Jumlah Krama Cuma 32 KK, Cuntaka Kamatian Berlaku Sekampung
Saking sedikitnya jumlah krama adat di Desa Pakraman Tumbakasa, semua kaum lanang (laki-laki) mulai kalangan anak-anak hingga orang tua wajib bisa menabuh gambelan
Desa Pakraman Tumbakasa, Kecamatan Tegallalang, Gianyar Menjadi Desa Adat Terkecil di Bali
GIANYAR, NusaBali
Desa Pakraman Tumbakasa adalah salah satu dari enam desa adat di wilayah kedinasan Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Desa Pakraman Tumbakasa boleh dikata sebagai desa adat terkecil di Bali. Sebab, desa pakraman ini hanya disokong 32 kepala keluarga (KK) krama adat. Manakala ada kematian, cuntaka (kotor secara niskala) berlaku untuk satu kampung.
Berdasarkan data yang dihimpun NusaBali, Desa Pakraman Tumbakasa merupakan disa adat terkecil di antara 272 desa pakraman yang ada di wilayah Kabupaten Gianyar. Dan, ini dipastikan terkcil se-Bali. Desa adat terkecil kedua di Gianyar asalah Desa Pakraman Ketandan, wilayah kedinasan Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh. Desa Pakraman Ketandan hanya disokong sekitar 40 KK krama adat. Sedangkan desa adat terkecil ketiga di Gianyar adalah Desa Pakraman Batur Sari, Kelurahan Bitera, Kecamatan Gianyar dengan disokong sekitar 50 KK.
Lokasi Desa Pakraman Tumbakasa berada sekitar 13 kilometer arah utara dari kota wisata internasional Ubud, Gianyar. Desa Pakraman Tumbakasa mewilayahi satu banjar dinas yakni Dusun Tumbakasa. Ada pun 32 KK krama Desa Pakraman Tumbakasa tinggal tersebar di 23 song (pintu pekarangan rumah).
Rumah-rumah krama Desa Pakraman Tumbakasa ngompleks atau menyatu dalam satu lokasi di mana posisinya saling berhimpitan. Krama Desa Pakraman Tumbakasa yang berjumlah 32 KK ini ngempon (mempertanggungjawabkan) Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Pura Bele Agung, Pura Dalem), Pura Subak, dan Pura Beji (Pasucian Ida Batara).
Di Desa Pakraman Tumbakasa berlaku pararem (aturan adat) yakni cuntaka diberlakukan untuk krama sekampung. Artinya, bila ada krama yang meninggal dunia, seluruh krama dari 32 KK dinyatakan sebel alias tidak boleh ke pura. Hal ini juga diakui I Nyoman Dana, 48, salah satu tokoh Desa Pakraman Tumbakasa saat ditemui NusaBali di rumahnya, Minggu (16/4).
Menurut Nyoman Dana, jika berlangsung piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung, namun saat itu pula ada krama meninggal dunia, maka Ida Batara akan langsung katuran masineb (pujawali diakhiri). Jika beberapa hari sebelum piodalan ada krama meninggal, maka pujawali di Pura Kahyangan Tiga tidak dilaksanakan.
Tradisi ini, kata Nyoman Dana, sudah berlaku dan diwarisi secara turun temurun di Desa Pakraman Tumbakasa. “Kami di sini tidak pernah memberlakukan cuntaka hanya untuk keluarga duka, pangapit (tetangga samping, tetangga depan, tetangga belakang), serta pangorong (tetangga di sudut pekarangan). Tak juga ada cuntaka satu soroh. Jadi, semuanya yakni krama satu desa adat ikut cuntaka,” jelas Nyoman Dana. “Cuntaka sekampung ini merupakan bagian dari bentuk toleransi dan kebersamaan desa pakraman,” imbuhnya.
Sementara itu, karena saking sedikitnya jumlah krama adat di Desa Pakraman Tumbakasa, maka semua kaum lanang (laki-laki) mulai kalangan anak-anak hingga orang tua wajib bisa menabuh gambelan (megambel). Desa Pakraman Tumbakasa memiliki seperangkat gambelan berupa sebarung Gong Lelambatan, sebarung Semar Pegulingan, dan sebarung Angklung.
Bendesa Pakraman Tumbakasa, I Wayan Selamet, 42, mengatakan meski hanya disokong 32 KK krama adat, desa terkecil se-Bali ini tidak pernah kesulitan dalam melaksanakan upacara Dewa Yadnya, termasuk piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung pada Purnamaning Kadasa. Saat piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung, Ida Batara nyejer selama 3 hari.
Menurut Bendesa Wayan Selamet, piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung selalu diiringi tiga jenis tatangguran (sajian tabuh) berupa Gong Lalambatan, Semar Pegulingan, dan Angklung. Tiga jenis gambelan ini ditabuh oleh semua krama lanang mulai dari anak-anak, remaja, teruna, hingga kalangan tua. “Krama kami di Desa Pakraman Tumbakasa sejak masih kecil secara alami belajar menabuh gambelan, terutama tabuh gong di pura,” jelas Wayan Selamet yang sudah selama 25 tahun menjabat sebagai Bendesa Pakraman Tumbukasa.
Wayan Selamet menyebutkan, karena krama Desa Pakraman Tumbukasa hanya berjumlah 32 KK, beberapa tahun lalu mereka sempat kesulitan mengumpulkan uang untuk biaya pembangunan pura. Kendala itu kemudian teratasi dengan adanya bantuan keuangan langsung dari Pemprov Bali dan jenis bantuan pemerintah lainnya.
