Naluri Wartawan Menuntun Raka Santeri Menjadi Sulinggih
Ketika menulis buku tentang ‘Tuhan dan Berhala’, Made Raka Santeri mengaku sampai mencari kursus black magic untuk memenuhi naluri keingintahuannya
Made Raka Santeri, Wartawan Senior Ketiga yang Beralih Menjadi Sulinggih
DENPASAR, NusaBali
Wartawan senior Made Raka Santeri, 76, akan resmi menyandang predikat sebagai sulinggih bergelar Ida Rsi Bujangga Waisnawa, setelah menjalani prosesi upacara madiksa, 25-26 Mei 2017 mendatang. Naluri kewartawanan-lah yang menuntun arah hidup tokoh intelektual Hindu berusia 76 tahun ini beralih menjadi seorang sulinggih.
Dalam hidup, ada ungkapan belajar terus hingga akhir hayat. Raka Santeri menyakini betul ungkapan tersebut. Faktanya, Raka Santeri tidak lantas berdiam diri pasca pensiun sebagai wartawan Kompas pada 1998 silam. Di masa pensiunnya, dia masih aktif belajar banyak hal, tidak terkecuali menulis, yang menjadi jiwanya dan hingga kini masih melekat.
Naluri wartawan yang selalu ingin tahu banyak hal dan ingin terus belajar, menuntun Raka Santeri menapaki tingkatan spiritual yang lebih tinggi. Tokoh yang mengawali karier sebagai wartawan tahun 1963 ini kini mulai menjalani rangkaian prosesi ritual untuk menjadi sulinggih. Diawali dengan proses diksa pariksa yang dibuka oleh Ketua PHDI Denpasar, Nyoman Kenak, di kediamannya kawasan Banjar Samping Buni, Desa Pemecutan Kelod, Kecamatan Denpasar Barat, Minggu (23/-4).
Raka Santeri mengakui, jiwa wartawan membuatnya memilih jalan hidup sebagai sulinggih. Ini karena jiwa wartawan yang selalu ingin tahu. Berbekal profesi wartawan yang sudah memiliki kode etik jurnalistik, berimbang, berdasarkan data dan fakta, pengetahuan, serta memiliki etikad baik, kata Raka Santeri, bisa dijadikan dasar untuk melanjutkan ke dunia spiritual.
"Saya dulu ikut kursus kepamangkuan, lalu orientasi kepanditaan. Tapi, ternyata naluri kewartawanan saya lebih kuat. Maka, saat itu saya hanya cari pengalaman saja, tidak fokus untuk menjadi sulinggih," kenang Raka Santeri kepada NusaBali di sela prosesi diksa pariksa di rumahnya, Minggu lalu.
Demikian pula ketika menulis buku tentang ‘Tuhan dan Berhala’, Raka Santeri mengaku sampai mencari kursus black magic, untuk memenuhi naluri keingintahuannya. Namun, hal itu hanya untuk dipelajari, tidak buat dipraktekkan. "Jadi, keinginan sebagai wartawan yang ingin mengetahui semua, sangat besar menentukan jalan saya ini," jelas ayah tiga anak dari pernikahannya dengan Made Kenderi ini.
Bahkan, semasa jadi wartawan Kompas kontributor Bali dan Nusa Tenggara, Raka Santeri juga giat menyampatkan diri tangkil ke pura-pura ketika bertugas keluar daerah Bali. Dia mencari pura-pura dan berusaha bertemu dengan umat Hindu setempat, seraya menanyakan masalah yang mereka hadapi kaitannya dengan kehidupan beragama.
Hingga suatu ketika, salah satu teman adiknya menyampaikan pesan yang sangat penting buat Raka Santeri. Teman adiknya yang memiliki indera keenam tersebut, secara langsung didatangi oleh seorang Rsi yang pernah tinggal di kediamannya kini. Tempat tinggalnya dulu pernah ditinggali Rsi tersebut tahun 1980.
"Adik tiyang, Nyoman, lantas menyampaikan hal ini kepada saya. Katanya, ini serius. Siapa yang siap untuk jadi sulinggih? Karena teman adik saya didatangi dan melihat secara langsung, bukan secara mimpi. Maka, secara pribadi saya menyatakan diri siap. Di rumah, hanya saya saja yang memiliki keingintahuan spiritual cukup besar. Setelah dirundingkan dengan keluarga besar, semua mendukung, termasuk teman-teman," cerita Raka Santeri.
