Apakah Orang Bali Sudi Jadi Petani?
Dalam sebuah acara bedah buku tentang Bali di Bentara Budaya Bali, awal April lalu, bermacam pandangan muncul.
Aryantha Soethama
Pengarang
Terbit salah satu pandangan menarik dari hadirin yang menyatakan, Bali harus mewaspadai alih-fungsi lahan yang terjadi begitu kencang, saban hari, seperti tak kunjung berhenti. Si pemberi pandangan mengutarakan, jika alih-fungsi lahan tak terbendung, maka kekhawatiran tak akan ada Bali bukan sesuatu yang mustahil. Ia berpendapat Bali harus bersungguh-sungguh membangun pertanian.
Karena malam itu peran pertanian dalam perkembangan dan perubahan Bali bukan isu utama, pendapat orang itu tentang tanah Bali yang kian banyak ditanami beton, tidak mendapat respons dari hadirin. Lagian pula, seminar tentang alih-fungsi lahan sudah sering dilontarkan, tak ada pula kelanjutannya. Tetap saja alih fungsi lahan melaju.
Tapi, usai bedah buku malam itu, diskusi hutan beton ternyata berlanjut. Seorang lelaki (Lelaki Satu) menghampiri si pelontar pendapat (Lelaki Dua) di halaman Bentara Budaya.
Lelaki Satu : Pendapat Bapak tadi tentang alih-fungsi lahan menarik, semestinya harus terus menerus dibahas.
Lelaki Dua : Sudah sering dipersoalkan, tetapi tetap tak ada kelanjutannya.
Lelaki Satu : Kalau akhirnya tidak digubris, mengapa Bapak mengungkapnya lagi tadi, bukankah sia-sia saja.
Lelaki Dua : Sudah saya katakan, harus terus menerus digelorakan agar orang-orang ngeh.
Lelaki Satu : Saya setuju, jika alih-fungsi dilarang, pembangunan hotel dihentikan, lahan pertanian tersedia cukup luas, yakinkah Bapak orang Bali sudi bertani?
Lelaki Dua terdiam, ia mengerenyitkan alis. Kaget juga ia didesak pertanyaan oleh Lelaki Satu.
Lelaki Satu : Bapak yakin anak muda Bali sudi bertani? Yakinkah Bapak anak muda Bali sudi mengurus subak? Maukah mereka berkubang lumpur menanam padi? Mereka itu biasa nongkrong di kafe-kafe kopi lho Pak. Pada siapa kita pantas berharap di zaman ini lahan pertanian diurus?
Lelaki Dua : Saya yakin masih ada anak muda yang sudi bergiat di bidang pertanian.
Lelaki Satu : Berapa jumlah mereka? Anak muda sekarang bersekolah untuk bisa pintar memainkan gadget, menjadi ahli informasi dan teknologi. Mereka ingin jadi karyawan perusahaan besar Pak, tak apa mereka cuma karyawan kecil. Jika berniat mandiri, mereka ingin membuat restoran, warung makan, atau bikin website buat jualan online. Mereka tak pernah bercita-cita menjadi orang yang memegang cangkul atau sabit.
Lelaki Dua : Ah, jangan pesimis begitu dong.
Lelaki Satu : Bukan persoalan pesimis Pak, nyatanya memang begitu. Jika kita sukses menahan alih-fungsi lahan, tanah-tanah itu juga akan menganggur.
Lelaki Dua : Kita bisa serahkan pada petani-petani yang ada untuk mengurusnya.
Lelaki Satu : Tapi mereka sudah tua-tua Pak. Sebentar lagi mereka diaben. Jangan berharap pada orang-orang tua macam mereka untuk menggerakkan pertanian. Mereka tidak produktif. Mereka cuma cocok untuk mengurus pura subak, tidak lahan pertanian.
Lelaki Dua tercenung. Ia ternganga, ternyata menjadikan Bali dengan dinamika pertanian sebagai ciri utama, tak segampang yang ia duga. Tidak semudah dengan mencegah alih-fungsi lahan.
Lelaki Dua : Kalau begitu apa yang harus kita lakukan agar subak tetap menjadi ciri Bali. Artinya, pertanian harus kita utamakan.
Lelaki Satu : Ah, subak itu cuma romantisme Pak. Subak itu hebat karena organisasi ini lembaga tua yang hebat mengurus irigasi sawah. Subak tak pernah menghasilkan bibit unggul. Persoalan kita sesungguhnya adalah bagaimana mengajak anak muda untuk berbondong-bondong menjadi petani. Jika anak muda ogah bertani, jangan harap Bali unggul dalam pertanian. Siapa yang sudi jadi petani, itu masalah kita. Dan memang harus ada yang sudi jadi petani, karena kita hidup makan tomat, tidak makan baut.
