Ekspor Handycraft Bali Tertekan
Dampak kenaikan harga BBM, biaya produksi membengkak profit menurun
DENPASAR,NusaBali
Produsen dan eksportir handycraft atau produk kerajinan Bali menyatakan kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berdampak terhadap kinerja ekspor. Profit dari kontrak yang sudah berjalan dipastikan turun, akibat biaya produksi yang membengkak. Terkait hal itu pemerintah diminta membantu eksportir dengan kebijakan menurunkan bunga pinjaman.
Kepala Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Eksportir dan Produsen Handcraft Indonesia (ASEPHI)Bali I Ketut Darma Siadja mengatakan, Kamis (8/9).
”Oh ya, sudah pasti ekspor handycraft akan terimbas karena naiknya harga BBM,” ujar tokoh perajin asal Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar.
Dijelaskan dari biaya produksi sampai dengan biaya pengiriman, kata dia otomatis ikut meningkat. Harga bahan baku berupa kayu, logam kertas, lem, cat, box dan bahan-bahan lain untuk produk handycraft pasti mengalami penyesuaian akibat kenaikkan harga BBM. Demikian juga dengan biaya pengiriman, baik lewat laut maupun lewat udara tentu membengkak. Sehingga secara keseluruhan biaya produksi handycraft pun otomatis terkerek naik. Harga handycraft pun ketika sampai di tangan konsumen tak bisa dihindari ikut menyesuaikan.
Dampaknya, untuk kontrak yang sudah jadi atau berjalan keuntungan dari produsen maupun eksportir akan berkurang. “Profit kita pasti menyusut,”terangnya.
Untuk kontrak waktu ke depan kata Darma Siadja, eksportir tentu melakukan penyesuaian harga produk handycraft. Dengan kata lain harga produk kerajinan menjadi lebih tinggi, akibat peningkatan harga BBM.
Peningkatan harga produk kerajinan ini, diiyakan Darma Siadja potensial menjadikan volume ekspor merosot. Kata dia itu, sudah menjadi logika umum, dimana harga barang yang meningkat berimbas menekan daya beli konsumen. Volume ekspor bisa jadi akan menurun. “Karena pembeli menurun,” ujar dia.
Apalagi barang kerajinan, tidak termasuk dalam kelompok kebutuhan primer, seperti kebutuhan pokok.
“Berat memang. Namun ini tantangan bagi kita perajin untuk tetap berjuang berproduksi dan menjaga pasar,” pemilik CV Darma Siadja ini.
Karena, tegas Darma Siadja, produksi maupun ekspor produk kerajinan, tentu bukan hanya masalah jual beli dan bicara untung rugi. Namun menyangkut aspek yang lebih luas, perekonomian Bali secara umum. Khususnya mempertahankan dan menjaga kesempatan kerja, pendapatan masyarakat. Dan handycraft, merupakan bagian dan pendukung pariwisata Bali.
Makanya, pelaku handycraft akan berusaha maksimal tetap bisa bertahan, walau kondisi sulit. "Tetap kita berjuang untuk bisa memasarkan, baik di dalam maupun luar negeri," jelasnya.
Terkait keadaan tersebut, ASEPHI Bali meminta Pemerintah bisa membantu produsen handycraft, yang sebagian besar pelaku UMKM. Bantuan yang diharapkan berupa pemberian kredit lunak, yakni bunga pinjaman rendah. Hal itu sebagaimana yang terjadi negara- negara tetangga Indonesia, yang bunga pinjamannya 9 persen per tahun. Sedang saat ini di Indonesia bunga pinjaman masih 12 persen per tahun. “Minta pemerintah memfasilitasi pinjaman lunak.”.
Dikatakan Darma Siadja pinjaman lunak tersebut di luar kredit usaha rakyat (KUR), yang jangkauannya terbatas. Selain itu pemerintah juga tetap diharap ikut bisa memfasilitasi promosi dan pemasaran, melalui event-event seperti pameran atau promo.
Sementara berdasarkan data Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagprin) Provinsi Bali dari Januari sampai April 2022 nilai ekspor produk kerajinan Bali mencapai 39.259.280,51 dollar.
