Ratusan Calon PMI Ngadu ke Disnaker
Perusahaan Penyalur Tak Penuhi Janji Keberangkatan ke Jepang
Biaya yang harus disetorkan para calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) tujuan ke Negara Jepang ini bervariasi mulai Rp 22 juta hingga Rp 35 juta
DENPASAR, NusaBali
Ratusan calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) mendatangi Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bali, Jumat (23/9) pagi. Kedatangan mereka untuk mengadu soal perusahaan penyalur tenaga kerja yang menjanjikan mereka bisa bekerja di Jepang, namun tak ada kejelasan.
Janji diterbangkan ke Negeri Sakura tidak kunjung didapat, sementara uang puluhan juta sudah ditransfer ke rekening perusahaan yang menjanjikan. Beberapa calon PMI bahkan sudah menyetor biaya keberangkatan sejak Januari 2020. Mereka yang mewakili total 350 orang korban didampingi aktivis Bali Ni Luh Jelantik dan bersama-sama Kadisnaker ESDM Bali, perwakilan Polda Bali, Kepala BP3MI, dan perwakilan Kantor Imigrasi Denpasar mengadakan pertemuan di ruang rapat Disnaker ESDM Bali, Jumat kemarin.
Kadisnaker Provinsi Bali, Ida Bagus Ngurah Arda, usai pertemuan tersebut mengatakan kedatangan para calon PMI untuk menyampaikan keberatan karena pihak perusahaan yang menjanjikan mereka bekerja di Jepang mangkir dari perjanjian. Arda mengungkapkan, sejatinya pada bulan Februari 2022, perwakilan calon PMI sebanyak 5 orang sudah datang kepada pihaknya mengadu persoalan yang mereka hadapi. Disnaker ESDM Bali kemudian melakukan mediasi antara pihak calon PMI dengan perusahaan yang menjanjikan keberangkatan.
Dalam mediasi yang berlangsung 18 April 2022, disepakati pihak perusahaan penyalur akan mengganti rugi pembayaran yang telah dilakukan calon PMI paling lambat tanggal 2 Mei 2022. Gus Arda melanjutkan, pada akhirnya perusahaan sampai saat ini belum melakukan pembayaran seperti yang dijanjikan. Menindaklanjuti hal tersebut kelima calon PMI melaporkan perusahaan ke Dit Reskrimsus Polda Bali yang kemudian disusul oleh delapan orang rekannya yang lain.
Bahkan dalam waktu dekat ratusan calon PMI lainnya akan menyusul melaporkan perusahaan penyalur ini ke Polda Bali. "Tadi sebenarnya kita panggil dari perusahaan, tapi perwakilannya tidak hadir," ujarnya. Gus Arda memastikan perusahaan yang dimaksud tidak memiliki izin untuk memberangkatkan tenaga kerja ke luar negeri. Hal itu terbukti dari tidak terlihatnya nama perusahaan tersebut pada aplikasi Jendela PMI milik Kementerian Tenaga Kerja RI.
"Berulangkali kita sampaikan kalau ingin bekerja ke luar negeri, kalau masih ragu dan tidak tahu pasti perusahaan yang akan merekrut atau memberangkatkan, tanya kepada kami baik Disnaker kabupaten/kota maupun provinsi," ujar Gus Arda. Sementara itu aktivis Ni Luh Jelantik, memastikan dirinya akan terus mengawal pengaduan yang akan dilakukan ratusan calon PMI itu. Dia menyebut ini akan menjadi pelaporan calon PMI terbesar jumlahnya di Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja RI bahkan sudah memberi atensi kepada kasus ini.
"Langkah yang selanjutnya akan kami lakukan adalah melapor ke Polda Bali bersama dengan 300-an korban lainnya," ujar Ni Luh Jelantik. Dia berharap nantinya ada mekanisme restorative justice Polda Bali terhadap pihak perusahaan yang menjanjikan calon PMI. Sehingga setidaknya uang yang telah disetorkan calon PMI bisa kembali ke tangan mereka. Dia menyebut selain ada oknum WNI dalam perusahaan tersebut, ternyata juga ada oknum berkebangsaan asing. Dia sangat menyayangkan hal ini dan berharap kepada oknum WNA dapat diberikan hukuman setimpal untuk memberikan efek jera.
Ni Luh Jelantik mengungkapkan dia telah menjalin komunikasi dengan Kemenaker RI untuk nantinya menerbitkan the white book (buku putih) yang tidak lain adalah buku pedoman yang bisa menjadi pedoman calon PMI agar tidak terkena penipuan dari oknum yang tidak bertanggung jawab. "Buku putihnya anak-anak bangsa kita yang akan merantau ke luar negeri, agar mereka tahu dari hulu ke hilir apa saja yang harus mereka lakukan, siapa saja yang harus mereka hubungi, perusahaan mana yang legal yang bisa digunakan untuk memberangkatkan mereka," ungkapnya.
