenapa kita tak beli saja?” saran istri Wayan. Iya ya ya, beli saja. Sempat Wayan ragu, karena penjor itu harus dibuat sendiri, dihaturkan sendiri, hasil jerih payah dan kreativitas sendiri. Jika membeli hilang pula filosofi membuat penjor.
“Ah, jangan banyak mikir, dari pada Galungan tanpa penjor, lebih baik beli, biar tidak digunjingkan tetangga,” usul istri Wayan. Sejak itulah Wayan Ngenteg membeli penjor saban Galungan. Dan para tetangga memuji tindakan Wayan itu. “Tak apa-apa membeli Pak Wayan, tak apa-apa,” komentar semua tetangganya.
Orang Bali memasuki zaman modern dengan lebih sering membeli kelengkapan upacara dan hari raya. Karena mereka semakin banyak punya uang, kelengkapan itu semakin banyak dan ragamnya bertambah. Upacara ngaben, ngodalin, potong gigi, menikah, kini dengan sesaji semakin meriah. Canang sesaji untuk sehari-hari pun semakin banyak. Canang-canang itu disimpan di kulkas, berdesak-desak dengan sayur, tomat, kentang, daging, dan susu.
Banyak yang berkomentar membeli sesaji atau penjor lebih hemat dibanding membuat sendiri yang menyita tak sedikit waktu. Toh bahan-bahan juga mesti dibeli. Kini banyak orang Bali yang bahagia kalau membeli sesaji, tak usah bikin sendiri. Kini zaman praktis, banyak yang bisa dibeli. Banyak yang tidak peduli, membuat sesaji sendiri itu sebuah proses penghayatan dan ketakwaan. Tapi, begitulah, uang bisa menumbangkan segalanya, juga menumbangkan ketakwaan itu. *
1
Komentar