Pertunjukan Teman Tuli 'Nungkalik' PascaArtjog
Pukau Forum Asia Pacific Leaders
Tak mengenal ruang dan waktu, 'Nungkalik' menjalar dan menghinggapi 23 partisipan dari negara-negara dunia.
GIANYAR, NusaBali
Setelah sukses dipentaskan pada gelaran Artjog 2022, Agustus 2022, pertunjukan 'Nungkalik' yang dibawakan teman tuli kembali berhasil memukau penonton pada Forum Asia Pacific Leaders. Kegiatan ini diinisiasi yayasan internasional Obama Foundation yang didirikan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
'Nungkalik' yang secara sederhana dimaknai sebagai 'terbalik', kembali membuktikan bahwa kesunyian yang dibawanya mampu meretas jarak peristiwa. Kesunyian itu melekat dan menular begitu cepat dalam pertunjukan yang ditampilkan secara virtual, Sabtu (10/9), dari Geoks Art Space, Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar.
Tak mengenal ruang dan waktu, 'Nungkalik' menjalar dan menghinggapi 23 partisipan dari negara-negara dunia dari sektor publik, swasta, dan nirlaba yang hadir dalam forum tersebut.
'Nungkalik' sendiri didasari realitas sederhana mengenai kontradiksi yang ada dalam pandangan kultural masyarakat. Pandangan umum yang mengatakan kekurangan adalah kelemahan, runtuh ketika dibenturkan pada realitas yang sebenarnya.
Dalam pandangan umum, bisa jadi cacat semacam tuli, juga bisu, telah menjadi kutukan yang tak tertanggungkan. Tapi bagi Wahyu, justru kutukan itu menjadi pemantik segala daya yang dimilikinya. Untuk menjadi kuat, semakin kuat dan bertumbuh setiap harinya.
Wahyu, pemeran utama pertunjukan berdurasi 20 menit, menjadi inspirasi utama dalam dramatic dance theatre karya Kitapoleng Bali ini, yang didukung teman tuli lainnya seperti Salsa, Yogi, dan Ayu.
Jasmine Okubo, penata gerak kelahiran Jepang yang telah lama bermukim di Bali begitu lihai memaksimalkan segala potensi yang ada dalam diri mereka. Tubuh penari dalam diri Wahyu dan penari tuli lainya, dibentuk sedemikian rupa menjadi tubuh aktor sekaligus, untuk menyuarakan kisah-kisah yang hidup di dalam diri Wahyu.
“Stigma negatif bagi teman tuli sejujurnya masih sangat terasa hingga saat ini meski telah banyak upaya dan inisiasi dari berbagai kalangan untuk menghapusnya. Karena itu, Nungkalik menjadi salah satu upaya kami dari Kitapoleng Bali untuk memanusiakan manusia, mengikis stigma dan diskriminasi yang dialami teman tuli dan disabilitas lainnya. Mereka layak dan harus dipandang setara dengan teman normal lainnya. Bahkan dalam banyak hal, mereka telah berhasil menunjukkan motivasi yang jauh lebih besar dari kita yang normal. Saya, anda, mereka dan kita semua adalah sama. Di mata kemanusiaan, kita tidak berbeda,” tegas Jasmine.
Selama ini, Kitapoleng Bali yang diinisiasi oleh Jasmine Okubo dan penata artistik Dibal Ranuh memang didedikasikan sebagai ruang bersama. Hampir seluruh karya yang diproduksi berangkat dari tradisi sebagai dasar pemikiran di dalam melahirkan berbagai ekspresi imajinasi.
Bentuk kesenian tradisi yang selama ini mapan, menurut Dibal, menjadi titik berangkat pengembangan dan eksplorasi yang lebih detail, menggugah, sekaligus menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk digali kembali.
“Kitapoleng itu memiliki spirit keberagamaan. Kita yang berbeda tidak pernah terpisah, berbahagia dengan seni. Sebab itulah kami terbuka bagi siapa saja untuk berkolaborasi bersama, utamanya merangkul teman tuli dan disabilitas lainnya untuk berkarya bersama,” ungkap Dibal.