Sementara itu, Panit II Unit III Sudit IV Dit Reskrimsus Polda Bali AKP Si Ketut Arya Pinatih, membenarkan ada total 13 calon PMI yang telah melakukan pelaporan kepada pihaknya. Saat ini pelaporan mereka sedang diproses termasuk meminta keterangan dari lima mantan karyawan perusahaan penyalur. AKP Arya Pinatih mengatakan kantor perusahaan yang berlokasi di daerah Kerobokan, Badung, sudah tidak beroperasi ketika dikunjungi pihaknya.
Dia mengungkapkan para calon PMI yang dijanjikan bekerja di Jepang terbagi dalam tiga bidang pekerjaan. Pertama di bidang spa, di bidang pertanian, dan di bidang hospitality (perhotelan). Biaya yang harus disetorkan bervariasi mulai Rp 22 juta hingga Rp 35 juta. Salah seorang calon PMI, Ketut Sudiratia,42, mengakui dirinya tergiur gaji besar dan persyaratan mudah yang ditawarkan pihak perusahaan penyalur. Pada Januari 2020, Sudiratia meminjam uang untuk membayar biaya keberangkatan sebesar Rp 22 juta untuk bekerja di bagian front office hotel di Jepang.
"Bahasa (Jepang) kami tidak terlalu di-push, sekadar komunikasi aktif saja sudah cukup, padahal standarnya tidak begitu," ujar pria yang mengaku sebelumnya pernah bekerja di kapal pesiar ini. Selain itu Sudiratia juga dijanjikan mendapat gaji pertama sebelum jadwal keberangkatan ke Jepang. Tidak terbersit dirinya akan menemui permasalahan seperti saat ini karena mengingat pihak perusahaan juga sempat memberikan sejumlah pelatihan selama 3 bulan. Apalagi dengan situasi pandemi, penundaan keberangkatan jadi masuk akal. Namun nyatanya hingga pertengahan 2022 dia dan ratusan teman lainnya masih berada di Bali.
Sudiratia mengaku tidak melakukan klarifikasi mengenai keabsahan izin perusahaan yang tertera di kantor perusahaan penyalur pada saat itu. Saat ini dia berharap biaya yang telah disetorkan bisa kembali atau Sudiratia masih berharap, dia bisa jadi diberangkatkan ke Jepang untuk bekerja. "Harapan ingin uang kembali saja dulu, kalau uang tidak kembali dan agen mau memberangkatkan itu lebih baik," pungkas dia. *cr78
Janji diterbangkan ke Negeri Sakura tidak kunjung didapat, sementara uang puluhan juta sudah ditransfer ke rekening perusahaan yang menjanjikan. Beberapa calon PMI bahkan sudah menyetor biaya keberangkatan sejak Januari 2020. Mereka yang mewakili total 350 orang korban didampingi aktivis Bali Ni Luh Jelantik dan bersama-sama Kadisnaker ESDM Bali, perwakilan Polda Bali, Kepala BP3MI, dan perwakilan Kantor Imigrasi Denpasar mengadakan pertemuan di ruang rapat Disnaker ESDM Bali, Jumat kemarin.
Kadisnaker Provinsi Bali, Ida Bagus Ngurah Arda, usai pertemuan tersebut mengatakan kedatangan para calon PMI untuk menyampaikan keberatan karena pihak perusahaan yang menjanjikan mereka bekerja di Jepang mangkir dari perjanjian. Arda mengungkapkan, sejatinya pada bulan Februari 2022, perwakilan calon PMI sebanyak 5 orang sudah datang kepada pihaknya mengadu persoalan yang mereka hadapi. Disnaker ESDM Bali kemudian melakukan mediasi antara pihak calon PMI dengan perusahaan yang menjanjikan keberangkatan.
Dalam mediasi yang berlangsung 18 April 2022, disepakati pihak perusahaan penyalur akan mengganti rugi pembayaran yang telah dilakukan calon PMI paling lambat tanggal 2 Mei 2022. Gus Arda melanjutkan, pada akhirnya perusahaan sampai saat ini belum melakukan pembayaran seperti yang dijanjikan. Menindaklanjuti hal tersebut kelima calon PMI melaporkan perusahaan ke Dit Reskrimsus Polda Bali yang kemudian disusul oleh delapan orang rekannya yang lain.