Kontribusinya 32,86 persen dari keseluruhan ekspor Bali pada periode Januari-April sebesar 119.457.849,19 dollar. Ekspor handycraft atau kerajinan berada di urutan kedua setelah ekspor produk pertanian yang didominasi produk perikanan sebesar 42.181.359,97 atau 35,31 persen. *K17
Kepala Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Eksportir dan Produsen Handcraft Indonesia (ASEPHI)Bali I Ketut Darma Siadja mengatakan, Kamis (8/9).
”Oh ya, sudah pasti ekspor handycraft akan terimbas karena naiknya harga BBM,” ujar tokoh perajin asal Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar.
Dijelaskan dari biaya produksi sampai dengan biaya pengiriman, kata dia otomatis ikut meningkat. Harga bahan baku berupa kayu, logam kertas, lem, cat, box dan bahan-bahan lain untuk produk handycraft pasti mengalami penyesuaian akibat kenaikkan harga BBM. Demikian juga dengan biaya pengiriman, baik lewat laut maupun lewat udara tentu membengkak. Sehingga secara keseluruhan biaya produksi handycraft pun otomatis terkerek naik. Harga handycraft pun ketika sampai di tangan konsumen tak bisa dihindari ikut menyesuaikan.
Dampaknya, untuk kontrak yang sudah jadi atau berjalan keuntungan dari produsen maupun eksportir akan berkurang. “Profit kita pasti menyusut,”terangnya.
Untuk kontrak waktu ke depan kata Darma Siadja, eksportir tentu melakukan penyesuaian harga produk handycraft. Dengan kata lain harga produk kerajinan menjadi lebih tinggi, akibat peningkatan harga BBM.
Peningkatan harga produk kerajinan ini, diiyakan Darma Siadja potensial menjadikan volume ekspor merosot. Kata dia itu, sudah menjadi logika umum, dimana harga barang yang meningkat berimbas menekan daya beli konsumen. Volume ekspor bisa jadi akan menurun. “Karena pembeli menurun,” ujar dia.
Apalagi barang kerajinan, tidak termasuk dalam kelompok kebutuhan primer, seperti kebutuhan pokok.
“Berat memang. Namun ini tantangan bagi kita perajin untuk tetap berjuang berproduksi dan menjaga pasar,” pemilik CV Darma Siadja ini.
Karena, tegas Darma Siadja, produksi maupun ekspor produk kerajinan, tentu bukan hanya masalah jual beli dan bicara untung rugi. Namun menyangkut aspek yang lebih luas, perekonomian Bali secara umum. Khususnya mempertahankan dan menjaga kesempatan kerja, pendapatan masyarakat. Dan handycraft, merupakan bagian dan pendukung pariwisata Bali.
Makanya, pelaku handycraft akan berusaha maksimal tetap bisa bertahan, walau kondisi sulit. "Tetap kita berjuang untuk bisa memasarkan, baik di dalam maupun luar negeri," jelasnya.
Terkait keadaan tersebut, ASEPHI Bali meminta Pemerintah bisa membantu produsen handycraft, yang sebagian besar pelaku UMKM. Bantuan yang diharapkan berupa pemberian kredit lunak, yakni bunga pinjaman rendah. Hal itu sebagaimana yang terjadi negara- negara tetangga Indonesia, yang bunga pinjamannya 9 persen per tahun. Sedang saat ini di Indonesia bunga pinjaman masih 12 persen per tahun. “Minta pemerintah memfasilitasi pinjaman lunak.”.
Dikatakan Darma Siadja pinjaman lunak tersebut di luar kredit usaha rakyat (KUR), yang jangkauannya terbatas. Selain itu pemerintah juga tetap diharap ikut bisa memfasilitasi promosi dan pemasaran, melalui event-event seperti pameran atau promo.
Sementara berdasarkan data Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagprin) Provinsi Bali dari Januari sampai April 2022 nilai ekspor produk kerajinan Bali mencapai 39.259.280,51 dollar.
Kontribusinya 32,86 persen dari keseluruhan ekspor Bali pada periode Januari-April sebesar 119.457.849,19 dollar. Ekspor handycraft atau kerajinan berada di urutan kedua setelah ekspor produk pertanian yang didominasi produk perikanan sebesar 42.181.359,97 atau 35,31 persen. *K17
Komentar