Tidak lama kemudian, Raka Santeri mendaftarkan diri secara administrasi ke PHDI Kota Denpasar untuk menjadi calon sulinggih. Lantas, sebulan yang lalu, Raka Santeri menjalani prosesi diksa pariksa di tingkat trah Bhujangga Waisnawa. Ini dilanjutkan dengan diksa pariksa yang melibatkan PHDI Denpasar dan masyarakat, 23 April 2017 lalu.
Diksa pariksa merupakan salah satu proses bagi seorang calon sulinggih, di mana kalangan walaka dan sulinggih bertanya beberapa hal terkait kesiapan dan kematangan untuk menjadi seorang sulinggih, baik itu sosiologis, pemahaman agama, susila, permasalahan, tantangan umat, maupun pemahaman kesulinggihannya.
Layaknya sidang skripsi, sekitar 5 orang walaka dan 2 sulinggih masing-masing melontarkan sejumlah pertanyaan kepada Raka Santeri saat diksa pariksa. Termasuk di antaranya soal tantangan umat dalam beragama, mengingat adanya perkembangan teknologi, upacara dan upakara yang cenderung dilakukan secara jor-joran, pemahaman tattwa (filsafat agama), hingga aguron-guron dalam ilmu kesulinggihannya.
Setelah diksa pariksa, pada 25-26 Mei 2017 mendatang barulah Raka Santeri akan menjalani proses dwijati (diksa) menjadi seorang sulinggih. Diawali dengan prosesi amati raga pada 25 Mei 2017 malam pukul 22.00 Wita. Proses amati raga merupakan ritual mematikan semua rasa yang dilakukan oleh nabenya, untuk selanjutnya menjalani dwijati (kelahiran kedua kali secara rohani) pada 26 Mei 2017 dinihari pukul 03.00 Wita.
Raka Santeri mengatakan, walaupun nantinya menjadi sulinggih, dirinya akan menjalankan dua kewajiban: ngewiku raga (yaitu menjadi sulinggih untuk diri sendiri) dan ngewiku acarya (sulinggih yang ikut mencerahkan umat). Raka Santeri sebisa mungkin akan menghindari muput karya. Kenapa? Ini karena di umur 76 tahun, dirinya sudah tidak mampu menghafal mantram secara total.
Namun demikian, Raka Santeri mengaku tetap akan belajar. "Saat ini saya memang menghindari muput karya atau upacara. Tapi, saya harus siap-siap juga. Jika misalkan odalan di merajan, masa saya cari sulinggih lain? Saya akan berusaha belajar muput, meski kemampuan mengingat saya berkurang," jelas tokoh kelahiran 21 Juli 1941 ini.
Raka Santeri menambahkan, jika nanti sudah menjadi sulinggih, dirinya siap melepaskan jabatan organisasinya di PWI Bali sebagai Ketua Dewan Pembina. Namun, untuk di organisasi keumatan PHDI, dia berjanji akan tetap berkiprah. Saat ini, dia menjabat sebagai anggota walaka di PHDI Provinsi Bali.
Kendati menjadi sulinggih, namun naluri menulisnya tidak pernah surut. Raka Santeri akan tetap menulis. Saat ini, Raka Santeri bersiap menulis kembali buku ‘Persamaan Hindu dan Islam’. Hal ini mengingat radikalisme untuk sekarang semakin meningkat. "Saya akan terus menulis untuk mencerahkan umat," kata alumnus S2 IHDN Denpasar yang pernah menjadi wartawan Harian Angkatan Bersenjata (cikal bakal Harian NusaBali) tahun 1965 ini.
Made Raka Santeri merupakan wartawan senior ketiga (sebelumnya ditulis kedua, Red) dari Bali yang beralih ke jalan spiritual menjadi sulinggih. Jauh sebelumnya, wartawan senior Tempo, Putu Setia, juga telah madiksa dengan gelar Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Pe-nulis buku ‘Menggugat Bali’ ini menjalani proses madiksa di kampung halamannya yakni Desa Pujungan, Kecamatan Penebel, Tabanan. Setelah Putu Setia, menyusul I Gusti Bagus Sudiatmaka Sugriwa (wartawan RRI Denpasar) yang beralih jadi sulinggih. *in
1
Komentar