Bahkan dalam waktu dekat ratusan calon PMI lainnya akan menyusul melaporkan perusahaan penyalur ini ke Polda Bali. "Tadi sebenarnya kita panggil dari perusahaan, tapi perwakilannya tidak hadir," ujarnya. Gus Arda memastikan perusahaan yang dimaksud tidak memiliki izin untuk memberangkatkan tenaga kerja ke luar negeri. Hal itu terbukti dari tidak terlihatnya nama perusahaan tersebut pada aplikasi Jendela PMI milik Kementerian Tenaga Kerja RI.
"Berulangkali kita sampaikan kalau ingin bekerja ke luar negeri, kalau masih ragu dan tidak tahu pasti perusahaan yang akan merekrut atau memberangkatkan, tanya kepada kami baik Disnaker kabupaten/kota maupun provinsi," ujar Gus Arda. Sementara itu aktivis Ni Luh Jelantik, memastikan dirinya akan terus mengawal pengaduan yang akan dilakukan ratusan calon PMI itu. Dia menyebut ini akan menjadi pelaporan calon PMI terbesar jumlahnya di Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja RI bahkan sudah memberi atensi kepada kasus ini.
"Langkah yang selanjutnya akan kami lakukan adalah melapor ke Polda Bali bersama dengan 300-an korban lainnya," ujar Ni Luh Jelantik. Dia berharap nantinya ada mekanisme restorative justice Polda Bali terhadap pihak perusahaan yang menjanjikan calon PMI. Sehingga setidaknya uang yang telah disetorkan calon PMI bisa kembali ke tangan mereka. Dia menyebut selain ada oknum WNI dalam perusahaan tersebut, ternyata juga ada oknum berkebangsaan asing. Dia sangat menyayangkan hal ini dan berharap kepada oknum WNA dapat diberikan hukuman setimpal untuk memberikan efek jera.
Ni Luh Jelantik mengungkapkan dia telah menjalin komunikasi dengan Kemenaker RI untuk nantinya menerbitkan the white book (buku putih) yang tidak lain adalah buku pedoman yang bisa menjadi pedoman calon PMI agar tidak terkena penipuan dari oknum yang tidak bertanggung jawab. "Buku putihnya anak-anak bangsa kita yang akan merantau ke luar negeri, agar mereka tahu dari hulu ke hilir apa saja yang harus mereka lakukan, siapa saja yang harus mereka hubungi, perusahaan mana yang legal yang bisa digunakan untuk memberangkatkan mereka," ungkapnya.
Sementara itu, Panit II Unit III Sudit IV Dit Reskrimsus Polda Bali AKP Si Ketut Arya Pinatih, membenarkan ada total 13 calon PMI yang telah melakukan pelaporan kepada pihaknya. Saat ini pelaporan mereka sedang diproses termasuk meminta keterangan dari lima mantan karyawan perusahaan penyalur. AKP Arya Pinatih mengatakan kantor perusahaan yang berlokasi di daerah Kerobokan, Badung, sudah tidak beroperasi ketika dikunjungi pihaknya.
Dia mengungkapkan para calon PMI yang dijanjikan bekerja di Jepang terbagi dalam tiga bidang pekerjaan. Pertama di bidang spa, di bidang pertanian, dan di bidang hospitality (perhotelan). Biaya yang harus disetorkan bervariasi mulai Rp 22 juta hingga Rp 35 juta. Salah seorang calon PMI, Ketut Sudiratia,42, mengakui dirinya tergiur gaji besar dan persyaratan mudah yang ditawarkan pihak perusahaan penyalur. Pada Januari 2020, Sudiratia meminjam uang untuk membayar biaya keberangkatan sebesar Rp 22 juta untuk bekerja di bagian front office hotel di Jepang.
"Bahasa (Jepang) kami tidak terlalu di-push, sekadar komunikasi aktif saja sudah cukup, padahal standarnya tidak begitu," ujar pria yang mengaku sebelumnya pernah bekerja di kapal pesiar ini. Selain itu Sudiratia juga dijanjikan mendapat gaji pertama sebelum jadwal keberangkatan ke Jepang. Tidak terbersit dirinya akan menemui permasalahan seperti saat ini karena mengingat pihak perusahaan juga sempat memberikan sejumlah pelatihan selama 3 bulan. Apalagi dengan situasi pandemi, penundaan keberangkatan jadi masuk akal. Namun nyatanya hingga pertengahan 2022 dia dan ratusan teman lainnya masih berada di Bali.
Sudiratia mengaku tidak melakukan klarifikasi mengenai keabsahan izin perusahaan yang tertera di kantor perusahaan penyalur pada saat itu. Saat ini dia berharap biaya yang telah disetorkan bisa kembali atau Sudiratia masih berharap, dia bisa jadi diberangkatkan ke Jepang untuk bekerja. "Harapan ingin uang kembali saja dulu, kalau uang tidak kembali dan agen mau memberangkatkan itu lebih baik," pungkas dia. *cr78
Komentar