Ngaben Massal di Desa Padangbai, Bade Diarak Melintasi Laut
Ngaben dengan Lembu Setinggi 10 Meter, di Desa Adat Angantelu
Mengarak bade dari pondok di Terminal Pura Dang Kahyangan Silayukti, Banjar Segara, Desa Padangbai, menuju Setra Desa Adat Padangbai, jaraknya sekitar 400 meter. Tetapi prosesi ini selalu dilakukan dengan melintasi laut karena sudah tradisi turun temurun.
AMLAPURA, NusaBali
Upacara ngaben massal mengupacarai 117 sawa digelar di Desa Adat Padangbai, Kecamatan Manggis, Karangasem pada Sukra Umanis Merakih, Jumat (29/7), ditandai dengan mengarak bade menuju ke Setra Desa Adat Padangbai melalui laut. Sebenarnya perjalanan dari pondok (lokasi tempat mempersiapkan upacara) ngaben di Terminal Pura Dang Kahyangan Silayukti, Banjar Segara, Desa Padangbai, menuju Setra Desa Adat Padangbai, jaraknya sekitar 400 meter dan ada jalan raya. Tetapi untuk menuju Setra Desa Adat Padangbai, mesti melalui laut di Pantai Banjar Segara. Perjalanan bade menuju setra selalu melintas laut, karena ini tradisi turun temurun.
Arak-arakan itu mulai pukul 11.00 Wita dikoordinasikan Bendesa Adat Padangbai I Komang Nuriada. Yang pertama yang diarak terjun ke laut adalah gajah mina, yakni tempat membakar sawa, disusul bade setinggi 6 meter, sehingga keduanya beriringan di laut.
Puluhan krama Desa Adat Padangbai yang mengusung gajah mina dan bade berlayar di laut. Krama yang mengusung mesti berendam setinggi dada, mengingat arak-arakan di laut, gajah mina dan bade tidak bisa diangkat dan tidak bisa digoyang-goyang seperti layaknya arak-arakan di darat. Krama hanya bersorak-sorak sambil melempar-lempar air laut ke arah gajah mina dan bade.
Bukan saja krama yang mengusung gajah mina dan bade yang basah kuyup, juga yang memanjang (pemberi jalan sang roh) di puncak bade dengan menaburkan sekarura dan mengibas-ibaskan burung menuju tempat pembakaran sawa di puncak bade juga basah. Yang berada di puncak bade kemarin adalah Bendesa Adat Padangbai I Komang Nuriada bersama Ida Bagus Putu Dana, serta dua penabuh gender I Gede Eka Sumardiana dan I Komang Adi Satriantasuta.
Gajah mina dan bade selama di laut hanya didorong dari barat ke timur mengikuti arus air. Perjalanan selama di laut sajak pukul 11.00 hingga 13.30 Wita.
Setelah tiba di depan Setra Desa Adat Padangbai, gajah mina terlebih dahulu diusung menuju setra disusul bade. Di Setra Desa Adat Padangbai, seluruh sawa dari bade diturunkan, kemudian dipindahkan ke gajah mina, selanjutnya dilakukan prosesi pembakaran sawa.
Prosesi ngaben massal di Desa Adat Padangbai dipuput Ida Pedanda Gede Karang Kertha Udyana dari Geria Yehmalong, Banjar Buayang, Desa Culik, Kecamatan Abang dan Ida Pedanda Jelantik Giri dari Geria Gunung Sari, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar.
“Ini tradisi ngaben di Desa Adat Padangbai, gajah mina dan bade menuju setra mesti melalui laut,” ujar Bendesa Adat Padangbai I Komang Nuriada. Ngaben kemarin diakhiri upacara nganyut ke Segara Pantai Banjar Segara, Desa Padangbai, pukul 18.00 Wita.
Ngaben dengan mengupacarai 117 sawa, tujuannya memisahkan purusa dengan prakerti yaitu jiwatman dengan sthulasarira. Jiwatman yang berasal dari Tuhan dikembalikan kepada Tuhan, sthulasarira yang berasal dari panca mahabhuta, dikembalikan ke tanah atau dihanyut ke laut, melalui prosesi pralina.
Setelah roh dinyatakan bersih, maka berlanjut upacara ngeroras mengupacarai 129 pitara, puncaknya pada Buda Pon Medangkungan, Rabu (10/8), melibatkan 22 dadia. Tiap krama Desa Adat Padangbai yang memiliki sawa dikenakan biaya Rp 4 juta, biaya itu termasuk upacara ngeroras hingga ngalinggihang. Kekurangan dari biaya itu disubsidi Desa Adat Padangbai.
