Bali Jangan Jadi Pariwisata Pasrah!
DENPASAR, NusaBali.com – Bali tidak boleh berpangku tangan dan mengeksploitasi industri pariwisata yang sedang berjalan. Perlu adanya diversifikasi atau penguatan sektor lain demi mendukung pariwisata Bali yang sudah berusia 102 tahun ini.
Bali harus belajar dari pandemi Covid-19 dan inflasi yang melewati rata-rata nasional, yakni 6,84 persen secara year-on-year (yoy) dan 5,45 persen secara year-to-date (ytd). Mendekati satu poin di atas rata-rata nasional yang setinggi 5,95 persen (yoy) dan 4,84 persen (ytd) pada September 2022 ini.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar, Prof Dr Drs AA Putu Agung MSi, sektor pariwisata di Bali dari segi keefisienan sudah tidak sesuai lagi. Hal ini disebabkan oleh besarnya pasak daripada tiang dari para pelaku pariwisata.
“Pariwisata di Bali sebenarnya sudah menunjukkan level ketidakefisienan karena pengeluaran pelaku pariwisata ini lebih besar daripada pemasukannya,” terang Prof Agung ketika ditemui belum lama ini di Gedung Rektorat Unmas Denpasar belum lama ini.
Walaupun demikian, Prof Agung tidak menampik bahwa pariwisata masih sangat diperlukan untuk menggerakkan perekonomian Bali. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah penguatan sektor-sektor lain di luar pariwisata.
“Khususnya di Badung, sektor pertanian mereka jauh lebih efisien daripada pariwisata. Secara umum di Bali, sektor industri kreatif perlu dikembangkan lebih jauh,” jelas mantan Direktur Program Pasca Sarjana Unmas Denpasar ini.
Pembelajaran dari pandemi dan tingkat inflasi Bali yang rekor seperti saat ini adalah buah dari Bali yang terlalu mengantungkan diri pada satu tali tanpa mengukuhkan tali lainnya. Seperti yang diketahui, salah satu konsep dasar terjadinya inflasi adalah kelangkaan ataupun ketidakmampuan supply memenuhi demand pasar.
Tingginya inflasi di Bali yang melewati angka nasional salah satunya disebabkan oleh supply yang mengandalkan pasokan barang/jasa dari Pulau Jawa. Ketika di luar Bali pun tengah dilanda inflasi, angka inflasi di Bali akan menjadi lebih tinggi lantaran nilai barang/jasa yang sudah mengalami inflasi masuk ke Pulau Bali.
Sebelumnya, titik beban Bali adalah pariwisata sehingga menjadi fokus utama. Sayangnya, barang/jasa pendukung masih didatangkan dari Pulau Jawa. Kondisi dan pola yang sempat menjadi zona nyaman ini membuat terlena. Membuat pemangku kebijakan mengesampingkan pentingnya berdikari dalam sektor pendukung maupun sektor lain di luar pariwisata.
“Kalau supply bisa diatur sendiri maka itu akan mengurangi dampak inflasi di Bali,” tegas Prof Agung.
Supply yang dapat diatur adalah ketika produksi supply tersebut berada di dalam jangkauan langsung pemerintah daerah di Bali. Ketika produksi supply ini berada di luar jangkauan, dalam hal ini diproduksi oleh daerah lain, begitu terjadi krisis maka mau tidak mau daerah tersebut akan memenuhi kebutuhan mereka terlebih dahulu.
Dalam kondisi seperti ini, yang paling dirugikan adalah daerah yang dependen terhadap produksi barang/jasa dari daerah lain. Begitu, barang/jasa supply-nya sudah di luar kendali suatu daerah maka ketika supply menurun sedangkan aktivitas masyarakat meningkat terjadilah inflasi yang lebih tinggi.
Dengan demikian, sangat penting untuk mengembangkan pariwisata yang mendukung perkembangan sektor lain. Misalkan pertanian yang dijadikan ekowisata, selain menjadi atraksi wisata, pertanian di dalamnya tetap harus berfungsi sebagai pertanian sejati yang berorientasi panen dan bernilai ekonomi, bukan sekadar objek untuk mencuci mata.
Selain itu, suatu atraksi wisata sudah semestinya terintegrasi dengan sektor lain, entah itu industri kreatif seperti kerajinan, maupun pengembangan sektor lainnya. Dan sektor-sektor tersebut pun tidak boleh mengandalkan pariwisata sebagai pasar, melainkan harus menjadi sektor sejati yang memanfaatkan keberadaan pariwisata sebagai media promosi. *rat
Komentar