Disabilitas dan Lansia Ramaikan Festival Jatiluwih
TABANAN, NusaBali
Festival Jatiluwuh Cultur Week digelar manajemen DTW Jatiluwih, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel.
Festival ini menjadi magnet bagi kunjungan wisatawan. Festival digelar untuk membangkitkan gairah berwisata saat kunjungan sepi dampak Pandemi Covid-19. Menariknya festival yang digelar ini ikut melibatkan UKM dari kalangan disabilitas dan lansia. Bahkan mereka menjual potensi Desa Jatiluwih yakni beras merah dan kopi arabika. Beras merah dijadikan laklak yang digemari pengunjung dan kopi arabika adalah minuman suguhan bagi para pecinta kopi. Ada pula stand lansia yang menjual tipat plecing beras merah. Ketig stand ini pun banyak penggemar apalagi laklak beras merah sampai ludes.
Sekretaris Badan Pengelola DTW Jatiluwih Driana Rika Rona mengatakan penyandang disabilitas dan lansia dilibatkan untuk memberikan mereka ruang beraktifitas. Selain itu untuk memberikan mereka tampil menunjukkan bahwa lansia dan penyandang disabilitas masih bisa mandiri. "Kami berikan ruang untuk mereka beraktifitas, ternyata mereka bisa mandiri. Dan juga ingin memperkenalkan bahwa festival Jatiluwih ramah lansia dan disabilitas ujarnya, Minggu (16/10).
Apalagi kata Rika Rona, mereka juga terlibat memperkenalkan potensi Desa Jatiluwih dari sugi kuliner yakni beras merah dan kopi arabika. Mereka secara mandiri mengolah dengan alami kemudian di suguhkan kepada masyarakat bahkan wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih. "Apalagi untuk kopi arabika langganan wisatawan Jerman," katanya.
Harapnya, dengan mereka dilibatkan khususnya para disabilitas masyarakat tak memandang mereka sebelah mata. Artinya meskipun dalam bentuk fisik kurang beruntung mereka tetap berusaha menyambung hidup untuk menghidupi keluarganya. "Semua orang sama, jadi tidak ada yang sempurna," tegas Rika Rona notabane Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Dinas Sosial Tabanan ini. Menurutnya dari 30 UMKM yang dilibatkan khususnya di Kecamatan Penebel untuk lansia disediakan 2 stand, dan untuk disabilitas disediakan 1 stand. "Kita gabungkan mereka untuk berbaur," tambahnya.
Salah seorang lansia yang ikut pameran UKM adalah Ni Nengah Murniati yang menjual laklak beras merah. Perempuan 67 tahun ini adalah stand yang paling laris. Hampir setiap wisatawan yang datang ingin mencicipi olahan beras merah tersebut.
Laklak yang dijual Murniati cara pembuatan mirip serabi. Dibuat di atas tungku tradisional. Ukurannya pun sedang, namun jika seorang membeli tak cukup hanya satu, bisa habis 2 biji. Sebab Murniati meracik laklaknya tanpa bahan tambahan apapun. Garam saja tidak isi hanya beras merah yang dicampur sedikit beras putih untuk menghilangkan rasa sepat. Kemudian setelah matang ditungku baru diberikan toping kelapa parut lengkap gula merah. Laklak yang dibuatnya ini pun cocok ditemani kopi dan teh. Namun makan tanpa dua minuman itu masih tetap nikmat apalagi dimakan saat masih panas tambah lebih nikmat.
Dia mengaku sudah menjual laklak beras merah sejak tahun 1977. Berawal dari ibu kandungnya kemudian diteruskan sendiri olehnya. "Saya jual sudah lama dirumah, awal hanya iseng saja ingin mengolah beras merah jadi kue, tak disangka banyak yang berminat," katanya.
Kini usaha yang masih dibuat dengan cara tradisional ini juga memiliki langganan untuk upacara adat seperti upacara pernikahan, tiga bulanan maupun acara lainnya. Bahkan Murniati sendiri sudah punya langganan di kawasan Sanur Denpasar. "Saya jual kue laklak ini Rp 5.000 dapat dua biji," ujar ibu dua anak ini.
Kata Murniati, setiap hari dia produksi kue laklak ini. Sehari biasanya dia membuat adonan 3 kilogram. Jika ada acara misalnya upacara di Pura Rambut Sedana dekat rumahnya selama 3 hari dia bisa menghabiskan 1 kwintal tepung beras merah dengan penjualan yang didapat sekitar Rp 7 juta. "Kue yang saya buat tanpa campuran apapun, murni dari beras merah," tegasnya.
Pelaku UMKM dari disabilitas dijaga oleh I Ketut Sugina Ariasa. Laki-laki 45 tahun ini menjual teh beras merah dan kopi arabika yang diolah sendiri di rumahnya Banjar Jatiluaih Kangin. Meskipun rumahan ternyata kopi yang dibuat langganan wisatawan Jerman. Hampir seminggu dia mendapat kunjungan 3 kali wisatawan Jerman ke rumahnya untuk menikmati kopi yang dibuat. "Saya jual dirumah tapi tidak buka stand, tapi wisatawan ke rumah. Saya suguhkan di bangunan jineng khas Tabanan," aku Ariasa yang sudah memiliki disabilitas sejak lahir karena divonis polio.
Disebutkan, selain menjual kopi seduh, dia juga menjual kopi kemasan 200 gram yang dihargai Rp 25.000. Kopi yang dibuat adalah dari kebunnya sendiri diluas 60 are. Sementara teh beras merah yang dijual dengan kemasan 200 gram ini pun adalah hasil dari sawahnya seluas 40 are. "Semua produk yang saya jual adalah dari milik saya. Kadang untuk kopi sempat beli ke orang lain jika stok habis," tutur Ariasa.
Dia berharap lewat stand kuliner yang diikuti produk olahanya bisa dikenal masyarakat. Karena produk yang dia buat murni tanpa campuran apapun. Biasanya kalau kopi ada yang dicampur beras, tetapi buatan Arias sendiri tanpa campuran apapun, jadi kopi murni. "Saya sekali produksi sampai 20 kilogram itu habis dalam waktu 10 hari," tandas ayah satu anak yang juga nyambi menjadi karyawan furniture ini.*des
Komentar