Sementara di hari yang sama di Setra Desa Adat Angantelu, Kecamatan Manggis, juga diselenggarakan ngaben massal. Namun yang unik di upacara itu, menggunakan lembu raksasa setinggi 10 meter, lebar 4,5 meter, panjang 6,5 meter, panjang tanduk saja mencapai 1 meter, dan panjang ekor 2,5 meter.
Upacara ngaben massal digelar Dadia Gede Pulasari PGSDT (Para Gotra Sentana Dalem Tarukan), Kecamatan Manggis, Karangasem, mengupacarai 151 sawa, dikoordinasikan Ketua Panitia I Wayan Suwita Ariana.
Lembu hitam dipesan dari perajin bade UD Taksu Bali Ogoh-Ogoh, I Wayan Bandem, di Banjar Desa, Desa/Kecamatan Bebandem, Karangasem.
seharga Rp 23 juta. Lembu dibuat tinggi dan besar, menurut I Wayan Suwita Ariana, karena mengupacarai 151 sawa. Agar semua sawa bisa masuk, bersama tigasan dan kajang, maka dibuat lembu raksasa.
Awalnya arsitek lembu, I Wayan Simpen dan I Wayan Warsi merancang, bagian dalam lembu agar ukuran lubang 5,5 meter x 2,5 meter, dengan tinggi 3 meter, agar mampu menampung semua sawa dan pelengkapan lainnya. Sehingga bagian bangunan luar lembu menyesuaikan.
Prosesinya diawali menaikkan 151 sawa berupa tulang-tulang dari pondok tempat menyiapkan upakara di Banjar Kelod, Desa Antiga, ke atas bade tumpang pitu (tingkat tujuh). Sawa berupa tulang-tulang tersebut, didapatkan dari menggali setra, yang sebelumnya menggelar upacara ngebet (menggali kuburan) dengan mengambil semua tulang-tulang di Setra Desa Adat Angantelu pada Anggara Pon Merakih, Selasa (26/7).
Setelah seluruh sawa naik ke bade tumpang pitu, maka terlebih dahulu lembu diusung ke setra, menyusul bade tumpang pitu. Setiba bade tumpang pitu di setra, maka seluruh sawa diturunkan dipindahkan ke lembu, kemudian dilanjutkan upacara pembakaran.
Seluruh rangkaian upacara ngaben massal di Setra Desa Adat Angantelu, dipuput Ida Pedanda Peling Pinatih, Ida Pedanda Istri Ngurah, Ida Pedanda Gede Jelantik, Ida Pedanda Gede Wayan Datah, dan Ida Pedanda Oka. “Ini ngaben massal yang ketiga kalinya, sebelumnya ngaben pertama tahun 2007 dan ngaben kedua tahun 2015,” kata Wayan Suwita Ariana. *k16
Arak-arakan itu mulai pukul 11.00 Wita dikoordinasikan Bendesa Adat Padangbai I Komang Nuriada. Yang pertama yang diarak terjun ke laut adalah gajah mina, yakni tempat membakar sawa, disusul bade setinggi 6 meter, sehingga keduanya beriringan di laut.
Puluhan krama Desa Adat Padangbai yang mengusung gajah mina dan bade berlayar di laut. Krama yang mengusung mesti berendam setinggi dada, mengingat arak-arakan di laut, gajah mina dan bade tidak bisa diangkat dan tidak bisa digoyang-goyang seperti layaknya arak-arakan di darat. Krama hanya bersorak-sorak sambil melempar-lempar air laut ke arah gajah mina dan bade.
Bukan saja krama yang mengusung gajah mina dan bade yang basah kuyup, juga yang memanjang (pemberi jalan sang roh) di puncak bade dengan menaburkan sekarura dan mengibas-ibaskan burung menuju tempat pembakaran sawa di puncak bade juga basah. Yang berada di puncak bade kemarin adalah Bendesa Adat Padangbai I Komang Nuriada bersama Ida Bagus Putu Dana, serta dua penabuh gender I Gede Eka Sumardiana dan I Komang Adi Satriantasuta.
Gajah mina dan bade selama di laut hanya didorong dari barat ke timur mengikuti arus air. Perjalanan selama di laut sajak pukul 11.00 hingga 13.30 Wita.
