Laklak Pengangon dari Erupsi Gunung Agung
DENPASAR, NusaBali
LALAK, merupakan salah satu jajan jenis kue basah tradisional Bali yang kondang. Bahannya adonan tepung kemudian dipanggang di atas jangka yang disebut penglaklakan.
Dengan kelapa parut dan siraman gula aren cair, jadilah penganan nyangluh (gurih), kenyal dan manis menggiurkan.
Jaje laklak ini salah satu kuliner tradisional andalan Desa Wisata Bakas, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung. Yang berbeda dari laklak di Desa Bakas dengan di tempat lain adalah sebutannya. Laklak Pengangon itulah sebutannya. Pengangon berarti petani pengembala.
Adalah I Wayan Malendra yang ‘mempatenkan' sebutan 'Laklak Pengangon' ini. "Itu bermula dari erupsi Gunung Agung tahun 2017, " cerita dia, Sabtu(15/10).
Pria kelahiran 14 Februari 1975 ini menuturkan, erupsi Gunung Agung tersebut sebagaimana diketahui berdampak terhadap pariwisata dan ekonomi Bali. "Jadi susah juga," ucap pramuwisata.
Sebagaimana pesan moral yang lumrah, semua ada hikmahnya. Erupsi giri toh langkir, sebutan lain Gunung Agung, memberi inspirasi kreatif. "Saya ambil hikmahnya untuk membuka usaha sambil bertani, " ujar suami dari I Gusti Ayu Parwati.
Jajan laklak dan kopi pilihannya untuk dijual. Awalnya untuk petani sekitar. Sebelum mulai terjun kerja, nikmati kopi dan laklak dulu. Itu ide awalnya. Karena awalnya untuk petani, itulah kopi dan laklak ditambahkan dengan kata pengangon. Lengkapnya Warung Kopi dan Laklak Pengangon, kemudian lumrah dengan Laklak Pengangon. "Juga karena saya anak petani yang sebelumnya menjual laklak di pasar desa, " ucap anak dari I Made Rineka, alm, dengan Ni Made Rudi.
Setelah erupsi Gunung Agung berakhir, pariwisata pulih kembali, warung kopi dan laklak pengangon dia tambahkan fungsinya sebagai educated tourism. Dalam arti, memperkenalkan kuliner tradisional Bali kepada wisatawan sekaligus menikmatinya. "Bagaimana memperkenalkan budaya pertanian tradisional, trekking, dan lainnya," ungkap Malendra. Diakui berkat support pelanggan dengan sharing di sosmed, warung kopi laklak pengangon semakin dikenal luas. Namun terjangan kembali terjadi menyusul pandemi Covid-19. "Sebagai pelaku pariwisata juga pelaku umkm kita mendapat cobaan lagi," ucap Malendra.
Sekali lagi cobaan berupa pandemi mengilhaminya untuk menggali potensi kopi. "Saya belajar barista dan wujudkan dengan membuka dalam satu area di warung kopi laklak pengangon yaitu barista kopi pengangon, " papar Malendra.
Selain laklak dan kopi dan menu tradisional lain, yang khas dari warung kopi dan laklak pengangon adalah kostum dagang maupun karyawan, yakni wajib pakai capil, sebagai simbol atau ciri petani. "Itu kekhasan lainnya," kata Malendra.
Tak hanya capil, Malendra memberi tambahan lain yakni buku-buku, sejarah, budaya dan lainnya. Jadi sambil menikmati laklak, merasakan hangatnya kopi, pengunjung bisa baca di tengah persawahan dengan semilir angin yang segar. *k17
Adalah I Wayan Malendra yang ‘mempatenkan' sebutan 'Laklak Pengangon' ini. "Itu bermula dari erupsi Gunung Agung tahun 2017, " cerita dia, Sabtu(15/10).
Pria kelahiran 14 Februari 1975 ini menuturkan, erupsi Gunung Agung tersebut sebagaimana diketahui berdampak terhadap pariwisata dan ekonomi Bali. "Jadi susah juga," ucap pramuwisata.
Sebagaimana pesan moral yang lumrah, semua ada hikmahnya. Erupsi giri toh langkir, sebutan lain Gunung Agung, memberi inspirasi kreatif. "Saya ambil hikmahnya untuk membuka usaha sambil bertani, " ujar suami dari I Gusti Ayu Parwati.
Jajan laklak dan kopi pilihannya untuk dijual. Awalnya untuk petani sekitar. Sebelum mulai terjun kerja, nikmati kopi dan laklak dulu. Itu ide awalnya. Karena awalnya untuk petani, itulah kopi dan laklak ditambahkan dengan kata pengangon. Lengkapnya Warung Kopi dan Laklak Pengangon, kemudian lumrah dengan Laklak Pengangon. "Juga karena saya anak petani yang sebelumnya menjual laklak di pasar desa, " ucap anak dari I Made Rineka, alm, dengan Ni Made Rudi.
Setelah erupsi Gunung Agung berakhir, pariwisata pulih kembali, warung kopi dan laklak pengangon dia tambahkan fungsinya sebagai educated tourism. Dalam arti, memperkenalkan kuliner tradisional Bali kepada wisatawan sekaligus menikmatinya. "Bagaimana memperkenalkan budaya pertanian tradisional, trekking, dan lainnya," ungkap Malendra. Diakui berkat support pelanggan dengan sharing di sosmed, warung kopi laklak pengangon semakin dikenal luas. Namun terjangan kembali terjadi menyusul pandemi Covid-19. "Sebagai pelaku pariwisata juga pelaku umkm kita mendapat cobaan lagi," ucap Malendra.
Sekali lagi cobaan berupa pandemi mengilhaminya untuk menggali potensi kopi. "Saya belajar barista dan wujudkan dengan membuka dalam satu area di warung kopi laklak pengangon yaitu barista kopi pengangon, " papar Malendra.
Selain laklak dan kopi dan menu tradisional lain, yang khas dari warung kopi dan laklak pengangon adalah kostum dagang maupun karyawan, yakni wajib pakai capil, sebagai simbol atau ciri petani. "Itu kekhasan lainnya," kata Malendra.
Tak hanya capil, Malendra memberi tambahan lain yakni buku-buku, sejarah, budaya dan lainnya. Jadi sambil menikmati laklak, merasakan hangatnya kopi, pengunjung bisa baca di tengah persawahan dengan semilir angin yang segar. *k17
1
Komentar