Tingkat Hunian Hotel di Bali Kurang dari 50%
Genjot okupansi, industri pariwisata perlu kerja lebih keras lagi.
DENPASAR,NusaBali
Semua pihak terkait harus kerja lebih keras meningkatkan kinerja kepariwisataan Bali. Hal itu mengingat tingkat penghunian kamar (TPK) hotel di Bali terbilang masih kurang, yakni dibawah 50 persen. Hal tersebut berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus lalu yang menunjukkan okupansi hotel berbintang 38,37 persen, hotel non bintang 22,87 persen.
Tingkat penghunian tersebut sudah mengalami peningkatan dari okupansi pada bulan Juli. Okupansi hotel berbintang naik 0,85 point dan hotel non bintang okupansinya naik 1,94 poin.
Praktisi pariwisata Bali I Nyoman Astama mengiyakan dengan tingkat hunian dibawah 50 persen, industri hotel di Bali masih belum pulih.
“Setidaknya pada bulan tersebut,”ujarnya Selasa (4/10). Berdasarkan pengalaman, untuk memperoleh pendapatan agar bisa ‘menghidupi’ karyawan plus biaya operasional, okupansi minimal antara 45-50 persen. Sehingga ada pendapatan untuk biaya operasional, upah karyawan, biaya pemeliharaan dan lainnya.
Apalagi sebagian besar hotel di Bali masih proses mengawali beroperasi setelah sebelumnya selama 2 tahun jeda operasi akibat pandemi.
“Itu memerlukan dana lumayan untuk memulai buka kembali. Perlu capital cost tidak sedikit untuk mengawali lagi,” terang Astama, yang juga pengurus Gabungan Industri Pariwisata Bali (GIPI).
Dikatakan ada sejumlah fasilitas yang memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit. Diantaranya untuk energi yakni listrik, air dan AC. Tentu juga biaya untuk menggaji tenaga kerja atau karyawan sampai dengan biaya- biaya pemeliharaan fasilitas lainnya.
“Kalau bisa 50 persen barulah ada nanti gross operating profit atau keuntungan kotor,” jelas Astama yang juga Penasehat Asosiasi Hospitality Leaders Indonesia (AHLI).
Kata Astama di beberapa tempat atau kawasan hotel di Bali tingkat hunian sudah ada lebih dari 50 persen, seperti Nusa Dua, Canggu, Kuta maupun Sanur. Namun data dari BPS tersebut diyakini tingkat hunian tersebut secara regional untuk seluruh Bali.
“Karena memang kita harus kerja lebih keras lagi, koordinasi dan bersinergi antara stakeholder agar okupansi meningkat, minimal 50 persen,” ucap Astama.
Dikatakan tentu tidak mudah. Apalagi mengingat perkembangan global, baik karena akibat perang dan kondisi perekonomian dunia secara umum. Masih ditambah lagi dengan harga tiket pesawat yang tinggi akibat kenaikkan harga BBM khususnya bahan bakar pesawat yakni avtur.
Namun tak ada jalan lain selain bagaimana mendatangkan semakin banyak wisatawan yang ke Bali.
Untuk pasar dalam negeri, menggalakkan traveling domestik sangat perlu. Tidak saja secara regional seperti antar pulau, tetapi di lokal yakni di Bali sendiri minat berwisata mesti diterus digalang.
“Contohnya kegiatan-kegiatan tirta yatra atau acara yang lain.” Wisatawan dalam negeri secara musiman, harus nyambung. Sedang untuk pasar manca negara, menggelar kegiatan atau event-event berskala internasional dengan jadwal yang sudah pasti, jadi salah satu solusi.
Contohnya sebagaimana event Pesta Kesenian Bali (PKB) yang sudah jelas agendanya pada Juni-Juli setiap tahun. Dengan jadwal yang sudah jelas, itu bisa diinformasikan maupun dipromosikan ke manca negara. Diharap dengan upaya promosi ke manca negara wisman secara berkesinambungan datang ke Bali.
Ini kata Astama, untuk menutupi berkurangnya kunjungan wisatawan domestik, yang puncak keramaiannya bersifat musiman. “Contohnya liburan sekolah dan liburan akhir tahun,” ujar Astama.
Dengan promosi event tersebut diharapkan bisa berdampak pada kesinambungan kunjungan wisman. Hal itu berkaitan musim liburan yang berbeda-beda di luar negeri.
