Menghayati Dunia Sunyi Teman Tuli, Nungkalik Tampil Virtual untuk Obama Foundation
GIANYAR, NusaBali.com - Adakah dunia yang benar-benar sunyi? Dunia tanpa suara, tanpa kata, tanpa bahasa? Kesunyian itu barangkali rajam yang menikam di relung paling dalam kehidupan manusia. Sunyi yang menjadi inti dari segala riuh peristiwa, sebagai awal sekaligus muara dari setiap perjalanan diri manusia.
Kesunyian itu melekat dan menular begitu cepat dalam pertunjukan Nungkalik yang ditampilkan secara virtual, Sabtu (10/9), dari Geoks Art Space pada forum Asia Pacific Leaders yang diinisiasi Obama Foundation. Sunyi itu, terbukti meretas jarak peristiwa. Tak mengenal ruang dan waktu, menjalar dan menghinggapi 23 partisipan dari negara-negara dunia dari sektor publik, swasta dan nirlaba yang hadir dalam forum tersebut.
Wahyu menjadi inspirasi utama dalam dramatic dance theatre berjudul Nungkalik karya Kitapoleng Bali, yang didukung teman tuli lainnya seperti Salsa, Yogi dan Ayu. Jasmine Okubo, penata gerak kelahiran Jepang yang telah lama bermukim di Bali begitu lihai memaksimalkan segala potensi yang ada dalam diri mereka, para penari tuli itu. Tubuh penari dalam diri Wahyu dan penari tuli lainya, dibentuk sedemikian rupa menjadi tubuh aktor sekaligus, untuk menyuarakan kisah-kisah yang hidup di dalam diri Wahyu.
Dalam pandangan umum, bisa jadi cacat semacam tuli –juga bisu, telah menjadi kutukan yang tak tertanggungkan. Tapi bagi Wahyu, kutukan itu menjadi pemantik segala daya yang dimilikinya. Untuk menjadi kuat, semakin kuat dan bertumbuh setiap harinya. Inilah yang terungkap jelas dalam pertunjukan Nungkalik berdurasi sekitar 20 menit itu.
“Stigma negatif bagi teman tuli sejujurnya masih sangat terasa hingga saat ini meski telah banyak upaya dan inisiasi dari berbagai kalangan untuk menghapusnya. Karena itu, Nungkalik menjadi salah satu upaya kami dari Kitapoleng Bali untuk memanusiakan manusia, mengikis stigma dan diskriminasi yang dialami teman tuli dan disabilitas lainnya. Mereka layak dan harus dipandang setara dengan teman normal lainnya. Bahkan dalam banyak hal, mereka telah berhasil menunjukkan motivasi yang jauh lebih besar dari kita yang normal. Saya, Anda, mereka dan kita semua adalah sama. Di mata kemanusiaan, kita tidak berbeda,” tegas Jasmine.
Selama ini, Kitapoleng Bali yang diinisiasi oleh Jasmine Okubo dan Dibal Ranuh memang didedikasikan sebagai ruang bersama. Hampir seluruh karya yang diproduksi berangkat dari tradisi sebagai dasar pemikiran di dalam melahirkan berbagai ekspresi imajinasi. Bentuk kesenian tradisi yang selama ini mapan, menurut Dibal, menjadi titik berangkat pengembangan dan eksplorasi yang lebih detail, menggugah, sekaligus menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk digali kembali.
“Kitapoleng itu memiliki spirit keberagamaan. Kita yang berbeda tidak pernah terpisah, berbahagia dengan seni. Sebab itulah kami terbuka bagi siapa saja untuk berkolaborasi bersama, utamanya merangkul teman tuli dan disabilitas lainnya untuk berkarya bersama,” ungkap Dibal.
