Keberhasilan Rehabilitasi Adiksi Napza Bergantung Orang Terdekat
MANGUPURA, NusaBali.com – Peran orang terdekat pecandu napza dalam proses rehabilitasi sangat penting sebagai support. Sayangnya, belum semua pihak mengerti mengenai esensi rehabilitasi kecanduan obat terlarang dan faktor besar lingkungan terhadap permasalahan ini.
Permasalahan adiksi alias kecanduan bukan merupakan problem yang dibawa sejak lahir. Kondisi ini terjadi karena terbentuk, baik itu oleh lingkungan keluarga, emosional, secara genetik, atau secara sosial masyarakat.
Pendapat ini disampaikan oleh I Gde Made Addy Suastha SKep Ns, seorang konselor adiksi napza dengan pengalaman 17 tahun menangani klien pencandu obat-obatan terlarang.
Mengawali karier di RSJ Provinsi Bali di Kabupaten Bangli pada tahun 2005, Addy Suastha sudah pernah menangani berbagai macam tabiat klien dan keluarganya.
Bukan hanya menangani klien, pria asal Tabanan ini pula sempat diperlakukan sebagai pecandu dan direhabilitasi pada masa pelatihannya di Jakarta pada awal bertugas. Oleh karena itu, ia sudah paham betul bagaimana proses rehabilitasi dan juga hal yang dirasakan oleh orang yang sedang direhabilitasi.
“Terkadang orang melihat seorang adiksi itu sebagai ‘sampah’. Padahal, berdasarkan pengalaman saya sebagai praktisi, adiksi bukan terlahir tetapi terbentuk,” cetus Addy Suastha yang sekarang bertugas di Klinik Adiksi, RSD Mangusada.
Menurut Addy Suastha, penyebab dari adiksi tersebut yang harus dikaji dan diskrining pelan-pelan dari klien sehingga dapat dicari formulasi penanganan yang tepat. Ironisnya, dari pengalaman praktisinya, orang terdekat klien terkadang menginginkan hasil yang instan.
“Orangtua itu terkadang, ‘Pak, tolong dong anak saya ini diubah’. Ya, mana bisa seperti itu,” tegas Addy Suastha ketika ditemui di Klinik Adiksi, RSD Mangusada, Kamis (29/9/2022) siang.
Menurut Addy Suastha, ada tiga fase yang mesti dilalui klien candu napza untuk bisa mencapai perubahan yang positif, yakni concept, support, dan mindset.
“Concept ini, si klien harus diberi pemahaman tentang candunya dia. Kuat tidak keinginan dia untuk berubah, sudah tahu tidak dia bahwa adiksinya itu berbahaya untuk diri sendiri, atau hanya karena rujukan keluarga menekan dia untuk berubah,” terang Addy Suastha.
Ketika pecandu napza belum menyadari dirinya dalam posisi memerlukan pertolongan maka concept tentang adiksi ini tidak akan efektif. Namun, perlu diberi pemahaman pelan-pelan sampai pada suatu saat pencandu ini pada kondisi mengibarkan bendera putih, ‘tolong saya, saya ingin berubah’ maka keberhasilan dari fase concept sudah tercapai.
Setelah fase ini, adalah ruang bagi orang-orang terdekat untuk ikut terlibat dalam proses rehabilitasi. Pihak pertama yang harus membantu klien bukan konselor tetapi orang terdekatnya.
Pada fase ini giliran orang terdekat yang ‘direhabilitasi’ dalam hal ini diberikan pemahaman mengenai candu klien dan penyebab klien menjadi pecandu berdasarkan hasil skrining. Sehingga, orang terdekat ini memahami permasalahan si pecandu. Apabila ada andil kondisi keluarga mendorong klien menjadi pecandu maka lebih besar lagi peran keluarga untuk memulihkan klien.
Ketika pada proses mediasi di mana pecandu dan orang terdekatnya dipertemukan terjadi situasi kedua-duanya mengakui kesalahan masing-masing maka kesempatan untuk pecandu ini pulih lebih besar.
“Kalau ini terjadi, adalah poin plus bagi kami untuk melanjutkan ke perubahan mindset,” ujar Addy Suastha.
Langkah seperti ini memerlukan waktu tidak sebentar. Kata Addy Suastha, proses konseling tidak bisa sekali dua kali setidaknya ada 8-10 pertemuan dan diperlukan keseriusan dari berbagai pihak. Terlebih lagi, menyampaikan concept kepada orang yang sudah keliru memahami concept sangat sulit.
“Makanya dalam rehabilitasi itu, bukan hanya si klien yang direhab, si keluarga juga harus kami berikan pemahaman. Akhirnya ya kena (rehab) semua,” jelas Addy Suastha.
Di lain sisi, yang sering terjadi adalah ketergesa-gesaan dari orang di sekeliling klien. Padahal, klien hanya ditaruh di rumah rehabilitasi, tidak bisa dan tidak pernah dibesuk.
Kata Addy Suastha, seburuk apa pun kondisi klien, mereka masih memiliki setitik celah bahwa mereka masih ingin berubah dan itulah yang harus dimaksimalkan melalui kehadiran orang terdekat. *rat
1
Komentar