Lelaki Dua manggut-manggut. Halaman Bentara Budaya sudah lengang, bulan separo muncul di timur, mengecup pucuk-pucuk daun bambu. Dua lelaki itu bersalaman setelah bertukar nomor HP. Mereka berjanji bertemu lagi membahas tentang apakah orang Bali sudi jadi petani? *
Terbit salah satu pandangan menarik dari hadirin yang menyatakan, Bali harus mewaspadai alih-fungsi lahan yang terjadi begitu kencang, saban hari, seperti tak kunjung berhenti. Si pemberi pandangan mengutarakan, jika alih-fungsi lahan tak terbendung, maka kekhawatiran tak akan ada Bali bukan sesuatu yang mustahil. Ia berpendapat Bali harus bersungguh-sungguh membangun pertanian.
Karena malam itu peran pertanian dalam perkembangan dan perubahan Bali bukan isu utama, pendapat orang itu tentang tanah Bali yang kian banyak ditanami beton, tidak mendapat respons dari hadirin. Lagian pula, seminar tentang alih-fungsi lahan sudah sering dilontarkan, tak ada pula kelanjutannya. Tetap saja alih fungsi lahan melaju.
Tapi, usai bedah buku malam itu, diskusi hutan beton ternyata berlanjut. Seorang lelaki (Lelaki Satu) menghampiri si pelontar pendapat (Lelaki Dua) di halaman Bentara Budaya.
Lelaki Satu : Pendapat Bapak tadi tentang alih-fungsi lahan menarik, semestinya harus terus menerus dibahas.
Lelaki Dua : Sudah sering dipersoalkan, tetapi tetap tak ada kelanjutannya.
Lelaki Satu : Kalau akhirnya tidak digubris, mengapa Bapak mengungkapnya lagi tadi, bukankah sia-sia saja.
Lelaki Dua : Sudah saya katakan, harus terus menerus digelorakan agar orang-orang ngeh.
Lelaki Satu : Saya setuju, jika alih-fungsi dilarang, pembangunan hotel dihentikan, lahan pertanian tersedia cukup luas, yakinkah Bapak orang Bali sudi bertani?
Lelaki Dua terdiam, ia mengerenyitkan alis. Kaget juga ia didesak pertanyaan oleh Lelaki Satu.
Lelaki Satu : Bapak yakin anak muda Bali sudi bertani? Yakinkah Bapak anak muda Bali sudi mengurus subak? Maukah mereka berkubang lumpur menanam padi? Mereka itu biasa nongkrong di kafe-kafe kopi lho Pak. Pada siapa kita pantas berharap di zaman ini lahan pertanian diurus?
Lelaki Dua : Saya yakin masih ada anak muda yang sudi bergiat di bidang pertanian.
Lelaki Satu : Berapa jumlah mereka? Anak muda sekarang bersekolah untuk bisa pintar memainkan gadget, menjadi ahli informasi dan teknologi. Mereka ingin jadi karyawan perusahaan besar Pak, tak apa mereka cuma karyawan kecil. Jika berniat mandiri, mereka ingin membuat restoran, warung makan, atau bikin website buat jualan online. Mereka tak pernah bercita-cita menjadi orang yang memegang cangkul atau sabit.
Lelaki Dua : Ah, jangan pesimis begitu dong.
Lelaki Satu : Bukan persoalan pesimis Pak, nyatanya memang begitu. Jika kita sukses menahan alih-fungsi lahan, tanah-tanah itu juga akan menganggur.
Lelaki Dua : Kita bisa serahkan pada petani-petani yang ada untuk mengurusnya.
Lelaki Satu : Tapi mereka sudah tua-tua Pak. Sebentar lagi mereka diaben. Jangan berharap pada orang-orang tua macam mereka untuk menggerakkan pertanian. Mereka tidak produktif. Mereka cuma cocok untuk mengurus pura subak, tidak lahan pertanian.
Lelaki Dua tercenung. Ia ternganga, ternyata menjadikan Bali dengan dinamika pertanian sebagai ciri utama, tak segampang yang ia duga. Tidak semudah dengan mencegah alih-fungsi lahan.
Lelaki Dua : Kalau begitu apa yang harus kita lakukan agar subak tetap menjadi ciri Bali. Artinya, pertanian harus kita utamakan.
Lelaki Satu : Ah, subak itu cuma romantisme Pak. Subak itu hebat karena organisasi ini lembaga tua yang hebat mengurus irigasi sawah. Subak tak pernah menghasilkan bibit unggul. Persoalan kita sesungguhnya adalah bagaimana mengajak anak muda untuk berbondong-bondong menjadi petani. Jika anak muda ogah bertani, jangan harap Bali unggul dalam pertanian. Siapa yang sudi jadi petani, itu masalah kita. Dan memang harus ada yang sudi jadi petani, karena kita hidup makan tomat, tidak makan baut.
Lelaki Dua manggut-manggut. Halaman Bentara Budaya sudah lengang, bulan separo muncul di timur, mengecup pucuk-pucuk daun bambu. Dua lelaki itu bersalaman setelah bertukar nomor HP. Mereka berjanji bertemu lagi membahas tentang apakah orang Bali sudi jadi petani? *
Komentar