Bertemu Tjokot dan Kaek di Paros
Dunia seni kriya mengenal tjokotisme, sebuah paham tentang keunikan dan kegairahan menakik kayu.
Getar dan gelaran paham ini bermula dari Bali, dari Banjar Jati, Desa Sebatu, sebuah dusun di Kecamatan Tegalalang, Gianyar. Penemunya adalah I Nyoman Tjokot, seorang petani buta huruf. Karya-karya Tjokot memang beda dengan rekan-rekannya dari Ubud yang menghasilkan patung-patung elongated, halus, gemulai, kuat mengesankan sebagai fine art. Mereka memilih kayu dengan serat-serat halus yang dengan mudah mereka takik menjadi patung atau panil rumit dan detail.
Karya Tjokot beda. Dia menakik kayu-kayu yang dihanyutkan banjir sungai di desanya. Kayu-kayu gelondongan itu dia panggul pulang, dan sepanjang jalan menuju rumah orang-orang menertawakan dia. Kayu-kayu yang dibawa air bah itu dia takik menyisakan pahatan yang kasar. Dia memilih kayu-kayu dengan serat keras dan kasar, kemudian memahat dan membiarkan pahatannya begitu saja, tidak diamplas. Karya Tjokot tidak mengenal finishing, gurat-gurat kayu tetap kelihatan kuat dan liar, bak meluncur bebas sesuka hati.
Figur-figur yang dia takik pun bukan gadis cantik atau lelaki yang gagah dengan bahu kekar dan dada kencang. Tjokot menakik makhluk-makhluk primitif, tampang-tampang raksasa dengan gigi-gigi runcing menyeringai, mengesankan wajah-wajah purba di setiap patung yang dia kerjakan. Bentuknya yang bebas dan kasar itu tentu kurang mendapat sambutan orang-orang sekampungnya, karena jauh berbeda di antara keragaman artistik patung-patung Bali yang halus, gemulai, dan rumit itu.
Wajah-wajah purba Tjokot terasa kuat kembali hadir dalam pameran Made Kaek di Rumah Paros, Banjar Palak, Desa Sukawati, Gianyar. Ini rumah tua Made Kaek, yang dia jadikan tempat berpameran tunggal. Kurator pameran Wayan Sujana Suklu menyebut pameran yang berlangsung Juli-Agustus 2022 ini sebagai ‘Cryptic, Sosok Samar Made Kaek’.
Made Kaek mengaku tidak mengenal figur-figur purba takikan Tjokot. “Sosok-sosok dalam lukisan saya muncul begitu saja dalam imaji, berkelebat,” ujar Kaek. Jika kemudian muncul kesan figur pahatan Tjokot hadir dalam kanvas-kanvas Kaek, itu kebetulan belaka. Ada wajah dengan mulut menyeringai memamerkan gigi-gigi tajam-tajam, atau rahang terdorong ke depan. Yang terasa jauh membedakan adalah, sosok dalam lukisan Kaek diolah modern, menyamarkan kesan purba tubuh takikan Tjokot. Misalnya, Kaek menciptakan sosok bersepatu but, dengan warna-warna pekat dan padat.
Kaek sering menyediakan pekarangan rumahnya buat rekan-rekannya berpameran. Dia seorang event organizer. “Baru kali ini saya berpameran tunggal di sini, di rumah sendiri,” katanya. Pernyataan ini mengingatkan pertumbuhan dan perkembangan ciri khas rumah-rumah di Desa Sukawati. Di desa yang semerbak oleh berbagai aktivitas berkesenian ini, banyak pekarangan rumah dimanfaatkan tidak saja demi aktivitas seni, juga sangat sering untuk tujuan-tujuan ekonomi. Tidak cuma sanggar-sanggar atau bengkel seni yang subur di rumah-rumah, juga pedagang bubur, nasi bali, penjual lawar dan komoh banyak dijumpai di natah rumah.
Berdagang di pekarangan rumah bisa dijumpai di Banjar Gelulung, Sukawati. Di banjar yang punya pasar seni pagi ini, Ni Sarti menjual tahu goreng khas Sukawati di pekarangan rumahnya, kini diteruskan oleh adik iparnya. Kebanyakan orang membeli untuk makan pagi, dengan nasi hangat mengepul, sayur kacang panjang diurap, ditemani sambal pedas, diguyur kecap. Pembeli bisa juga menikmati kerupuk tahu, sebelum menutupnya dengan minum teh sirup manis. Banyak pembeli menikmati hidangan duduk lesehan di bale dangin, bersila, seperti makan di rumah sendiri. Tak sedikit yang beli nasi tahu dibungkus, dibawa pulang, untuk sarapan keluarga. Nasi tahu Ni Sarti, sebagai makanan vegetarian, dikenal banyak orang. Dia punya banyak pelanggan.
Di Banjar Gelulung, masuk rurung (gang) ke barat, ada juga penjual nasi campur dengan daging babi, sejumput lawar, dan sayur nangka. Pedagangnya Wayan Sari, menjualnya di pekarangan rumah. Tetangganya, Dadong Pengtok, bahkan sudah 30 tahun menjual nasi di rumah. Lawarnya mantap, masakannya enak. Gurih. Di Banjar Dlodtangkluk, tetangga Gelulung, ada pedagang nasi campur bali bernama Ni Witri. Dia menjual nasi di rumahnya selama 24 jam. Di Banjar Tameng ada Ni Moning, juga menjual nasi campur.
Kini bertambah lagi keunikan pemanfaatan pekarangan rumah berkat Rumah Paros. Jika penggiat kuliner itu memberi kepuasan selera, Paros memberi kepuasan rasa dan membasuh jiwa. *
Aryantha Soethama
1
Komentar