'Dolfin Itu Bahasa Bali, Ha-ha-ha…'
Supartati, warga Bantul, Jogjakarta, sejak lama heran, mengapa Bali selalu punya daya tarik baru yang menjadi pemikat wisatawan. Tidak cuma kreasi warganya menarik, penghuni alamnya juga.
Tati penasaran, mengapa ribuan lumba-lumba saban hari senang hadir di Lovina, kok tidak Parangtritis. Dia memutuskan mencari jawaban langsung ke Pantai Lovina, bersama dua temannya laki-laki, Ruhiyat dari Tasikmalaya, dan Margono dari Solo. Ketika jalan-jalan di pantai, berteduh di bawah pohon waru dekat patung lumba-lumba yang mendongak ke langit, mereka bertemu Kadek Molo. Dia mengaku sering mengantar wisatawan memburu lumba-lumba.
“Kalau sudah di Lovina, rugi besar tidak menonton atraksi alam dolfin. Saya siap mengantar bapak dan ibu, mumpung hari-hari ini cuaca cerah. Kita berangkat pagi,” bujuk Molo.
“Dolfin? Bukannya lumba-lumba?” tanya Tati.
“Kalau lumba-lumba itu artinya ikan yang berenang berlomba-lomba, Bu, ha-ha-ha,” ujar Molo.
“Terus, lumba-lumba bahasa Balinya apa dong pak?”
“Dolfin itu bahasa Bali, Bu. Ha-ha-ha…”
“Kok bisa dolfin itu bahasa Bali?”
“Dari sononya sudah bahasa Bali, Bu. Mula keto. Dolfin memang ikan asbali.”
“Asbali?”
“Asli Bali, Bu. Ha-ha-ha… Kawitan dolfin memang di Pantai Lovina sini.”
Ketika menelusuri pantai berombak tenang itu, Margono yang sedang menulis tesis perjalanan para maha rsi dari Jawa ke Bali abad ke-8, tidak menyaksikan ada tempat khusus untuk memuja batara dolfin di Lovina.
“Kami punya pura segara, memuja dewa laut, milik nelayan ikan dan nelayan dolfin,” jelas Molo.
“Tidak seperti di Bali Selatan ya, ada pura dan upacara khusus buat berkah alam yang mendatangkan rezeki.”
“Bali Utara beda, Pak. Di sini kami sederhana, tidak seribet Bali Selatan melakoni upacara.” Kali ini Molo serius, pandangannya jauh ke cakrawala nun di Utara sana.
Mereka sepakat diantar Molo memburu dolfin, bersua kelompok lumba-lumba yang meloncat-loncat riang di tengah laut. Menurut Molo, satu kelompok 50-60 ekor. Itu atraksi alami, tidak ada pawangnya. Beberapa ekor terbang berputar, pamer gaya di depan wisatawan dalam belasan perahu. Para penikmat atraksi mamalia laut itu pun berseru lantang huuuuu….. dan riuh bertepuk tangan. Sambil menunggu dolfin-dolfin lain yang sering tiba-tiba muncul di sisi kanan-kiri perahu, Molo menyeduh kopi, menyuguhkan pisang goreng buat penumpangnya. “Ini servis khusus buat bapak-ibu,” ujar Molo. Ternyata lelaki 47 tahun ini pemasar yang piawai.
Angin kian kencang, awan berarak, laut semakin membiru gelap, dolfin bergerak tancap gas ke Barat, menyalip perahu-perahu. Selepas pukul 9, perahu Molo merapat di Pantai Lovina yang berpasir hitam.
“Semoga bapak ibu senang,” ujar Molo membungkuk, menerima empat ratus ribu rupiah dari tangan Tati. “Bikin review di medsos ya Bu. Sampaikan dolfin itu bahasa Bali, dan kopi hangat plus pisang goreng Kadek Molo uenakkk tenan…. Ha-ha-ha.“
Di penginapan (biar irit mereka menyewa satu kamar bertiga dengan extra bed), Ruhiyat yang senang mencermati asal-usul kata menjelaskan, dolfin itu berasal dari bahasa Yunani ‘delphis’, artinya ikan yang mengandung. “Dalam bahasa Inggris ‘dolphin’ itu kata serapan. Bentuk baku bahasa Indonesianya ‘dolfin’, bukan ‘dolpin’.”
“Oooo gitu ya? Gak percaya aku,” seru Tati dan Margono nyaris serentak.
“Kalau gak percaya, tanya saja Google dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.” *
Aryantha Soethama
1
Komentar