Singaraja Jadi ‘Umah Bajang’ Pujangga Berbakat Bali
DENPASAR, NusaBali.com – Kota Singaraja dinilai sebagai tempat yang melahirkan pujangga potensial di Bali sebelum para penulis ini berkelana ke selatan Pulau Dewata.
Menurut mantan wartawan dan penulis senior Bali, Made Adnyana Ole, posisi Kota Singaraja yang sempat menjadi ibukota Provinsi Sunda Kecil dan Bali hingga tahun 1958 sebelum berpindah ke Denpasar menyebabkan kota di ufuk utara Pulau Bali ini lebih dulu terekspos kesusastraan nasional.
“Karena Singaraja itu dulu ibukota, jadi mendapatkan pengaruh lebih dulu dari masuknya kebudayaan luar seperti Bahasa Indonesia. Dan teater pertama di Bali juga pernah didiskusikan berawal dari Singaraja,” kata Adnyana Ole ketika ditemui dalam sebuah acara di Denpasar, Selasa (18/10/2022) siang.
Bukti nyata Singaraja menjadi ‘umah bajang’ para sastrawan dan pujangga Bali adalah ketokohan AA Pandji Tisna yang karyanya sudah diketahui oleh masyarakat banyak. Karya-karya itu mulai dari ‘Sukreni Gadis Bali’ hingga karya lain yang pernah disinetronkan.
Tidak ketinggalan di masa kini, para pujangga kiwari nan belia yang awalnya ke Singaraja untuk berkuliah di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) kemudian mengikuti geliat komunitas di kota ini hingga membentuk kematangan ego bersastra mereka.
“Nah, mereka-mereka ini kembali lagi ke tempat asalnya. Begitu ada orang Singaraja buat acara di Denpasar, Ubud, lain-lain, mereka ini langsung punya sekaa karena jaringan yang sudah terbentuk di komunitas ketika masih di Singaraja,” terang Adnyana Ole yang juga pendiri Tatkala.co.
Kata pendiri Tatkala.co itu, dua penulis muda Bali yang berhasil lolos kurasi Ubud Writers and Readers Festival tahun 2022 yakni Agus Wiratama dan Juli Sastrawan pun sama-sama dimatangkan di Singaraja.
Wahnya, bukan hanya pegiat sastra dari Bali yang menjadi Singaraja sebagai ‘umah bajang’. Kata Adnyana Ole, bahkan ada orang Jakarta yang ‘tersesat’ berkuliah di Undiksha Singaraja yang ia kira situasi Denpasar dan Singaraja sama dengan Jabodetabek.
“Dia kurang mengerti milih kuliah. Dia pikir Undiksha Singaraja sama Denpasar itu jadi satu seperti Jabodetabek. Tiba-tiba dia, ‘Oh Singaraja itu ini ya?’ artinya dia tersesat. Akhirnya, dia masuk komunitas kemudian bergaul ke Ubud dan Denpasar,” tutur Adnyana Ole.
Sosok yang dibicarakan Adnyana Ole tersebut adalah Virginia Helzainka salah satu pendiri Unspoken Poetry Bali Slam. Sebuah ajang menyampaikan respons puisi atas topik apa pun yang jarang dibicarakan. Jika disandingkan dengan standup comedy, format Unspoken Poetry Bali Slam ini serupa dengan open mic, hanya saja ada sistem penilaian khusus.
Meskipun jadi rumah pujangga, Adnyana Ole dengan nada bercanda mengungkapkan bahwa saat ini ia merasa kesepian di Singaraja. Kesepiannya ini lantaran pujangga yang sudah ‘jadi’ telah berkelana ke tempat lain di Bali.
Meskipun hanya ‘memelihara’ hingga siap ‘dipinang’ khazanah sastra tanah air, komunitas-komunitas di Singaraja tetap bergerak membentuk dan mematangkan ego bersastra para pujangga kiwari ini sebelum siap ‘dilepasliarkan’ ke seantero Pulau Dewata dan Nusantara.
“Ini sudah terjadi secara alami, dengan adanya komunitas dan Undiksha yang turut menyokong pematangan para pujangga baru,” ujar Adnyana Ole sembari mengingatkan untuk membiarkan proses ini berjalan secara alami tanpa intervensi formal.
Adnyana Ole enggan membawa proses tersebut ke dalam bentuk formal seperti adanya kelembagaan maupun badan tersendiri. Dengan nada bercanda ia menyatakan bahwa keberadaan instansi formal untuk mendorong proses pembentukan pujangga ini hanya akan memperjelas keruntuhannya ketika komunitas-komunitas tersebut bubaran. *rat
Komentar