Sering Leteh Karena Ulah Wisatawan Nakal, Ini Sebenarnya Makna Palinggih
MANGUPURA, NusaBali.com – Pelecehan terhadap salah satu simbol suci agama Hindu yakni palinggih dengan cara mendudukinya dan tular baru-baru ini di Instagram bukan pertama kali terjadi. Palinggih memang ‘tempat duduk,’ hanya saja tidak seperti yang dipikirkan.
Terlepas dari kesengajaan maupun ketidaktahuan, perbuatan para turis tersebut telah membuat leteh (mengotori) ‘tempat duduk’ yang disucikan umat Hindu Dharma ini. Sebenarnya, ‘tempat duduk’ yang dimaksud adalah linggih atau lingga yang merupakan objek untuk menstanakan kekuatan suci Ida Sang Hyang Widhi.
Palinggih ini merupakan buatan manusia sebagai saluran untuk memuja Hyang Widhi yang didasarkan pada sastra seperti lontar Jajar Kemiri, Dewatattwa, dan Siwatattwa. Ini dilakukan lantaran manusia biasa belum pada level di mana bisa berkomunikasi dengan alam kedewataan layaknya penekun Raja Marga seperti yogin, wanaprastin, dan sanyasin.
Sehingga ketika umat Hindu Dharma sembahyang menghadap palinggih, sebenarnya yang dipuja buka palinggih tetapi kekuatan Hyang Widhi yang malinggih-malingga di palinggih tersebut.
Menurut Ketua Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Badung, Dr Drs I Gede Rudia Adiputra MAg, palinggih ini menjadi saluran kekuatan suci maupun waranugraha Hyang Widhi kepada ciptaannya.
“Seperti waktu kita menghormat ke Bendera Merah Putih. Kan bukan benderanya yang kita hormati melainkan kesepakatan di balik kain berwarna merah dan putih itu yang kita bela adalah Bangsa Indonesia,” jelas Rudia Adiputra.
Palinggih ini menjadi leteh atau terkotori apabila bukan kekuatan suci Hyang Widhi yang malingga di palinggih, dalam kasus ini diduduki oleh manusia. Rudia Adiputra mengumpamakan palinggih layaknya kursi pimpinan, di mana tidak sembarang orang dapat menduduki. Kursi pimpinan tersebut hanya dapat diduduki oleh orang yang sudah di-SK-an atau dilantik menjadi pimpinan.
“Sama seperti palinggih, SK-nya itu ketika mendem padagingan dan pamlaspasan. Hanya kekuatan suci Hyang Widhi yang distanakan pada waktu upacara inilah yang berhak (malingga di palinggih),” tegas penyandang Doktor Kajian Budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini ketika dihubungi, Rabu (5/10/2022).
Rudia Adiputra sendiri tidak mengetahui pasti mengapa leluhur umat Hindu Dharma menyebut bangunan stana kekuatan suci Hyang Widhi itu sebagai palinggih. Ia menjelaskan bahwa manusia sebenarnya tidak tahu bagaimana wujud prabawa Hyang Widhi berposisi di palinggih, akhirnya manusia ‘memanusiakan’ atau memersonifikasikan kekuatan suci itu dalam bentuk kebiasaan manusia yakni duduk.
Mantan Wakil Rektor II Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar atau kini bernama Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa ini menjelaskan palinggih sebenarnya sudah ada sejak era Raja Bali Sri Kesari Warmadewa. Namun, pada era tersebut bentuknya sangat sederhana tidak berornamen seperti saat ini melainkan hanya berundak-undak.
“Abad ke-9 Dinasti Warmadewa itu sebenarnya sudah ada palinggih, cuma mungkin bahannya sangat sederhana. Palinggih sudah ada jauh sebelum Mpu Kuturan datang ke Bali. Hanya saja kita tidak punya dokumen, seperti apa sih bentuk palinggih zaman dulu,” terang Rudia Adiputra.
Sementara itu, kejadian yang telah berulang-ulang seperti kasus menduduki palinggih ini seharusnya menjadi peringatan bagi umat Hindu Dharma bahwa wujud bakti itu tidak seharusnya hanya ditunjukkan setiap 210 hari sekali ketika piodalan. Perlu ada rasa bakti yang kontinu untuk menjaga kesucian palinggih dari perilaku leteh baik yang disengaja maupun tidak disengaja. *rat
Komentar