Dokter THT Ungkap Faktor Risiko Anak Alami Gangguan Pendengaran
DENPASAR, NusaBali
Tidak seorang pun ingin memiliki anak terlahir dengan memiliki gangguan pada indra pendengarannya.
Dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan (THT) RS Universitas Udayana dr Ni Putu Oktaviani Rinika Pranita Sari MBiomed, SpTHT KP, mengungkap sejumlah faktor risiko meningkatkan kemungkinan anak terlahir dengan gangguan pendengaran.
Menurut dr Ririn, sapaan karibnya, ada beberapa hal yang meningkatkan risiko gangguan pendengaran saraf atau gangguan pendengaran bawaan terjadi pada anak. Faktor risiko tersebut yakni anak-anak yang berat lahirnya kurang dari 1,5 kilogram, anak-anak yang ketika dilahirkan tidak langsung menangis, anak-anak yang ketika ibunya mengandung terinfeksi Torch, anak yang baru lahir kulitnya kuning secara ekstrem.
Hal tersebut disampaikan dr Ririn ketika menjadi narasumber pada seminar hybrid edukasi pendengaran di sekretariat Yayasan Peduli Kemanusiaan (YPK) Bali, Gedung Annika Linden Center, Jalan Bakung 19, Tohpati, Kesiman Kertalangu, Denpasar Timur, Senin (5/9) pagi.
“Dari beberapa faktor itu, jika ada satu faktor, bisa menjadi ketulian 10,2 kali dibanding anak-anak tanpa faktor risiko,” ucap dr Ririn.
Dijelaskannya, gangguan pendengaran pada anak bisa dikategorikan menjadi gangguan pendengaran konduksi dan gangguan pendengaran saraf.
Gangguan pendengaran konduksi biasanya disebabkan gangguan di telinga luar ataupun bagian tengah, seperti adanya kotoran telinga ataupun genderang telinga pecah karena tidak sengaja membersihkan kotoran telinga, atau karena infeksi, batuk pilek berkepanjangan, sehingga ada cairan di telinga tengah mengakibatkan cairan tersebut mencari jalan keluar hingga akhirnya pecah melalui genderang telinga. Hal yang menyebabkan pada akhirnya terjadi gangguan pendengaran yang akrab di telinga masyarakat dengan nama curek atau congek.
Sementara gangguan pendengaran karena saraf disebabkan karena adanya gangguan pada organ rumah siput di dalam telinga. Gangguan pendengaran saraf ini biasanya dialami anak-anak yang baru lahir.
Untuk anak-anak yang menunjukkan salah satu gejala faktor risiko gangguan pendengaran, dr Ririn merekomendasikan proses skrining sedari awal, agar jika hasilnya anak mengalami gangguan pendengaran, penanganan bisa lebih cepat.
Proses skrining saat ini menggunakan peralatan canggih AABR (Automated Auditory Brainstem Responses) dan EOAE (Evoked Otoacoustic Emissions), sehingga prosesnya sangat cepat, mudah, akurat, dan aman.
Sementara cara manual dengan cara mengamati langsung perilaku anak. Cara ini memakan waktu yang lama dan kemungkinan hasilnya pun kurang akurat.
Misalnya pada bayi umur di bawah empat bulan yang masih bergerak menggunakan refleks, bisa dipancing dengan suara keras. Respons mereka kemungkinan terkejut, menangis, atau ketika menyusu berhenti menyusu. Sebaliknya kalau responsnya melemah hal tersebut patut dicurigai sebagai tanda gangguan pendengaran.
Pada anak usia lebih besar gangguan pendengaran dapat diamati dengan adanya gejala keterlambatan bicara. Misalnya anak usia 12 bulan belum bisa meniru, mengoceh, dan anak usia 18 bulan belum bisa mengucapkan kata yang memiliki makna.
Sebagian besar anak dengan gangguan pendengaran sejak lahir harus menggunakan alat bantu dengar (ABD) di telinganya. Namun begitu tetap diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui derajat ketulian yang dialami anak.
Dia mengungkapkan belum ada data pasti jumlah anak dengan gangguan pendengaran di Bali. Namun situasinya di Bali bisa dilihat dengan hampir setiap hari terdapat anak yang memeriksakan keluhan gangguan pendengaran di RSUP Sanglah, sebagai rumah sakit rujukan terbesar di Bali.
“Banyak sekali anak-anak sekarang yang ditemukan dengan tuli cacat pendengaran bawaan. Tiap hari ada saja yang dijadwalkan melakukan pemeriksaan,” ujar dr Ririn yang juga salah seorang staf Poliklinik THT RSUP Sanglah.
Ketua Dewan Pengurus YPK Bali Elsye Suryawan, mengungkapkan YPK Bali memiliki unit kerja disebut Bali Rungu, yang memiliki misi menekan jumlah anak dengan gangguan pendengaran di Bali. YPK Bali fokus mengunjungi sekolah-sekolah, terutama di daerah terpencil melakukan skrining secara gratis.
Sudah ada sekitar 60 ribu dengan temuan paling banyak di wilayah Kabupaten Karangasem. Mulai dua tahun yang lalu mereka juga mulai turun ke posyandu-posyandu.
“Ketika kami turun ke sekolah-sekolah akhirnya banyak sekali kami dapati kotoran telinganya menumpuk,” ujar Elsye. *cr78
1
Komentar