Pencatutan NIK Tanda Parpol Tak Siap Hadapi Pemilu 2024
MANGUPURA,NusaBali
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menanggapi maraknya pencatutan NIK KTP oleh partai politik (parpol) dalam data Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelang Pemilu 2024.
Peneliti Perludem, Heroik M Pratama nilai maraknya pencatutan NIK dan KTP menunjukkan ketidaksiapan Parpol dalam menghadapi Pemilu 2024. "Adanya pencatutan nama-nama pemilih kita yang sebenarnya mereka bukan anggota partai, menunjukkan ketidaksiapan partai menjadi peserta Pemilu 2024. Selain itu mesin dan kaderisasi partai tidak berjalan," ujarnya di Kuta, Badung, seperti dilansir detik.com, Rabu (14/9).
Persoalan ini, kata Heroik, memang tidak sekali ini terjadi, namun selalu berulang setiap menjelang Pemilu. Padahal, NIK sudah menjadi syarat sejak pemilu 2014 hingga sekarang. Pihaknya pun mengapresiasi langkah KPU yang saat ini sudah menggunakan aplikasi Sidalih dan Sipol. Namun di sisi lain KPU juga harus memperhatikan sistem keamanan cyber, dalam hal ini terkait pencatutan NIK.
"KPU sudah punya task force itu, tapi saya nggak tahu bagaimana mekanismenya bekerjasama dengan pihak Kepolisian dalam hal ini Unit Cyber Crime, ada BSNN, Kominfo itu satgas bersama itu sudah 2014 jadi mungkin perlu didorong lebih maksimal," katanya.
Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, terkait pencatatan data warga oleh parpol di situs Sipol sudah diatur dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017.
"Bahwa disebutkan pencatutan data warga, sebagai anggota parpol masuk dalam kategori pelanggaran tata cara prosedur dan mekanisme di dalam persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu," jelas Titi Anggraini.
Terkait maraknya pencatutan data warga oleh parpol, menurut Anggraini karena salah satu syarat parpol untuk menjadi anggota Pemilu sangat berat.
Untuk bisa menjadi peserta pemilu kalau memiliki anggota sebanyak 1.000 atau satu per seribu atau minimal 75 persen suara kabupaten/kota di seluruh Indonesia. "Karena syaratnya terlalu berat, maka cara yang paling mudah adalah parpol memanipulasi data warga tersebut," ungkapnya.
Dalam UU Pemilu pun, imbuh dia, kasus semacam ini tidak masuk dalam kategori tindak pidana, melainkan masuk dalam kategori pelanggaran administratif. "Sanksinya Bawaslu RI memberikan rekomendasi penghapusan data warga yang namanya dicatut parpol," tandasnya.
Namun sesungguhnya hal ini tidak hanya masalah penghapusan saja, imbasnya warga jadi tidak bisa mendapatkan hak politiknya sebagai warga non partisan. "Kalau data kita sebagai orang yang non partisan dampaknya tidak hanya berhenti pada penghapusan, dampaknya akan kepada diri kita karena ada beberapa profesi seperti TNI/Polri atau institusi lain yang tidak membolehkan karyawannya tidak menjadi partisan," tandasnya.
Karena itu, dia pun mengimbau kepada warga untuk memiliki kesadaran dalam melindungi data pribadinya dan menjadi pro aktif dalam mengecek datanya di Sipol secara mandiri.*
Persoalan ini, kata Heroik, memang tidak sekali ini terjadi, namun selalu berulang setiap menjelang Pemilu. Padahal, NIK sudah menjadi syarat sejak pemilu 2014 hingga sekarang. Pihaknya pun mengapresiasi langkah KPU yang saat ini sudah menggunakan aplikasi Sidalih dan Sipol. Namun di sisi lain KPU juga harus memperhatikan sistem keamanan cyber, dalam hal ini terkait pencatutan NIK.
"KPU sudah punya task force itu, tapi saya nggak tahu bagaimana mekanismenya bekerjasama dengan pihak Kepolisian dalam hal ini Unit Cyber Crime, ada BSNN, Kominfo itu satgas bersama itu sudah 2014 jadi mungkin perlu didorong lebih maksimal," katanya.
Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, terkait pencatatan data warga oleh parpol di situs Sipol sudah diatur dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017.
"Bahwa disebutkan pencatutan data warga, sebagai anggota parpol masuk dalam kategori pelanggaran tata cara prosedur dan mekanisme di dalam persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu," jelas Titi Anggraini.
Terkait maraknya pencatutan data warga oleh parpol, menurut Anggraini karena salah satu syarat parpol untuk menjadi anggota Pemilu sangat berat.
Untuk bisa menjadi peserta pemilu kalau memiliki anggota sebanyak 1.000 atau satu per seribu atau minimal 75 persen suara kabupaten/kota di seluruh Indonesia. "Karena syaratnya terlalu berat, maka cara yang paling mudah adalah parpol memanipulasi data warga tersebut," ungkapnya.
Dalam UU Pemilu pun, imbuh dia, kasus semacam ini tidak masuk dalam kategori tindak pidana, melainkan masuk dalam kategori pelanggaran administratif. "Sanksinya Bawaslu RI memberikan rekomendasi penghapusan data warga yang namanya dicatut parpol," tandasnya.
Namun sesungguhnya hal ini tidak hanya masalah penghapusan saja, imbasnya warga jadi tidak bisa mendapatkan hak politiknya sebagai warga non partisan. "Kalau data kita sebagai orang yang non partisan dampaknya tidak hanya berhenti pada penghapusan, dampaknya akan kepada diri kita karena ada beberapa profesi seperti TNI/Polri atau institusi lain yang tidak membolehkan karyawannya tidak menjadi partisan," tandasnya.
Karena itu, dia pun mengimbau kepada warga untuk memiliki kesadaran dalam melindungi data pribadinya dan menjadi pro aktif dalam mengecek datanya di Sipol secara mandiri.*
1
Komentar