Ornamen Bali Harus Menghiasi Jalan Tol Jagat Kerthi Bali
Tak Ganggu Subak dan Kesucian Pura, Akademisi Acungi Jempol
DENPASAR, NusaBali
Jalan Tol Jagat Kerthi Bali yang telah di-groundbreaking oleh Menteri PUPR Basuki Hadimulyono bersama Gubernur Bali Wayan Koster pada Saniscara Wage Prangbakat, Sabtu (10/9) di Pekutatan, Kabupaten Jembrana mendapatkan ancungan jempol dari akademisi budaya maupun arsitektur di Universitas Udayana (Unud).
Karena jalan tol di era kepemimpinan Gubernur Koster ini merupakan Jalan Tol pertama di Indonesia yang dilengkapi fasilitas jalur sepeda dengan melalui 3 Kabupaten, 13 Kecamatan, dan 58 Desa se-panjang 96,21 Km. Bahkan dalam pembangunannya tidak mengganggu Subak dan tidak merusak kesucian Pura. Diharapkan tampilan ornamen arsitektur Bali tampil indah di bangunan gerbang dan di bagian badan lampu Jalan Tol Jagat Kerthi Bali, agar masyarakat maupun wisatawan yang melintasi Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi ini merasakan keagungan budaya di Pulau Dewata.
Harapan itu disampaikan Pakar Arsitektur Bali dari Universitas Udayana (Unud), Prof Dr Ir Anak Agung Ayu Oka Saraswati MT yang menyatakan bahwa konsep pambangunan Tol Jagat Kerthi dari Mengwi-Gilimanuk sangat bagus, karena dapat memberikan kemudahan kepada masyarakat serta menjadi penghubung antara Bali Tengah dan Bali Barat, khususnya dalam bidang kebudayaan.
Dijelaskan AA Oka Ayu Saraswati bahwa budaya di Mengwi dikenal dengan istilah bebadungan yang dinamis, sedangkan di Bali Barat budayanya lebih soft atau lembut. Sehingga Jalan Tol Jagat Kerthi Bali diharapkan menjadi penghubung budaya di Bali tengah yang dinamis dan budaya di Barat Bali yang lebih lembut. Di samping itu dari sisi arsitektur yang digunakan, orang Bali terbiasa menikmati karya seni, salah satunya seni arsitektur dengan panca indra.
“Di Bali kita menganut bahwa bangunan harus terdiri dari kepala, badan dan kaki yang mencirikan bahwa bangunan tersebut adalah bangunan Bali. Kemudian ide penggunaan arsitektur dan ornamen Bali sangat menarik, karena itu dalam pembangunan jalan tol ini perlu menampilkan ornamen dan arsitektur Bali agar masyarakat yang melintasi jalan tol ini merasakan bahwa mereka sedang berada di Pulau Dewata,” jelasnya.
Budayawan Bali, Putu Satria Kesuma juga menilai pembangunan Jalan Tol Jagat Kerthi perlu diacungi jempol, karena tidak mengganggu Subak dan merusak kesucian Pura. Menurutnya ini merupakan sebuah prestasi besar, karena Tol Gilimanuk-Mengwi telah diimpikan sejak lama oleh masyarakat Bali, karena jalur lintas Denpasar-Gilimanuk sangat padat dan berisiko tinggi.
“Banyak truk dan bus-bus besar yang melewatinya, begitupun dengan arus barang dari Jawa menuju Bali yang tinggi melewati jalan tersebut, sehingga sangat riskan terjadi kecelakaan lalulintas,” ujar Kesuma. Lebih lanjut Pegiat Seni asal Buleleng ini memandang bahwa pemasangan ornamen Bali di Jalan Tol Jagat Kerthi Bali (gerbang dan lampu tol, Red) harus direalisasikan, karena ini merupakan identitas budaya Bali. Namun dalam penempatan ornamen Bali harus memperhatikan faktor etika, estetika dan filosofi serta kesakralannya.
