Tradisi Maboros Kidang di Desa Adat Busungbiu, Desa/Kecamatan Busungbiu, Buleleng
Menjadi Sarana Upakara Wajib Saat Pujawali di Pura Puseh
Dalam perburuan tidak selalu berhasil mendapatkan kijang, seperti pada tahun 2019, krama tidak menemukan seekor kijang pun, sehingga diputuskan membeli kijang di penangkaran.
SINGARAJA, NusaBali
Ribuan krama lanang di Desa Adat Busungbiu, Desa/Kecamatan Busungbiu, Buleleng turun langsung untuk menjalankan tradisi maboros kidang (tradisi berburu kijang). Tradisi ini dilakukan turun temurun yang akan digunakan sebagai sarana upakara saat Ngusaba Nini dan Pujawali di Kahyangan Tiga Desa Adat Busungbiu. Upacara tersebut dilaksanakan setiap Purnama Kapat yang tahun ini jatuh pada, Senin (10/10) hari ini.
Perbekel Busungbiu, Ketut Suartama, Sabtu (8/10) menjelaskan, seluruh rangkaian upacara pujawali sudah dimulai sejak, Kamis (6/10). Tradisi unik di Desa Adat Busungbiu, dilaksanakan dua tahun sekali pada piodalan alit dan 3 tahun sekali saat piodalan agung.
Tradisi ini dimulai dengan upacara ngajit yang berlangsung di Pura Puseh Desa. Tegak lingsir 66, satu demi satu menuju bale lantang saat dipanggil prajuru. Pelaksanaan upacara ini tepat dilakukan saat pergantian hari, Kamis (6/10) ke Jumat (7/10) pada pukul 00.00 Wita. Tegak lingsir dan krama akan melaksanakan upacara persembahyangan bersama memohon petunjuk kepada Ida Bhatara untuk memburu kijang.
Dalam upacara ngajit ini akan didapati petunjuk ke mana arah perburuan dan bekal apa yang harus dibawa. “Tradisi meboros kijang ini memang sudah dilaksanakan secara turun-temurun. Kalau pujawali alit krama desa hanya mencari 1 ekor I Bulu Pangi (nama sebutan kijang). tetapi kalau saat piodalan agung mencari 2 ekor. Sehingga setiap 5 tahun sekali kami melaksanakan dua kali pujawali dan Ngusaba Nini ini,” kata Suartama.
Setelah mendapatkan petunjuk, seluruh krama akan turun ke hutan. Perburuan kidang ini diberikan waktu selama tiga hari menjelang puncak hari piodalan. Seluruh krama Desa Adat Busungbiu pun sudah turun berburu sejak, Jumat (9/10). Krama desa wajib ikut berburu, tidak terkecuali krama desa yang merantau di luar daerah.
Seluruh krama pun wajib membawa senjata tajam, ada yang membawa parang, sabit, bahkan pedang. Krama juga memakai aksesoris pelepah pisang di kepala atau topi anyaman bambu, sebelum masuk hutan Pangkung Biu di wilayah Desa Pucaksari, Kecamatan Busungbiu. Namun perburuan di hari pertama, Jumat (7/10) lalu tidak membuahkan hasil. Krama tidak dapat menemukan I Bulu Pangi sebab dalam perburuan terhalang hujan deras. Seekor kijang baru berhasil ditangkap pada, Sabtu (8/10) pada pukul 08.30 Wita, setelah memasuki hutan mulai pukul 05.00 Wita.
Kijang hasil buruan selanjutnya diarak dari hutan ke Pura Puseh Desa oleh krama. Selanjutnya akan diolah dan dipanggang menjadi bukak sebagai persembahan saat puncak pujawali. “Setiap pujawali wajib menggunakan sarana kijang, dipersembahkan dulu, setelah selesai pujawali baru dipakai paci-paci (lawar) dan ditunas seluruh krama,” imbuh dia.
