Grup Tari Bali Mexico Kerap Pentas di KBRI, Latihan Sepekan Dua Kali
Graciela Lopez Herrera, alumni penerima beasiswa Dharmasiswa, mengakui tari Bali itu susah, teknik susah, ekspresi susah. Meski begitu, dia tidak mau berhenti menari Bali.
Geliat Sanggar Tari Bali di Meksiko
MEKSIKO, NusaBali
Antusias warga negara asing (WNA) belajar tari Bali cukup tinggi. Salah satu buktinya, banyak mahasiswa manca negara yang belajar tari Bali di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan sanggar tari lainnya di Bali. Seorang di antaranya adalah Graciela Lopez Herrera, lulusan ISI Denpasar ini kemudian mendirikan sanggar Grupo Tari Bali Mexico di negaranya pada tahun 2001.
Graciela Lopez Herrera belajar tari ke Bali pada tahun 1999. Dia menjadi salah seorang peserta Dharmasiswa, program beasiswa untuk WNA yang ingin mengenal lebih dalam budaya Indonesia. Program tersebut diluncurkan oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri.
Graciela yang lulus seleksi dikirim ke Bali dan sempat tinggal di Jalan Turi No 5 Denpasar. Sejak pertama kali melihat tari Bali hatinya langsung bergetar. “Saya suka dengan ekspresi penari tari Bali. Pertama kali melihat tari Bali saya sudah ada niat belajar dan ingin menarikannya,” ungkap Graciela, belum lama ini.
Ibu satu anak ini sempat mengenyam pendidikan tari Bali di ISI Denpasar selama 1 tahun. Ia mendalami tari Bali baik jenis tari klasik, tari upacara, tari untuk perempuan, untuk laki-laki, maupun tari bebancihan (antara tari perempuan dan tari laki-laki). Ia pun mampu menarikan tari Legong Kraton, Legong Kuntul, Legong Lasem, Legong Jobog, Panyembrahma, Sekar Jagat, Panji Semirang, Rejang, Puspanjali, Cendrawasih, Wiranata, Teruna Jaya, Baris, Topeng Dalem, dan Topeng Telek. Dia mampu menguasai tari itu dengan tekek (padat) dan selalu bermimik tepat tiap kali pentas, baik sledet (lirikan), ngelier (picingan mata), nelik (delikan), kenyem (senyuman) maupun sebeng (cemberut).
Meski sudah 17 tahun meninggalkan Bali, Graciela tak pernah berhenti menari. Ada 10 orang Meksiko lainnya yang selalu latihan di sanggar miliknya, Grupo Tari Bali Mexico. Latihan setiap hari Selasa dan Kamis mulai pagi pukul 09.30–11.30 dan pada sore hari pukul 17.00–19.00 waktu setempat. Latihan selalu diawali dengan pemanasan untuk persiapan menari. Kabanyakan dari anggota sanggar Grupo Tari Bali Mexico adalah orang-orang Meksiko yang sudah pernah mendapatkan beasiswa Dharmasiswa, belajar budaya dan bahasa di Indonesia. Tapi mereka tidak berhenti belajar walaupun beasiswanya telah berakhir.
“Ada juga beberapa orang yang karena punya hasrat untuk belajar tari Bali karena suka cita datang kemari (ke sanggarnya, Red),” ungkap Graciela.
Walaupun akan ada undangan pertunjukan menari ataupun tidak ada undangan, mereka tetap belajar dalam waktu tertentu dan itu dilakukan secara berkesinambungan (kontinyu). “Tari Bali itu susah, teknik susah, ekspresi susah. Saya tidak mau berhenti menari Bali dan harus selalu bisa karena saya cinta pada tari Bali, tidak bisa berhenti karena nanti bisa lupa,” ujarnya dengan Bahasa Indonesia yang sudah sangat fasih.
Salah seorang anggota sanggar, Selene Zepeda, 30, juga pernah mendapatkan beasiswa Dharmasiswa ke Bali tahun 2014. Ia mengaku pernah belajar tari Bali di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar. “Belajar tari dari Bapak I Made Jimat, rumahnya di Batuan dekat Pura Dalem,” ungkapnya dengan bahasa Indonesia beraksen Spanyol yang masih kental. Gadis berkulit cerah ini juga bisa menarikan tari Legong Kraton, Legong Kuntul, Wiranata, Margapati, Puspanjali, Panji Semirang, Cendrawasih, dan Panyembrahma.
Saat sekolah di ISI Denpasar mereka juga diajarkan tata cara make-up dan kostum tari Bali. Berbagai jenis kostum pun mereka bawa dari Indonesia. Graciela menyebutkan bahwa dia membeli kostum tari Bali di Batuan, Sukawati. “Saya beli dari Bapak Redha. Kualitasnya sangat bagus,” akunya. Jika pentas, musik yang mengiringi tarian masih dalam bentuk CD. Ada keinginan mereka memiliki gamelan, tetapi terkendala biaya import yang sangat mahal.
Dalam waktu berkala Grupo Tari Bali Mexico sering mendapat undangan menari di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Meksiko atau kegiatan yang diadakan oleh berbagai komunitas Indonesia lainnya di Meksiko. Tidak hanya itu, mereka sudah biasa mewakili berbagai acara-acara yang bertema budaya yang berkala internasional baik di dalam maupun di luar Mexico City —ibukota Meksiko— sebagai perwakilan Indonesia dan Bali pada khususnya. Bagi mereka adalah sangat penting berperan dalam mempromosikan budaya Bali dan Indonesia pada khalayak internasional.
