Kekuatan Hedonisme Uang Ketimbang Nilai Seni
Dari FGD Spensa di Museum Puri Lukisan Ubud
GIANYAR, NusaBali
Apresiasi masyarakat Bali terhadap karya seni rupa tak selamanya kuat, bahkan cenderung melemah.
Kondisi itu dipicu oleh sikap masyarakat yang makin hedonis bersaranakan uang ketimbang menghargai makna-makna kehidupan melalui apresiasi karya seni.
Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) di Museum Puri Lukisan Ubud, Gianyar, Senin (19/9) lalu. FGD digelar Panitia Reuni 73 SMPN 1 Ubud (Spensa), dibuka oleh Ketua Komite Spensa Ubud Prof Dr Drs Tjokorda Gde Raka Sukawati Msi. Diskusi dengan tiga pemantik yakni Ketua Himusba (Himpunan Museum Bali) Provinsi Bali AA Rai yang juga pemilik Museum Arma Ubud. Dosen Seni Rupa ISI Denpasar I Wayan Karja, dan pelaku wisata di Ubud AA Bagus Ari Brahmanta.
Terkait lemahnya apresiasi seni dimaksud, AA Rai membuktikan melalui eksperimentasi terhadap pemilik karya seni lukis. ‘’Seseorang yang memiliki lukisan, saat diminta memilih, apakah tetap mempertahankan lukisannya atau uang dalam jumlah tertentu, maka pilihannya jatuh pada uang,’’ jelasnya.
Bagi Agung Rai, mempertahankan karya seni rupa dengan tak sekadar melihat uang, tak hanya berarti mengapresiasi seni. Karena lukisan menjadi petanda status sosial seseorang. Kelemahan apresiasi seni masyarakat juga tergambar dari keengganan pihak sekolah untuk mengajak siswanya mengunjungi museum. Padahal anak-anak penting diajak untuk memahami karya seni.
Menurut dia, lukisan sarat dengan nilai-nilai tersembunyi yang tak dapat diukur dengan uang. Seni rupa lukisan, di antaranya yang dikoleksi museum, sarat kandungan nilai-nilai. Antara lain, ilmu pengetahuan, semangat budaya, kearifan manusia, dan lain-lain. ‘’Lukisan Ubud, misalnya, sarat dengan paduan peri kehidupan budaya tradisi dan modern,’’ jelasnya.
Senada itu, Wayan Karja menyatakan keheranannya saat berkunjung ke sejumlah kota di luar negeri. Misalnya, pada sebuah museum di Amerika Serikat, dia melihat ada koleksi ribuan lukisan asal Bali dan bertema Bali. Saya temukan lukisan Batuan di Brussel. Dia juga menyimak kecintaan orang asing terhadap karya-karya seni rupa Bali yang sangat kuat dalam pewarnaan dan tak lagi sekadar garis. Warna dipahami
sebagai konsep di dalamnya terdapat kekuatan nan ajaib atau magic of power. ‘’Sebagaimana yang kita pahami di Bali, konsep ini tertuang dalam tradisi ritual macaru dengan warga berkonsep pangider buwana (penjaga semesta alam),’’ ujar akademisi yang pelukis asal Penestanan, Ubud ini.
Pemahaman tentang warna pangider buwana, paparnya, hanya ada di Bali dan dianggap biasa di Bali. Tapi, konsep pangider buwana ini dinilai luar biasa bagi orang di luar Bali, sebagaimana koleksi lukisan Bali di Amerika Serikat tersebut. Menurutnya, makna pengider buwana sebagai penjaga kehidupan agar terjadi keseimbangan. Di dalamnya ada nilai-nilai pasupati atau kekuatan nirnyata untuk kehidupan kembali. ‘’Jadi warna adalah hal mendasar, ada di hati. Cerita, narasi ada di otak,’’ jelasnya.
Wayan Karja pun menilai, warna pengider buwana adalah roh Bali, sebagaimana terdapat pada banyak lukisan di museum. Jika pengider ini hilang, maka roh Bali akan hilang. Roh inilah mesti dilestarikan baik melalui strategi berkunjung ke museum seni hingga penguasaan media IT
(informasi dan teknologi).
AA Ari Brahmanta menilai keberadaan seni rupa Ubud tak semeriah era sebelumnya. Pencinta seni rupa ini mempertanyakan nasib pelukis tradisional di Ubud ke depan. Karena kini dia tak banyak bisa menemukan pelukis tradisional yang sedemikian aktif berkarya, seperti
era jauh sebelumnya.
Senada itu, salah satu seorang pemilik galeri di Desa Peliatan, Ubud, Nyoman Sumerta menilai kini banyak galeri di kawasan Ubud tutup. Oleh karena itu, kini perlu dicarikan solusi bagaimana agar para pelukis tetap berkarya, sehingga Ubud jangan hanya jadi kenangan. ‘’Tapi, pelukis berkarya, harus ada uang. Pelukis jangan hanya diajak berpameran, tapi bagaimana agar mereka bisa hidup,’’ jelas pengusaha
restoran ini.
Sumerta mengaku sempat punya empat galeri, namun kini tinggal satu. Dia mengaku prihatin terutama karena Bom Bali I dan II yang mengakibatkan banyak pelukis jadi buruh bangunan.
Ketua Panitia Reuni 73 Spensa Prof Suarna menilai perubahan besar dengan segenap persoalan ke depan, menjadikan kawasan Ubud kian sarat beban. Oleh karena itu, Ubud membutuhkan road map secara holistik yang dilengkapi pemetaan potensi Ubud dengan kajian akademik. Kajian ini tetap dilandasi akar budaya bersendikan nilai-nilai luhur masyarakat.*Isa
1
Komentar