“Sangat bagus kalau ada ornamen Bali yang akan disisipkan di Jalan Tol Jagat Kerthi Bali, sehingga bisa menjadi identitas bahwa pengguna jalan tol ini sedang berada di Pulau Bali,” ungkapnya. Selanjutnya I Dewa Gede (IDG) Windu Sancaya, Akademisi Unud mengatakan pembangunan Jalan Tol Jagat Kerthi Bali merupakan bagian dari proyek strategis nasional yang dilakukan di Bali. Oleh karena itu, wajib mensukseskannya. Hanya saja, perlu dibarengi dengan kesiapan masyarakat dalam menyikapi kehadiran jalan tol ini. Karena bagaimana pun keberadaan jalan tol nantinya akan berdampak pada persoalan sosial budaya masyarakat Bali.
“Kita harus meningkatkan kualitas SDM manusia Bali, agar tidak menjadi penonton dan tidak hanya jadi konsumen. Tapi SDM Bali harus produktif memanfaatkan kehadiran jalan tol ini dengan siap bersaing, dan harus mengantisipasi persoalan alih fungsi lahan yang sudah pasti tidak dapat dihindari,” tegasnya.
Windu Sancaya juga menegaskan ornamen Bali sangat penting untuk ditampilkan di jalan tol, karena mengandung estetika. Namun kekhasan budaya dalam bangunan itu dapat diwujudkan, apabila arsitektur yang bercirikan tradisi Bali ini dibuat suatu peraturan yang mengatur secara rinci tentang bangunan dan pembangunan yang akan dilakukan di sepanjang jalan tol itu. Pada saat yang bersamaan, juga perlu dibuat Perda yang mengatur tentang jalur hijau untuk melindungi alam dan lingkungan di seluruh kawasan yang dilalui jalan tol.
“Hal ini harus dikerjakan saat ini juga. Jangan sampai setelah jalan tol selesai baru dibuatkan Perda Tata Ruang, atau bahkan tidak dibuatkan sama sekali. Perda Tata Ruangnya juga harus sinkron antara Provinsi dan Kabupaten dengan berpedoman pada Visi dan Misi Nangun Sat Kerti Loka Bali, sehingga betul-betul terwujud Bali Era Baru seperti apa yang dimaksudkan oleh Gubernur Bali kita, yaitu Bapak Wayan Koster,” jelas Windu Sancaya sembari mengungkapkan penggunaan ornament Bali di bangunan Jalan Tol Jagat Kerthi Bali akan memberi kesan bagi orang luar atau wisatawan bahwa mereka merasa betul-betul sedang berada di Bali. Karena sejumlah wilayah dan kawasan di Bali saat ini membuat bingung, apakah sedang ada di Bali atau di luar Bali? Hal akibat minimnya bangunan yang berpenampilan ornamen Bali. “Jadi perlu dibangun sebuah ikon yang menandai bahwa wisatawan atau kita merasa sedang di Bali, sekaligus pembangunan jalan tol ini hadir di Pulau Bali benar-benar memuliakan budaya Bali itu sendiri. *nat
Harapan itu disampaikan Pakar Arsitektur Bali dari Universitas Udayana (Unud), Prof Dr Ir Anak Agung Ayu Oka Saraswati MT yang menyatakan bahwa konsep pambangunan Tol Jagat Kerthi dari Mengwi-Gilimanuk sangat bagus, karena dapat memberikan kemudahan kepada masyarakat serta menjadi penghubung antara Bali Tengah dan Bali Barat, khususnya dalam bidang kebudayaan.
Dijelaskan AA Oka Ayu Saraswati bahwa budaya di Mengwi dikenal dengan istilah bebadungan yang dinamis, sedangkan di Bali Barat budayanya lebih soft atau lembut. Sehingga Jalan Tol Jagat Kerthi Bali diharapkan menjadi penghubung budaya di Bali tengah yang dinamis dan budaya di Barat Bali yang lebih lembut. Di samping itu dari sisi arsitektur yang digunakan, orang Bali terbiasa menikmati karya seni, salah satunya seni arsitektur dengan panca indra.
“Di Bali kita menganut bahwa bangunan harus terdiri dari kepala, badan dan kaki yang mencirikan bahwa bangunan tersebut adalah bangunan Bali. Kemudian ide penggunaan arsitektur dan ornamen Bali sangat menarik, karena itu dalam pembangunan jalan tol ini perlu menampilkan ornamen dan arsitektur Bali agar masyarakat yang melintasi jalan tol ini merasakan bahwa mereka sedang berada di Pulau Dewata,” jelasnya.
