Soal Kasus Beruntun Menimpa Polri
Anggota Komisi III Sudirta Sebut Momen Tepat untuk Berbenah
JAKARTA,NusaBali
Anggota Komisi III Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, I Wayan Sudirta, SH, MH menyebutkan, kasus-kasus yang beruntun menimpa sejumlah petinggi kepolisian yang sedang diproses hukum, karena diduga menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan, momen tepat untuk melakukan reformasi di tubuh Polri.
Sudirta menyebutkan, walaupun ada sejumlah oknum Polri tertangkap dan diproses secara hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri menurun tajam, dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit dan Presiden Joko Widodo, masih cukup tinggi.
“Jadinya, pada pundak Kapolri Listyo Sigit dan Presiden Joko Widodo lah masyarakat mengharapkan pembenahan Polri, yang oknum-oknumnya menyalahgunakan kewenangan dan jabatan untuk kepentingan pribadi,” ujar Sudirta dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu (20/10).
Menurut Sudirta, pada 2019, Komisi III DPR RI telah memberikan berbagai temuan tentang Polri, antara lain kurangnya profesionalisme dan akuntabilitas melanggar aturan, kurangnya sinergisitas penanganan perkara, lemahnya manajemen dan pengawasan penanganan perkara, perkara yang dipetieskan, mengalami penundaan, kriminalisasi, citra Polri yang represif dan rentan pelanggaran HAM.
Kemudian masih tingginya pengaduan terkait penyalahgunaan kewenangan dan ‘backing’ kegiatan ilegal, maraknya pungutan liar, keterlibatan dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, serta kurang terukurnya pelaksanaan dan kebijakan sistem reformasi birokrasi. Dalam waktu 2019-2022, temuan tersebut masih terjadi, seperti gaya hidup mewah anggota Polri dan keluarganya, komunikasi publik yang cenderung memihak dan kurang obyektif, kurang independen.
“Namun saat ini tingkat kepercayaan masyarakat pada Presiden dan Kapolri masih cukup signifikan, pada pemimpin seperti beliau inilah masyarakat mengharapkan untuk melakukan kepemimpinan yang efektif dalam kerangka mereformasi kepolisian,’’ ujar Sudirta.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri kata Sudirta pernah pada angka 71,6% (April 2022), merosot ke 54% pada Agustus 2022. Tahun 2021 bulan November bahkan pernah 80,2%.
Menurut Sudirta, reformasi lanjutan Polri sangat perlu dilakukan dan momennya sangat tepat saat ini, ketika dukungan masyarakat yang menyorot kepolisian sangatlah kuat. Munculnya ekses yang meledak dalam beberapa kasus oknum petinggi Polri tidak lain karena diskresi kepolisian sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf I dan pasal 18 ayat (1) UU Polri, dalam prakteknya berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan atau tidak sesuai prosedur, sehingga kontradiktif dengan asas keadilan dan kepastian hukum.
Namun, apapun ekses yang ada, sebuah bangsa dengan ratusan juta penduduk, tak bisa dibayangkan kalau sehari tanpa polisi, pastilah juga masyarakat tidak tenang dan tenteram, karena kriminalitas nyatanya masih tinggi. “Sekalipun kekecewaan dan kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun, di pundak Kapolri Jenderal Listyo Sigit serta arahan tegas Presiden Joko Widodo lah, diharapkan pembenahan Polri ini dilakukan. Kita bersama masyarakat mendukung beliau-beliau ini melakukan pembenahan dan reformasi serius di tubuh Polri,” ujar politisi asal Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem ini.
Sudirta kemudian menunjuk Grand Strategy Polri 2005-2025 yang sasarannya membangun kepercayaan masyarakat, membangun kerjasama dan mewujudkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas dan pelayanan publik. Sebagai Anggota Komisi III DPR RI, Sudirta menilai sebagai lembaga, kinerja Kepolisian cukup banyak melakukan hal-hal yang positif untuk masyarakat.
Apakah perlu revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian? Sudirta menegaskan, masih menghimpun masukan-masukan dari masyarakat. ”Kita tunggu aspirasi masyarakat. Rasanya sampai saat ini belum perlu revisi atas UU tersebut,” ujar Sudirta.
