'Para Peri Penjaga' Beri Pesan Manusia Jaga Alam
Pertunjukan Teater Multimedia di Ajang FSBJ IV 2022
DENPASAR, NusaBali
Di sebuah hutan lindung akan diadakan festival pergantian musim, beberapa hari sebelum jadwal musim hujan tiba.
Namun saat tanggal pelaksanaan festival tiba, kekacauan terjadi. Sumber air mendadak surut, suplai oksigen berkurang, daun-daun dari pepohonan hutan meranggas hebat, lampion yang disiapkan mati tertiup angin kencang.
Para peri melakukan rapat. Peri kepala dan penasihat melakukan interogasi pada semua peri yang bertugas. Akhirnya didapat kesimpulan sementara bahwa kekacauan diakibatkan dari luar kawasan hutan lindung yang disebabkan oleh manusia. Manusia mengeksploitasi bumi dan sumber daya alam tanpa memikirkan masa depan generasi selanjutnya.
Cerita menarik tersebut tergambar dari Utsawa (Parade) Pertunjukan Teater Multimedia bertajuk 'Para Peri Penjaga' persembahan Sanggar Seni Kalpasastra (Denpasar) berkolaborasi dengan Stage of Wawan Sofwan (Bandung) serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV Tahun 2022 yang berlangsung di Wantilan Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center) Denpasar, Senin (17/10) malam.
Sang Sutradara Wawan Sofwan menuturkan cerita berlanjut dengan para peri penyelidik mencoba mengembalikan situasi kembali pada tatanan semula. Mereka mengajak manusia untuk menjaga keseimbangan alam. Beberapa manusia sadar, tapi lebih banyak yang masih bersikap masa bodoh.
Para peri penyelidik kemudian kembali ke hutan lindung dan menemukan kenyataan bahwa hutan semakin parah kondisinya. Menyadari bahwa manusia tidak bisa membantu, maka tugas para peri itu semakin berat untuk mengembalikan semua kekacauan kembali normal. Mereka berjuang bersama memulihkan kesehatan hutan dan bumi. "Para peri gelisah dengan kelakuan manusia yang tidak bisa menjaga alamnya, kemudian diambil alih saja," kata Wawan ditemui seusai pementasan.
Ia menyebut cerita yang digarapnya kali ini terinspirasi dari kepercayaan-kepercayaan yang ada di kampung halamannya di Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. "Saya berangkat dari mitos-mitos, kepercayaan-kepercayaan di kampung saya. Ini pamali, ini tabu. Menebang pohon sembarangan itu tabu. Saat ini yang pamali-pamali sudah menipis, jadi kami respons dengan sebuah pertunjukan," ungkap dia.
"Di sana ada danau di tengahnya ada pulau. Kami percaya sekali kalau mengambil sesuatu dari pulau itu kami tidak akan bisa kembali ke darat jadi sampai sekarang masih utuh flora fauna di sana," imbuhnya. Wawan menuturkan persiapan 'Para Peri Penjaga' dilakukan sekitar dua bulan. Para peri merupakan penari mahasiswa UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) dan ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia).
Untuk menampilkan dunia peri sebagai 'dunia atas', Wawan memanfaatkan bantuan multimedia. Pencahayaan sengaja diletakkan di bawah sehingga mendapat efek jika peri berada di atas. Selain itu, yang terlihat unik dan menarik, para pemeran peri yang terdiri dari sembilan perempuan penari berdiri menggunakan egrang, sebuah permainan tradisional terbuat dari bambu. Dengan egrang ini para peri juga terlihat sebagai sosok 'di atas'.
"Ini pengembangan dari egrang. Saya pertama kali menggarap egrang merespons Covid. Waktu itu tidak boleh main di dalam ruangan, bagaimana caranya kalau di outdoor tidak harus bikin panggung akhirnya pakai egrang yang tingginya 50 cm," kata Wawan sembari menyebut 'Para Peri Penjaga' baru pertama kali dipertunjukkan.
Sementara itu koreografer 'Para Peri Penjaga' Galih Mahara mengatakan melalui tarian dirinya berusaha menampilkan sosok peri yang bisa memikat para penonton. Karena bagian kaki penari berkonsentrasi menggunakan egrang, dirinya pun berusaha memaksimalkan gerakan para peri dari bagian pinggang ke atas. "Secara koreografi saya berusaha agar gerakan-gerakan pemain dapat dilihat sebagai sosok peri di mata penonton," ujarnya. Ia pun berharap pesan yang ingin disampaikan melalui pertunjukan ini dapat diterima oleh penonton bagaimana manusia dapat menghargai alam. Karena jika tidak para peri akan mengambil alih, seperti yang disampaikan peri pada epilog pertunjukan.
"Kami para peri akan dengan sekuat tenaga mengambil alih semuanya karena manusia tidak dapat dipercaya untuk memelihara. Hanya keajaiban semesta yang dapat menyadarkan dalam kepalanya sebelum dibangunkan dalam penyesalan," ungkap Galih. *cr78
1
Komentar