Suartama mengatakan dalam perburuan tidak selalu berhasil mendapatkan kijang. Seperti pada tahun 2019, krama tidak berhasil menemukan seekor kijang pun selama 3 hari perburuan. Akhirnya krama pun memutuskan untuk membeli kijang di penangkaran. “Karena wajib pakai kijang sebagai sarana upakara, kalau tidak dapat antisipasi membeli di penangkaran, biasanya di Desa Pujungan atau di Desa/Kecamatan Gerokgak,” imbuh Perbekel Suartama. *k23
Perbekel Busungbiu, Ketut Suartama, Sabtu (8/10) menjelaskan, seluruh rangkaian upacara pujawali sudah dimulai sejak, Kamis (6/10). Tradisi unik di Desa Adat Busungbiu, dilaksanakan dua tahun sekali pada piodalan alit dan 3 tahun sekali saat piodalan agung.
Tradisi ini dimulai dengan upacara ngajit yang berlangsung di Pura Puseh Desa. Tegak lingsir 66, satu demi satu menuju bale lantang saat dipanggil prajuru. Pelaksanaan upacara ini tepat dilakukan saat pergantian hari, Kamis (6/10) ke Jumat (7/10) pada pukul 00.00 Wita. Tegak lingsir dan krama akan melaksanakan upacara persembahyangan bersama memohon petunjuk kepada Ida Bhatara untuk memburu kijang.
Dalam upacara ngajit ini akan didapati petunjuk ke mana arah perburuan dan bekal apa yang harus dibawa. “Tradisi meboros kijang ini memang sudah dilaksanakan secara turun-temurun. Kalau pujawali alit krama desa hanya mencari 1 ekor I Bulu Pangi (nama sebutan kijang). tetapi kalau saat piodalan agung mencari 2 ekor. Sehingga setiap 5 tahun sekali kami melaksanakan dua kali pujawali dan Ngusaba Nini ini,” kata Suartama.
Setelah mendapatkan petunjuk, seluruh krama akan turun ke hutan. Perburuan kidang ini diberikan waktu selama tiga hari menjelang puncak hari piodalan. Seluruh krama Desa Adat Busungbiu pun sudah turun berburu sejak, Jumat (9/10). Krama desa wajib ikut berburu, tidak terkecuali krama desa yang merantau di luar daerah.
Seluruh krama pun wajib membawa senjata tajam, ada yang membawa parang, sabit, bahkan pedang. Krama juga memakai aksesoris pelepah pisang di kepala atau topi anyaman bambu, sebelum masuk hutan Pangkung Biu di wilayah Desa Pucaksari, Kecamatan Busungbiu. Namun perburuan di hari pertama, Jumat (7/10) lalu tidak membuahkan hasil. Krama tidak dapat menemukan I Bulu Pangi sebab dalam perburuan terhalang hujan deras. Seekor kijang baru berhasil ditangkap pada, Sabtu (8/10) pada pukul 08.30 Wita, setelah memasuki hutan mulai pukul 05.00 Wita.
Kijang hasil buruan selanjutnya diarak dari hutan ke Pura Puseh Desa oleh krama. Selanjutnya akan diolah dan dipanggang menjadi bukak sebagai persembahan saat puncak pujawali. “Setiap pujawali wajib menggunakan sarana kijang, dipersembahkan dulu, setelah selesai pujawali baru dipakai paci-paci (lawar) dan ditunas seluruh krama,” imbuh dia.
Suartama mengatakan dalam perburuan tidak selalu berhasil mendapatkan kijang. Seperti pada tahun 2019, krama tidak berhasil menemukan seekor kijang pun selama 3 hari perburuan. Akhirnya krama pun memutuskan untuk membeli kijang di penangkaran. “Karena wajib pakai kijang sebagai sarana upakara, kalau tidak dapat antisipasi membeli di penangkaran, biasanya di Desa Pujungan atau di Desa/Kecamatan Gerokgak,” imbuh Perbekel Suartama. *k23
Komentar