“Karena nyatanya, sudah pernah ada reformasi berupa perubahan paradigma sistem ketatanegaraan yang memisahkan Polri dan TNI, dimulai dari lahirnya TAP MPR RI Nomor. VI/MPR/2000 VII/MPR/200, yang dikeluarkan pada 18 Agustus 2000, tetapi ternyata hasilnya belum maksimal,” imbuhnya. *nat
“Jadinya, pada pundak Kapolri Listyo Sigit dan Presiden Joko Widodo lah masyarakat mengharapkan pembenahan Polri, yang oknum-oknumnya menyalahgunakan kewenangan dan jabatan untuk kepentingan pribadi,” ujar Sudirta dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu (20/10).
Menurut Sudirta, pada 2019, Komisi III DPR RI telah memberikan berbagai temuan tentang Polri, antara lain kurangnya profesionalisme dan akuntabilitas melanggar aturan, kurangnya sinergisitas penanganan perkara, lemahnya manajemen dan pengawasan penanganan perkara, perkara yang dipetieskan, mengalami penundaan, kriminalisasi, citra Polri yang represif dan rentan pelanggaran HAM.
Kemudian masih tingginya pengaduan terkait penyalahgunaan kewenangan dan ‘backing’ kegiatan ilegal, maraknya pungutan liar, keterlibatan dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, serta kurang terukurnya pelaksanaan dan kebijakan sistem reformasi birokrasi. Dalam waktu 2019-2022, temuan tersebut masih terjadi, seperti gaya hidup mewah anggota Polri dan keluarganya, komunikasi publik yang cenderung memihak dan kurang obyektif, kurang independen.
“Namun saat ini tingkat kepercayaan masyarakat pada Presiden dan Kapolri masih cukup signifikan, pada pemimpin seperti beliau inilah masyarakat mengharapkan untuk melakukan kepemimpinan yang efektif dalam kerangka mereformasi kepolisian,’’ ujar Sudirta.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri kata Sudirta pernah pada angka 71,6% (April 2022), merosot ke 54% pada Agustus 2022. Tahun 2021 bulan November bahkan pernah 80,2%.
Menurut Sudirta, reformasi lanjutan Polri sangat perlu dilakukan dan momennya sangat tepat saat ini, ketika dukungan masyarakat yang menyorot kepolisian sangatlah kuat. Munculnya ekses yang meledak dalam beberapa kasus oknum petinggi Polri tidak lain karena diskresi kepolisian sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf I dan pasal 18 ayat (1) UU Polri, dalam prakteknya berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan atau tidak sesuai prosedur, sehingga kontradiktif dengan asas keadilan dan kepastian hukum.
Namun, apapun ekses yang ada, sebuah bangsa dengan ratusan juta penduduk, tak bisa dibayangkan kalau sehari tanpa polisi, pastilah juga masyarakat tidak tenang dan tenteram, karena kriminalitas nyatanya masih tinggi. “Sekalipun kekecewaan dan kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun, di pundak Kapolri Jenderal Listyo Sigit serta arahan tegas Presiden Joko Widodo lah, diharapkan pembenahan Polri ini dilakukan. Kita bersama masyarakat mendukung beliau-beliau ini melakukan pembenahan dan reformasi serius di tubuh Polri,” ujar politisi asal Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem ini.
Sudirta kemudian menunjuk Grand Strategy Polri 2005-2025 yang sasarannya membangun kepercayaan masyarakat, membangun kerjasama dan mewujudkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas dan pelayanan publik. Sebagai Anggota Komisi III DPR RI, Sudirta menilai sebagai lembaga, kinerja Kepolisian cukup banyak melakukan hal-hal yang positif untuk masyarakat.
Apakah perlu revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian? Sudirta menegaskan, masih menghimpun masukan-masukan dari masyarakat. ”Kita tunggu aspirasi masyarakat. Rasanya sampai saat ini belum perlu revisi atas UU tersebut,” ujar Sudirta.
“Karena nyatanya, sudah pernah ada reformasi berupa perubahan paradigma sistem ketatanegaraan yang memisahkan Polri dan TNI, dimulai dari lahirnya TAP MPR RI Nomor. VI/MPR/2000 VII/MPR/200, yang dikeluarkan pada 18 Agustus 2000, tetapi ternyata hasilnya belum maksimal,” imbuhnya. *nat
Komentar