Rasa kangen terhadap Bali masih dimiliki oleh para alumni penerima beasiswa Dharmasiswa ini, mereka berharap suatu hari bisa berkunjung lagi ke Bali. * k21
MEKSIKO, NusaBali
Antusias warga negara asing (WNA) belajar tari Bali cukup tinggi. Salah satu buktinya, banyak mahasiswa manca negara yang belajar tari Bali di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan sanggar tari lainnya di Bali. Seorang di antaranya adalah Graciela Lopez Herrera, lulusan ISI Denpasar ini kemudian mendirikan sanggar Grupo Tari Bali Mexico di negaranya pada tahun 2001.
Graciela Lopez Herrera belajar tari ke Bali pada tahun 1999. Dia menjadi salah seorang peserta Dharmasiswa, program beasiswa untuk WNA yang ingin mengenal lebih dalam budaya Indonesia. Program tersebut diluncurkan oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri.
Graciela yang lulus seleksi dikirim ke Bali dan sempat tinggal di Jalan Turi No 5 Denpasar. Sejak pertama kali melihat tari Bali hatinya langsung bergetar. “Saya suka dengan ekspresi penari tari Bali. Pertama kali melihat tari Bali saya sudah ada niat belajar dan ingin menarikannya,” ungkap Graciela, belum lama ini.
Ibu satu anak ini sempat mengenyam pendidikan tari Bali di ISI Denpasar selama 1 tahun. Ia mendalami tari Bali baik jenis tari klasik, tari upacara, tari untuk perempuan, untuk laki-laki, maupun tari bebancihan (antara tari perempuan dan tari laki-laki). Ia pun mampu menarikan tari Legong Kraton, Legong Kuntul, Legong Lasem, Legong Jobog, Panyembrahma, Sekar Jagat, Panji Semirang, Rejang, Puspanjali, Cendrawasih, Wiranata, Teruna Jaya, Baris, Topeng Dalem, dan Topeng Telek. Dia mampu menguasai tari itu dengan tekek (padat) dan selalu bermimik tepat tiap kali pentas, baik sledet (lirikan), ngelier (picingan mata), nelik (delikan), kenyem (senyuman) maupun sebeng (cemberut).
Meski sudah 17 tahun meninggalkan Bali, Graciela tak pernah berhenti menari. Ada 10 orang Meksiko lainnya yang selalu latihan di sanggar miliknya, Grupo Tari Bali Mexico. Latihan setiap hari Selasa dan Kamis mulai pagi pukul 09.30–11.30 dan pada sore hari pukul 17.00–19.00 waktu setempat. Latihan selalu diawali dengan pemanasan untuk persiapan menari. Kabanyakan dari anggota sanggar Grupo Tari Bali Mexico adalah orang-orang Meksiko yang sudah pernah mendapatkan beasiswa Dharmasiswa, belajar budaya dan bahasa di Indonesia. Tapi mereka tidak berhenti belajar walaupun beasiswanya telah berakhir.
“Ada juga beberapa orang yang karena punya hasrat untuk belajar tari Bali karena suka cita datang kemari (ke sanggarnya, Red),” ungkap Graciela.
Walaupun akan ada undangan pertunjukan menari ataupun tidak ada undangan, mereka tetap belajar dalam waktu tertentu dan itu dilakukan secara berkesinambungan (kontinyu). “Tari Bali itu susah, teknik susah, ekspresi susah. Saya tidak mau berhenti menari Bali dan harus selalu bisa karena saya cinta pada tari Bali, tidak bisa berhenti karena nanti bisa lupa,” ujarnya dengan Bahasa Indonesia yang sudah sangat fasih.
Salah seorang anggota sanggar, Selene Zepeda, 30, juga pernah mendapatkan beasiswa Dharmasiswa ke Bali tahun 2014. Ia mengaku pernah belajar tari Bali di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar. “Belajar tari dari Bapak I Made Jimat, rumahnya di Batuan dekat Pura Dalem,” ungkapnya dengan bahasa Indonesia beraksen Spanyol yang masih kental. Gadis berkulit cerah ini juga bisa menarikan tari Legong Kraton, Legong Kuntul, Wiranata, Margapati, Puspanjali, Panji Semirang, Cendrawasih, dan Panyembrahma.
Saat sekolah di ISI Denpasar mereka juga diajarkan tata cara make-up dan kostum tari Bali. Berbagai jenis kostum pun mereka bawa dari Indonesia. Graciela menyebutkan bahwa dia membeli kostum tari Bali di Batuan, Sukawati. “Saya beli dari Bapak Redha. Kualitasnya sangat bagus,” akunya. Jika pentas, musik yang mengiringi tarian masih dalam bentuk CD. Ada keinginan mereka memiliki gamelan, tetapi terkendala biaya import yang sangat mahal.
Dalam waktu berkala Grupo Tari Bali Mexico sering mendapat undangan menari di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Meksiko atau kegiatan yang diadakan oleh berbagai komunitas Indonesia lainnya di Meksiko. Tidak hanya itu, mereka sudah biasa mewakili berbagai acara-acara yang bertema budaya yang berkala internasional baik di dalam maupun di luar Mexico City —ibukota Meksiko— sebagai perwakilan Indonesia dan Bali pada khususnya. Bagi mereka adalah sangat penting berperan dalam mempromosikan budaya Bali dan Indonesia pada khalayak internasional.
Rasa kangen terhadap Bali masih dimiliki oleh para alumni penerima beasiswa Dharmasiswa ini, mereka berharap suatu hari bisa berkunjung lagi ke Bali. * k21
1
Komentar