Budayawan Bali, Putu Satria Kesuma juga menilai pembangunan Jalan Tol Jagat Kerthi perlu diacungi jempol, karena tidak mengganggu Subak dan merusak kesucian Pura. Menurutnya ini merupakan sebuah prestasi besar, karena Tol Gilimanuk-Mengwi telah diimpikan sejak lama oleh masyarakat Bali, karena jalur lintas Denpasar-Gilimanuk sangat padat dan berisiko tinggi.
“Banyak truk dan bus-bus besar yang melewatinya, begitupun dengan arus barang dari Jawa menuju Bali yang tinggi melewati jalan tersebut, sehingga sangat riskan terjadi kecelakaan lalulintas,” ujar Kesuma. Lebih lanjut Pegiat Seni asal Buleleng ini memandang bahwa pemasangan ornamen Bali di Jalan Tol Jagat Kerthi Bali (gerbang dan lampu tol, Red) harus direalisasikan, karena ini merupakan identitas budaya Bali. Namun dalam penempatan ornamen Bali harus memperhatikan faktor etika, estetika dan filosofi serta kesakralannya.
“Sangat bagus kalau ada ornamen Bali yang akan disisipkan di Jalan Tol Jagat Kerthi Bali, sehingga bisa menjadi identitas bahwa pengguna jalan tol ini sedang berada di Pulau Bali,” ungkapnya. Selanjutnya I Dewa Gede (IDG) Windu Sancaya, Akademisi Unud mengatakan pembangunan Jalan Tol Jagat Kerthi Bali merupakan bagian dari proyek strategis nasional yang dilakukan di Bali. Oleh karena itu, wajib mensukseskannya. Hanya saja, perlu dibarengi dengan kesiapan masyarakat dalam menyikapi kehadiran jalan tol ini. Karena bagaimana pun keberadaan jalan tol nantinya akan berdampak pada persoalan sosial budaya masyarakat Bali.
“Kita harus meningkatkan kualitas SDM manusia Bali, agar tidak menjadi penonton dan tidak hanya jadi konsumen. Tapi SDM Bali harus produktif memanfaatkan kehadiran jalan tol ini dengan siap bersaing, dan harus mengantisipasi persoalan alih fungsi lahan yang sudah pasti tidak dapat dihindari,” tegasnya.
Windu Sancaya juga menegaskan ornamen Bali sangat penting untuk ditampilkan di jalan tol, karena mengandung estetika. Namun kekhasan budaya dalam bangunan itu dapat diwujudkan, apabila arsitektur yang bercirikan tradisi Bali ini dibuat suatu peraturan yang mengatur secara rinci tentang bangunan dan pembangunan yang akan dilakukan di sepanjang jalan tol itu. Pada saat yang bersamaan, juga perlu dibuat Perda yang mengatur tentang jalur hijau untuk melindungi alam dan lingkungan di seluruh kawasan yang dilalui jalan tol.
“Hal ini harus dikerjakan saat ini juga. Jangan sampai setelah jalan tol selesai baru dibuatkan Perda Tata Ruang, atau bahkan tidak dibuatkan sama sekali. Perda Tata Ruangnya juga harus sinkron antara Provinsi dan Kabupaten dengan berpedoman pada Visi dan Misi Nangun Sat Kerti Loka Bali, sehingga betul-betul terwujud Bali Era Baru seperti apa yang dimaksudkan oleh Gubernur Bali kita, yaitu Bapak Wayan Koster,” jelas Windu Sancaya sembari mengungkapkan penggunaan ornament Bali di bangunan Jalan Tol Jagat Kerthi Bali akan memberi kesan bagi orang luar atau wisatawan bahwa mereka merasa betul-betul sedang berada di Bali. Karena sejumlah wilayah dan kawasan di Bali saat ini membuat bingung, apakah sedang ada di Bali atau di luar Bali? Hal akibat minimnya bangunan yang berpenampilan ornamen Bali. “Jadi perlu dibangun sebuah ikon yang menandai bahwa wisatawan atau kita merasa sedang di Bali, sekaligus pembangunan jalan tol ini hadir di Pulau Bali benar-benar memuliakan budaya Bali itu sendiri. *nat
1
Komentar