Namun demikian, setiap piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung, krama Desa Pakraman Tumukasa wajib urunan sebesar Rp 350.000 per KK. Sedangkan untuk biaya piodalan di Pura Dalem yang jatuh 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Buda Umanis Julungwangi, krama setempat harus urunan sebesar Rp 250.000 per KK. * lsa
GIANYAR, NusaBali
Desa Pakraman Tumbakasa adalah salah satu dari enam desa adat di wilayah kedinasan Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Desa Pakraman Tumbakasa boleh dikata sebagai desa adat terkecil di Bali. Sebab, desa pakraman ini hanya disokong 32 kepala keluarga (KK) krama adat. Manakala ada kematian, cuntaka (kotor secara niskala) berlaku untuk satu kampung.
Berdasarkan data yang dihimpun NusaBali, Desa Pakraman Tumbakasa merupakan disa adat terkecil di antara 272 desa pakraman yang ada di wilayah Kabupaten Gianyar. Dan, ini dipastikan terkcil se-Bali. Desa adat terkecil kedua di Gianyar asalah Desa Pakraman Ketandan, wilayah kedinasan Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh. Desa Pakraman Ketandan hanya disokong sekitar 40 KK krama adat. Sedangkan desa adat terkecil ketiga di Gianyar adalah Desa Pakraman Batur Sari, Kelurahan Bitera, Kecamatan Gianyar dengan disokong sekitar 50 KK.
Lokasi Desa Pakraman Tumbakasa berada sekitar 13 kilometer arah utara dari kota wisata internasional Ubud, Gianyar. Desa Pakraman Tumbakasa mewilayahi satu banjar dinas yakni Dusun Tumbakasa. Ada pun 32 KK krama Desa Pakraman Tumbakasa tinggal tersebar di 23 song (pintu pekarangan rumah).
Rumah-rumah krama Desa Pakraman Tumbakasa ngompleks atau menyatu dalam satu lokasi di mana posisinya saling berhimpitan. Krama Desa Pakraman Tumbakasa yang berjumlah 32 KK ini ngempon (mempertanggungjawabkan) Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Pura Bele Agung, Pura Dalem), Pura Subak, dan Pura Beji (Pasucian Ida Batara).
Di Desa Pakraman Tumbakasa berlaku pararem (aturan adat) yakni cuntaka diberlakukan untuk krama sekampung. Artinya, bila ada krama yang meninggal dunia, seluruh krama dari 32 KK dinyatakan sebel alias tidak boleh ke pura. Hal ini juga diakui I Nyoman Dana, 48, salah satu tokoh Desa Pakraman Tumbakasa saat ditemui NusaBali di rumahnya, Minggu (16/4).
Menurut Nyoman Dana, jika berlangsung piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung, namun saat itu pula ada krama meninggal dunia, maka Ida Batara akan langsung katuran masineb (pujawali diakhiri). Jika beberapa hari sebelum piodalan ada krama meninggal, maka pujawali di Pura Kahyangan Tiga tidak dilaksanakan.
Tradisi ini, kata Nyoman Dana, sudah berlaku dan diwarisi secara turun temurun di Desa Pakraman Tumbakasa. “Kami di sini tidak pernah memberlakukan cuntaka hanya untuk keluarga duka, pangapit (tetangga samping, tetangga depan, tetangga belakang), serta pangorong (tetangga di sudut pekarangan). Tak juga ada cuntaka satu soroh. Jadi, semuanya yakni krama satu desa adat ikut cuntaka,” jelas Nyoman Dana. “Cuntaka sekampung ini merupakan bagian dari bentuk toleransi dan kebersamaan desa pakraman,” imbuhnya.
Sementara itu, karena saking sedikitnya jumlah krama adat di Desa Pakraman Tumbakasa, maka semua kaum lanang (laki-laki) mulai kalangan anak-anak hingga orang tua wajib bisa menabuh gambelan (megambel). Desa Pakraman Tumbakasa memiliki seperangkat gambelan berupa sebarung Gong Lelambatan, sebarung Semar Pegulingan, dan sebarung Angklung.
Bendesa Pakraman Tumbakasa, I Wayan Selamet, 42, mengatakan meski hanya disokong 32 KK krama adat, desa terkecil se-Bali ini tidak pernah kesulitan dalam melaksanakan upacara Dewa Yadnya, termasuk piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung pada Purnamaning Kadasa. Saat piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung, Ida Batara nyejer selama 3 hari.
Menurut Bendesa Wayan Selamet, piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung selalu diiringi tiga jenis tatangguran (sajian tabuh) berupa Gong Lalambatan, Semar Pegulingan, dan Angklung. Tiga jenis gambelan ini ditabuh oleh semua krama lanang mulai dari anak-anak, remaja, teruna, hingga kalangan tua. “Krama kami di Desa Pakraman Tumbakasa sejak masih kecil secara alami belajar menabuh gambelan, terutama tabuh gong di pura,” jelas Wayan Selamet yang sudah selama 25 tahun menjabat sebagai Bendesa Pakraman Tumbukasa.
Wayan Selamet menyebutkan, karena krama Desa Pakraman Tumbukasa hanya berjumlah 32 KK, beberapa tahun lalu mereka sempat kesulitan mengumpulkan uang untuk biaya pembangunan pura. Kendala itu kemudian teratasi dengan adanya bantuan keuangan langsung dari Pemprov Bali dan jenis bantuan pemerintah lainnya.
Namun demikian, setiap piodalan di Pura Puseh lan Bale Agung, krama Desa Pakraman Tumukasa wajib urunan sebesar Rp 350.000 per KK. Sedangkan untuk biaya piodalan di Pura Dalem yang jatuh 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Buda Umanis Julungwangi, krama setempat harus urunan sebesar Rp 250.000 per KK. * lsa
Komentar