“Kan musim liburan di luar beda- beda. Jadi dengan tetap ada event terjadwal pasti sepanjang tahun di Bali, wisman bisa tertarik datang ke Pulau Dewata,” pungkas Astama. *K17
Tingkat penghunian tersebut sudah mengalami peningkatan dari okupansi pada bulan Juli. Okupansi hotel berbintang naik 0,85 point dan hotel non bintang okupansinya naik 1,94 poin.
Praktisi pariwisata Bali I Nyoman Astama mengiyakan dengan tingkat hunian dibawah 50 persen, industri hotel di Bali masih belum pulih.
“Setidaknya pada bulan tersebut,”ujarnya Selasa (4/10). Berdasarkan pengalaman, untuk memperoleh pendapatan agar bisa ‘menghidupi’ karyawan plus biaya operasional, okupansi minimal antara 45-50 persen. Sehingga ada pendapatan untuk biaya operasional, upah karyawan, biaya pemeliharaan dan lainnya.
Apalagi sebagian besar hotel di Bali masih proses mengawali beroperasi setelah sebelumnya selama 2 tahun jeda operasi akibat pandemi.
“Itu memerlukan dana lumayan untuk memulai buka kembali. Perlu capital cost tidak sedikit untuk mengawali lagi,” terang Astama, yang juga pengurus Gabungan Industri Pariwisata Bali (GIPI).
Dikatakan ada sejumlah fasilitas yang memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit. Diantaranya untuk energi yakni listrik, air dan AC. Tentu juga biaya untuk menggaji tenaga kerja atau karyawan sampai dengan biaya- biaya pemeliharaan fasilitas lainnya.
“Kalau bisa 50 persen barulah ada nanti gross operating profit atau keuntungan kotor,” jelas Astama yang juga Penasehat Asosiasi Hospitality Leaders Indonesia (AHLI).
Kata Astama di beberapa tempat atau kawasan hotel di Bali tingkat hunian sudah ada lebih dari 50 persen, seperti Nusa Dua, Canggu, Kuta maupun Sanur. Namun data dari BPS tersebut diyakini tingkat hunian tersebut secara regional untuk seluruh Bali.
“Karena memang kita harus kerja lebih keras lagi, koordinasi dan bersinergi antara stakeholder agar okupansi meningkat, minimal 50 persen,” ucap Astama.
Dikatakan tentu tidak mudah. Apalagi mengingat perkembangan global, baik karena akibat perang dan kondisi perekonomian dunia secara umum. Masih ditambah lagi dengan harga tiket pesawat yang tinggi akibat kenaikkan harga BBM khususnya bahan bakar pesawat yakni avtur.
Namun tak ada jalan lain selain bagaimana mendatangkan semakin banyak wisatawan yang ke Bali.
Untuk pasar dalam negeri, menggalakkan traveling domestik sangat perlu. Tidak saja secara regional seperti antar pulau, tetapi di lokal yakni di Bali sendiri minat berwisata mesti diterus digalang.
“Contohnya kegiatan-kegiatan tirta yatra atau acara yang lain.” Wisatawan dalam negeri secara musiman, harus nyambung. Sedang untuk pasar manca negara, menggelar kegiatan atau event-event berskala internasional dengan jadwal yang sudah pasti, jadi salah satu solusi.
Contohnya sebagaimana event Pesta Kesenian Bali (PKB) yang sudah jelas agendanya pada Juni-Juli setiap tahun. Dengan jadwal yang sudah jelas, itu bisa diinformasikan maupun dipromosikan ke manca negara. Diharap dengan upaya promosi ke manca negara wisman secara berkesinambungan datang ke Bali.
Ini kata Astama, untuk menutupi berkurangnya kunjungan wisatawan domestik, yang puncak keramaiannya bersifat musiman. “Contohnya liburan sekolah dan liburan akhir tahun,” ujar Astama.
Dengan promosi event tersebut diharapkan bisa berdampak pada kesinambungan kunjungan wisman. Hal itu berkaitan musim liburan yang berbeda-beda di luar negeri.
“Kan musim liburan di luar beda- beda. Jadi dengan tetap ada event terjadwal pasti sepanjang tahun di Bali, wisman bisa tertarik datang ke Pulau Dewata,” pungkas Astama. *K17
Komentar