Subsidi BBM Perlu Dihapus Secara Bertahap
DPT menilai subsidi BBM tidak tepat sasaran dan banyak dinikmati kalangan mampu
JAKARTA, NusaBali
Pengamat Ekonomi Politik Universitas Indonesia Faisal Basri berpendapat pemerintah perlu menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap.
Menurutnya, subsidi BBM seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan. Faisal berkata, melepaskan diri dari ketergantungan tersebut memang sulit, tetapi bukan hal mustahil.
"Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan," kata Faisal dalam tulisan di website pribadinya, dikutip CNNIndonesia.com, Minggu (28/8).
Faisal menilai kebijakan yang sudah dilakukan di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo sebenarnya menjadi awal yang baik dan perlu dilaksanakan konsisten.
Dia pun memberi sejumlah saran dan masukan berkaitan dengan upaya penghapusan kebijakan subsidi, alokasi anggaran subsidi BBM, mendorong produksi minyak bumi, dan peningkatan ketahanan energi.
Menurutnya, pertama, pemerintah harus mengembalikan aturan penetapan harga BBM sesuai dengan formula sebagaimana di atur oleh Perpres Nomor 191 tahun 2014.
"Harga biodiesel ditentukan oleh pasar yang efisien," ujarnya.
Adapun ketakutan harga BBM berfluktuasi sehingga menyumbang pada inflasi bisa dikurangi dengan dana tabungan (semacam dana stabilisasi) dan on/off PPN atau pungutan khusus.
Lalu, kata Faisal, bisa juga harga jual eceran BBM ditetapkan berdasarkan formula perhitungan harga patokan yang sederhana dan mencerminkan keadaan sebenarnya (koefisien berdasarkan data up to date).
"Dan memperkecil peluang manipulasi dan pemburuan renten," ucapnya.
Jika subsidi terpaksa masih harus diberikan, lanjutnya, subsidi BBM seyogianya dapat mendorong rakyat melakukan perubahan pola konsumsi BBM dan restrukturisasi industri perminyakan.
Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menyatakan selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran dan banyak dinikmati kalangan mampu sehingga perlu dialihkan.
"Maka dari itu harga BBM harus disesuaikan. Karena subsidi yang selama ini dikeluarkan tidak tepat sasaran atau untuk orang mampu sehingga perlu dialihkan. Sebab kan tidak adil. Bagaimana dengan mereka yang tidak punya kendaraan? Jadi, subsidi dikurangi dan direlokasi untuk yang tidak punya kendaraan,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Sabtu.
Sugeng menambahkan, saat ini Pertalite lebih banyak dinikmati kalangan mampu, bahkan total BBM subsidi yang dikonsumsi mereka mencapai sekitar 70-80 persen. Jadi, lanjutnya, porsi terbanyak pengguna Pertalite bukan sepeda motor atau kendaraan umum yang semestinya mendapatkan BBM bersubsidi.
Mengutip data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik dari total alokasi kompensasi Pertalite Rp93,5 triliun yang dianggarkan di APBN (sesuai Perpres 98), 86 persen atau Rp80,4 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya 14 persen atau Rp13,1 triliun dinikmati dunia usaha.
Namun, lanjutnya, dari Rp80,4 triliun yang dinikmati rumah tangga, ternyata 80 persen di antaranya dinikmati rumah tangga mampu sedangkan 20 persen dinikmati rumah tangga tidak mampu.
Begitu juga dengan Solar dari total subsidi dan kompensasi Rp143,4 triliun, sejumlah 11 persen atau Rp15 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya yaitu 89 persen atau Rp127,6 triliun dinikmati dunia usaha. Dan untuk kategori rumah tangga yang menikmati, itu pun 95 persen adalah rumah tangga mampu, sehingga hanya 5 persen rumah tangga tidak mampu yang menikmati Solar subsidi. *
Menurutnya, subsidi BBM seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan. Faisal berkata, melepaskan diri dari ketergantungan tersebut memang sulit, tetapi bukan hal mustahil.
"Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan," kata Faisal dalam tulisan di website pribadinya, dikutip CNNIndonesia.com, Minggu (28/8).
Faisal menilai kebijakan yang sudah dilakukan di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo sebenarnya menjadi awal yang baik dan perlu dilaksanakan konsisten.
Dia pun memberi sejumlah saran dan masukan berkaitan dengan upaya penghapusan kebijakan subsidi, alokasi anggaran subsidi BBM, mendorong produksi minyak bumi, dan peningkatan ketahanan energi.
Menurutnya, pertama, pemerintah harus mengembalikan aturan penetapan harga BBM sesuai dengan formula sebagaimana di atur oleh Perpres Nomor 191 tahun 2014.
"Harga biodiesel ditentukan oleh pasar yang efisien," ujarnya.
Adapun ketakutan harga BBM berfluktuasi sehingga menyumbang pada inflasi bisa dikurangi dengan dana tabungan (semacam dana stabilisasi) dan on/off PPN atau pungutan khusus.
Lalu, kata Faisal, bisa juga harga jual eceran BBM ditetapkan berdasarkan formula perhitungan harga patokan yang sederhana dan mencerminkan keadaan sebenarnya (koefisien berdasarkan data up to date).
"Dan memperkecil peluang manipulasi dan pemburuan renten," ucapnya.
Jika subsidi terpaksa masih harus diberikan, lanjutnya, subsidi BBM seyogianya dapat mendorong rakyat melakukan perubahan pola konsumsi BBM dan restrukturisasi industri perminyakan.
Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menyatakan selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran dan banyak dinikmati kalangan mampu sehingga perlu dialihkan.
"Maka dari itu harga BBM harus disesuaikan. Karena subsidi yang selama ini dikeluarkan tidak tepat sasaran atau untuk orang mampu sehingga perlu dialihkan. Sebab kan tidak adil. Bagaimana dengan mereka yang tidak punya kendaraan? Jadi, subsidi dikurangi dan direlokasi untuk yang tidak punya kendaraan,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Sabtu.
Sugeng menambahkan, saat ini Pertalite lebih banyak dinikmati kalangan mampu, bahkan total BBM subsidi yang dikonsumsi mereka mencapai sekitar 70-80 persen. Jadi, lanjutnya, porsi terbanyak pengguna Pertalite bukan sepeda motor atau kendaraan umum yang semestinya mendapatkan BBM bersubsidi.
Mengutip data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik dari total alokasi kompensasi Pertalite Rp93,5 triliun yang dianggarkan di APBN (sesuai Perpres 98), 86 persen atau Rp80,4 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya 14 persen atau Rp13,1 triliun dinikmati dunia usaha.
Namun, lanjutnya, dari Rp80,4 triliun yang dinikmati rumah tangga, ternyata 80 persen di antaranya dinikmati rumah tangga mampu sedangkan 20 persen dinikmati rumah tangga tidak mampu.
Begitu juga dengan Solar dari total subsidi dan kompensasi Rp143,4 triliun, sejumlah 11 persen atau Rp15 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya yaitu 89 persen atau Rp127,6 triliun dinikmati dunia usaha. Dan untuk kategori rumah tangga yang menikmati, itu pun 95 persen adalah rumah tangga mampu, sehingga hanya 5 persen rumah tangga tidak mampu yang menikmati Solar subsidi. *
1
Komentar