Setelah tiba di depan Setra Desa Adat Padangbai, gajah mina terlebih dahulu diusung menuju setra disusul bade. Di Setra Desa Adat Padangbai, seluruh sawa dari bade diturunkan, kemudian dipindahkan ke gajah mina, selanjutnya dilakukan prosesi pembakaran sawa.
Prosesi ngaben massal di Desa Adat Padangbai dipuput Ida Pedanda Gede Karang Kertha Udyana dari Geria Yehmalong, Banjar Buayang, Desa Culik, Kecamatan Abang dan Ida Pedanda Jelantik Giri dari Geria Gunung Sari, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar.
“Ini tradisi ngaben di Desa Adat Padangbai, gajah mina dan bade menuju setra mesti melalui laut,” ujar Bendesa Adat Padangbai I Komang Nuriada. Ngaben kemarin diakhiri upacara nganyut ke Segara Pantai Banjar Segara, Desa Padangbai, pukul 18.00 Wita.
Ngaben dengan mengupacarai 117 sawa, tujuannya memisahkan purusa dengan prakerti yaitu jiwatman dengan sthulasarira. Jiwatman yang berasal dari Tuhan dikembalikan kepada Tuhan, sthulasarira yang berasal dari panca mahabhuta, dikembalikan ke tanah atau dihanyut ke laut, melalui prosesi pralina.
Setelah roh dinyatakan bersih, maka berlanjut upacara ngeroras mengupacarai 129 pitara, puncaknya pada Buda Pon Medangkungan, Rabu (10/8), melibatkan 22 dadia. Tiap krama Desa Adat Padangbai yang memiliki sawa dikenakan biaya Rp 4 juta, biaya itu termasuk upacara ngeroras hingga ngalinggihang. Kekurangan dari biaya itu disubsidi Desa Adat Padangbai.
Sementara di hari yang sama di Setra Desa Adat Angantelu, Kecamatan Manggis, juga diselenggarakan ngaben massal. Namun yang unik di upacara itu, menggunakan lembu raksasa setinggi 10 meter, lebar 4,5 meter, panjang 6,5 meter, panjang tanduk saja mencapai 1 meter, dan panjang ekor 2,5 meter.
Upacara ngaben massal digelar Dadia Gede Pulasari PGSDT (Para Gotra Sentana Dalem Tarukan), Kecamatan Manggis, Karangasem, mengupacarai 151 sawa, dikoordinasikan Ketua Panitia I Wayan Suwita Ariana.
Lembu hitam dipesan dari perajin bade UD Taksu Bali Ogoh-Ogoh, I Wayan Bandem, di Banjar Desa, Desa/Kecamatan Bebandem, Karangasem.
seharga Rp 23 juta. Lembu dibuat tinggi dan besar, menurut I Wayan Suwita Ariana, karena mengupacarai 151 sawa. Agar semua sawa bisa masuk, bersama tigasan dan kajang, maka dibuat lembu raksasa.
Awalnya arsitek lembu, I Wayan Simpen dan I Wayan Warsi merancang, bagian dalam lembu agar ukuran lubang 5,5 meter x 2,5 meter, dengan tinggi 3 meter, agar mampu menampung semua sawa dan pelengkapan lainnya. Sehingga bagian bangunan luar lembu menyesuaikan.
Prosesinya diawali menaikkan 151 sawa berupa tulang-tulang dari pondok tempat menyiapkan upakara di Banjar Kelod, Desa Antiga, ke atas bade tumpang pitu (tingkat tujuh). Sawa berupa tulang-tulang tersebut, didapatkan dari menggali setra, yang sebelumnya menggelar upacara ngebet (menggali kuburan) dengan mengambil semua tulang-tulang di Setra Desa Adat Angantelu pada Anggara Pon Merakih, Selasa (26/7).
Setelah seluruh sawa naik ke bade tumpang pitu, maka terlebih dahulu lembu diusung ke setra, menyusul bade tumpang pitu. Setiba bade tumpang pitu di setra, maka seluruh sawa diturunkan dipindahkan ke lembu, kemudian dilanjutkan upacara pembakaran.
Seluruh rangkaian upacara ngaben massal di Setra Desa Adat Angantelu, dipuput Ida Pedanda Peling Pinatih, Ida Pedanda Istri Ngurah, Ida Pedanda Gede Jelantik, Ida Pedanda Gede Wayan Datah, dan Ida Pedanda Oka. “Ini ngaben massal yang ketiga kalinya, sebelumnya ngaben pertama tahun 2007 dan ngaben kedua tahun 2015,” kata Wayan Suwita Ariana. *k16
Komentar