Pertunjukan Nungkalik benar-benar menebar haru yang begitu menikam. Dramatic visual art dari penata artistik Dibal Ranuh yang dimainkan bersama Apik Creative Lab, berhasil mengomunikasikan segala peristiwa sehingga menjadikan Nungkalik sebagai ruang sunyi bagi siapa saja yang menyaksikannya. *cr78.
'Nungkalik' yang secara sederhana dimaknai sebagai 'terbalik', kembali membuktikan bahwa kesunyian yang dibawanya mampu meretas jarak peristiwa. Kesunyian itu melekat dan menular begitu cepat dalam pertunjukan yang ditampilkan secara virtual, Sabtu (10/9), dari Geoks Art Space, Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar.
Tak mengenal ruang dan waktu, 'Nungkalik' menjalar dan menghinggapi 23 partisipan dari negara-negara dunia dari sektor publik, swasta, dan nirlaba yang hadir dalam forum tersebut.
'Nungkalik' sendiri didasari realitas sederhana mengenai kontradiksi yang ada dalam pandangan kultural masyarakat. Pandangan umum yang mengatakan kekurangan adalah kelemahan, runtuh ketika dibenturkan pada realitas yang sebenarnya.
Dalam pandangan umum, bisa jadi cacat semacam tuli, juga bisu, telah menjadi kutukan yang tak tertanggungkan. Tapi bagi Wahyu, justru kutukan itu menjadi pemantik segala daya yang dimilikinya. Untuk menjadi kuat, semakin kuat dan bertumbuh setiap harinya.
Wahyu, pemeran utama pertunjukan berdurasi 20 menit, menjadi inspirasi utama dalam dramatic dance theatre karya Kitapoleng Bali ini, yang didukung teman tuli lainnya seperti Salsa, Yogi, dan Ayu.
Jasmine Okubo, penata gerak kelahiran Jepang yang telah lama bermukim di Bali begitu lihai memaksimalkan segala potensi yang ada dalam diri mereka. Tubuh penari dalam diri Wahyu dan penari tuli lainya, dibentuk sedemikian rupa menjadi tubuh aktor sekaligus, untuk menyuarakan kisah-kisah yang hidup di dalam diri Wahyu.
“Stigma negatif bagi teman tuli sejujurnya masih sangat terasa hingga saat ini meski telah banyak upaya dan inisiasi dari berbagai kalangan untuk menghapusnya. Karena itu, Nungkalik menjadi salah satu upaya kami dari Kitapoleng Bali untuk memanusiakan manusia, mengikis stigma dan diskriminasi yang dialami teman tuli dan disabilitas lainnya. Mereka layak dan harus dipandang setara dengan teman normal lainnya. Bahkan dalam banyak hal, mereka telah berhasil menunjukkan motivasi yang jauh lebih besar dari kita yang normal. Saya, anda, mereka dan kita semua adalah sama. Di mata kemanusiaan, kita tidak berbeda,” tegas Jasmine.
Selama ini, Kitapoleng Bali yang diinisiasi oleh Jasmine Okubo dan penata artistik Dibal Ranuh memang didedikasikan sebagai ruang bersama. Hampir seluruh karya yang diproduksi berangkat dari tradisi sebagai dasar pemikiran di dalam melahirkan berbagai ekspresi imajinasi.
Bentuk kesenian tradisi yang selama ini mapan, menurut Dibal, menjadi titik berangkat pengembangan dan eksplorasi yang lebih detail, menggugah, sekaligus menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk digali kembali.
“Kitapoleng itu memiliki spirit keberagamaan. Kita yang berbeda tidak pernah terpisah, berbahagia dengan seni. Sebab itulah kami terbuka bagi siapa saja untuk berkolaborasi bersama, utamanya merangkul teman tuli dan disabilitas lainnya untuk berkarya bersama,” ungkap Dibal.
Pertunjukan Nungkalik benar-benar menebar haru yang begitu menikam. Dramatic visual art dari penata artistik Dibal Ranuh yang dimainkan bersama Apik Creative Lab, berhasil mengomunikasikan segala peristiwa sehingga menjadikan Nungkalik sebagai ruang sunyi bagi siapa saja yang menyaksikannya. *cr78.
Komentar