Menebar Keharuan
Pertunjukan Nungkalik benar-benar menebar haru yang begitu menikam. Dramatic visual art dari penata artistik Dibal Ranuh yang dimainkan bersama Apik Creative Lab, berhasil mengomunikasikan segala peristiwa sehingga menjadikan Nungkalik sebagai ruang sunyi bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Pimpinan Obama Foundation, Maya Soetoro-Ng, menilai Nungkalik sebagai sebuah pertunjukan dengan pemahaman yang kuat, narasi instruktif, dan kaya kreativitas. “Terima kasih telah menunjukkan karya indah untuk anggota komunitas kami. (Kami juga) mendapatkan kesan dari Kitapoleng, kita yang berbeda tidak pernah terpisah, dengan karya seni,” tutur Maya Soetoro.
Dalam gelar wicara yang dimoderasi Sandrina Malakiano pasca pertunjukan, terungkap bahwa partisipan merasa begitu tersentuh dengan setiap adegan yang hadir dalam pemanggungan. Melalui zoom chat room, salah satu partisipan Ruth Cross menyebut pertunjukan itu membuatnya menghargai setiap apa yang terjadi. Mereka (penari tuli –red) tampil dalam keheningan, sementara dirinya bisa mendengar musik tari yang begitu menggetarkan.
“The performance was so full of intense emotions, frustations, anguish, sadness, rage, escape... and you really sense so much that is trapped. Have they seen changes in everyone around them to understand, respect and appreciated? Has it help them feel seen and understood? (“Pertunjukan ini begitu penuh dengan emosi yang kuat, frustrasi, kesedihan, kemarahan, pelarian. Dan kita benar-benar merasa begitu larut. Sudahkah mereka melihat perubahan pada setiap orang di sekitar mereka untuk memahami, menghormati, dan menghargai? Apakah itu membantu mereka merasa dilihat dan dipahami?),” tambahnya.
Pertunjukan teman tuli yang dikemas secara virtual seperti ini sebenarnya memiliki tantangan tersendiri karena mengharuskan adanya penggunaan bahasa isyarat dari Indonesia dan Vietnam. Skema penerjemahan dilakukan dari bahasa isyarat Indonesia ke bahasa lisan Indonesia, kemudian diterjemahkan kembali dalam bahasa lisan Inggris. Untuk kebutuhan Bahasa Vietnam, mereka menerjemahkan bahasa isyarat Vietnam ke bahasa lisan Vietnam dan sebaliknya, mengingat salah satu peserta yang hadir merupakan seorang tuna rungu yang menjadi pendiri organisasi advokasi tuna rungu pertama di Vietnam. Dalam hal ini, Sandrina Malakiano yang merupakan mantan presenter televisi nasional sekaligus pengajar public speaking/broadcast journalism mengambil peranan yang sangat penting. Tidak hanya memoderasi, ia juga diplot sebagai penerjemah dari Bahasa Indonesia (lisan) ke dalam Bahasa Inggris (lisan), begitu pula sebaliknya.
Ada peristiwa menarik ketika partisipan meminta penari tuli melakukan gerak tari tanpa musik yang selama ini menjadi panduan gerak. Namun seperti yang telah diduga, mereka mampu melakukannya dengan sangat baik. Sandrina kembali menegaskan betapa sunyinya dunia teman-teman tuli. Meski berteman sunyi, mereka mampu menari dan merepresentasikan banyak hal secara kompak.
Gelar wicara pada akhirnya ditutup Sandrina dengan 1 (satu) pertanyaan (atau pernyataan?) krusial yang mengutip epilog pertunjukan Nungkalik. “Saya Wahyu dan saya kuat, walau kadang tak berdaya. Bisakah kita berteman, walau tanpa suara?,” ucapnya.
Inilah kalimat sederhana yang barangkali mewakili harapan Wahyu, bahkan mungkin teman-teman tuli dan disabilitas lainnya yang begitu sederhana. Bahwa mereka tidak menginginkan belas kasihan, mereka tidak ingin dibedakan. Mereka hanya ingin dipandang setara, sama seperti teman normal lainnyan yang mampu melakukan banyak hal secara baik dan bertanggung jawab.
Hanya itu saja. Selebihnya, tak ada.*
1
Komentar