Profesor Australia Ungkap UU Biosekuriti Kuatkan Pencegahan PMK di Negeri Kanguru
SYDNEY, NusaBali.com – Prof Michael Ward dari Fakultas Sains, Sekolah Ilmu Veteriner, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Keamanan Pangan, Universitas Sydney, Australia, mengungkapkan Undang-Undang Biosekuriti atau Biosecurity Act yang diloloskan secara bipartisan di tahun 2015 mampu menjaga konsistensi penerapan pencegahan penyakit mulut dan kuku (PMK) masuk ke Negeri Kanguru.
“Undang-undang Biosekuriti dan Komite Biosekuriti Nasional telah membantu memastikan hukum, peraturan, dan penerapannya dilakukan secara konsisten,” kata Prof Ward kepada NusaBali.com melalui surat elektronik, Senin (25/7/2022).
Undang-undang yang menghasilkan Komite Biosekuriti Nasional itu berperan penting dalam menurunkan risiko penyebaran wabah dan penyakit ke Australia. Hal ini disebabkan terdapat mekanisme pencegahan seperti screening, inspeksi, dan pembersihan setiap kirimkan surat, kargo, tumbuhan, hewan, dan tidak terkecuali manusia yang masuk ke negara itu.
Mekanisme pengetatan di pintu masuk negara inilah yang menjadikan Australia salah satu negara yang sampai saat ini terbebas dari hama dan penyakit terutama PMK meskipun tetangga mereka tengah dilanda penyebaran penyakit hewan berkuku belah itu.
Selain pencegahan, undang-undang tersebut juga diterapkan secara seimbang antara perlindungan terhadap masuknya hama dan penyakit sekaligus tetap menjaga alur perdagangan internasional negara benua itu berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini setelah Pemerintahan Australia memutuskan untuk tidak menutup penerbangan dari dan ke Indonesia khususnya Bali di tengah desakan para oposisi.
“Sejauh ini pengetatan karantina perbatasan telah membantu mencegah masuknya virus PMK, dalam hal ini, isolasi relatif yang dilakukan sudah membantu,” ungkap Prof Ward ketika ditanya perkembangan terkini pencegahan PMK di negaranya.
Profesor yang pernah bertugas di Argentina untuk menganalisis data epidemi PMK di tahun 2001 itu mengatakan bahwa pengetatan yang dilakukan pemerintah meliputi pelarangan impor barang-barang berisiko, inspeksi dan pendeteksian barang-barang berisiko di pelabuhan dan bandara, dan pengawasan di batas-batas laut, termasuk juga pengawasan di post-border atau di wilayah di luar kepabeanan.
Menurut laporan SBS News pada 22 Juli 2022, para peternak di negara bagian North Territory telah melakukan prosedur biosekuriti yang ketat dan melarang kunjungan ke peternakan mereka bagi orang-orang yang pernah berkunjung ke Asia.
Di banyak media akhir-akhir ini mengabarkan bahwa setiap orang yang masuk ke Australia harus membuang sendal dan sepatu mereka setelah bepergian ke Bali. Hal tersebut tidak diterapkan, melainkan disiapkan keset sanitasi yang berisi cairan pembersih asam sitrat sehingga jejak-jejak pembawa penyakit bisa diluluhkan.
Prof Ward menekankan pentingnya pengetat pengawasan di pintu masuk perbatasan mengingat titik tersebut merupakan titik paling lemah yang harus dikuatkan. “Terdapat ancaman yang konstan berdatangan berbarengan dengan masuknya manusia, hewan, tumbuhan, patogen, dan hama sehingga perbatasan harus seragam (diawasi); sebab merupakan titik paling lemah sekaligus paling kuat,” jelas peneliti di bidang epidemiologi dan kesehatan masyarakat itu.
Ketika dimintai rekomendasi untuk penanganan PMK di Indonesia khususnya di Bali, Prof Ward menolak dan berdalih sebab ia tidak mengetahui situasinya secara langsung. “Saya tidak bisa berkomentar tentang situasi di Bali karena saya bukan pihak yang mengetahuinya secara langsung; saya bisa berkomentar tentang mekanisme pengontrolan PMK secara umum yaitu pembatasan pergerakan, tracing, dan entah itu pemusnahan atau vaksinasi,” tutupnya.
Berkaca dari hal ini, sampai saat ini Indonesia belum memiliki regulasi yang kuat mengenai biosekuriti. UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan yang dicabut dengan UU Nomor 21 Tahun 2019 masih belum memuat klausul tentang biosekuriti padahal sangat penting dalam hal pencegahan penyebaran hama dan penyakit. Tidak adanya regulasi tentang biosekuriti ini menyebabkan badan khusus yang menjalankan fungsi biosekuriti tidak bisa dibentuk sedangkan beberapa lembaga karantina yang menjalankan fungsi biosekuriti belum terintegrasi satu salam lain.
Pendapat ini NusaBali.com lansir dari seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof Enny Sudarmonowati pada Bilateral Workshop on Biosecurity and Biosafety di Cibinong, Jawa Barat pada Senin (3/8/2018).
Menurut Prof Enny, Indonesia masuk tiga besar negara dengan keanekaragaman hayati paling kaya di dunia sehingga perlunya penguatan regulasi untuk pencegahan penyebaran hama dan penyakit yang mampu menurunkan tingkat kekayaan hayati Indonesia.
Australia yang ‘hanya’ punya sapi dengan nilai bisnis AUD 80 miliar saja mempunyai UU Biosekuriti walaupun keanekaragaman hayatinya tidak sekaya Indonesia. Terlebih lagi, UU Biosekuriti tidak hanya mencakup hewan dan tumbuhan tetapi juga manusia sebagaimana diterapkan di Australia selama pandemi Covid-19. Sudah sepantasnya para pembuat kebijakan mulai memberikan perhatian terhadap penguatan regulasi biosekuriti sehingga kita siap bahkan sebelum pandemi dan wabah selanjutnya menyebar. *rat
1
Komentar